Konten dari Pengguna

Problematika Pengesahan Rancangan Undang-Undang IKN Menjadi Undang-Undang

Hana Salsabilla
Mahasiswi Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
26 Mei 2022 13:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hana Salsabilla tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara dengan beberapa problematikanya

Foto ilustrasi Oleh Hana Salsabilla
zoom-in-whitePerbesar
Foto ilustrasi Oleh Hana Salsabilla
ADVERTISEMENT
Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) disahkan menjadi Undang-Undang setelah persetujuan mayoritas fraksi Dewan Permusyawaratan Rakyat (DPR) pada rapat paripurna kedua.
ADVERTISEMENT
Memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur yang nantinya dinamakan Nusantara, dipandang banyak orang sebagai rencana ambisius Presiden Jokowi untuk meninggalkan warisan selama masa jabatannya.
Beberapa penilaian harus diperhatikan dalam masalah pengesahan Undang-Undang Ibu Kota Negara ini. Pertama, problematik formal dalam pembentukan UU IKN. Yang kedua, hierarki peraturan perundang-undangan. Yang ketiga, permasalahan keberadaan otoritas Ibu Kota Negara.
Problematik Formal
Jika dicermati, proses legislasi UU IKN relatif cepat, yakni hanya memakan waktu 43 hari. Secara logika, Undang-Undang Ibu Kota Negara tidak mungkin bisa diselesaikan dalam waktu singkat, mengingat banyak persoalan mendasar yang harus dikaji secara mendalam dan transparan. Oleh karena itu,,, tidak heran sebagian pakar Hukum Tata Negara kalangan akademisi lainnya menilai UU IKN terlau terburu-buru, bahkan terkesan hanya menjalani ambisi pemerintah.
ADVERTISEMENT
Secara yuridis (hukum), masyarakat berhak memberikan masukan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, baik secara lisan maupun tulisan. Namun, pada kenyataannya proses legislasi UU IKN tidak memberikan ruang publik khususnya bagi masyarakat Kalimantan Timur untuk menyampaikan aspirasinya.
Problematik Hierarki
Para pembuat UU ini terkesan tidak memahami atau seperti terburu-buru sehingga ada beberapa ketidakjelasan dalam meyusun ketentuan penutup. Kekeliruan yang ada pada tata urutan peraturan-perundang-undangan sehingga menimbulkan ambiguitas norma sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 UU No. 3 IKN tahun 2022. Penafsiran Pasal 41 UU IKN ini bertentangan dengan asas konsistensi jenis, hierarki, materi muatan (isi).
maka dari itu, penafsiran Pasal 41 UU IKN tidak tepat. Karena secara teori, pencabutan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta harus dengan Undang-Undang, bukan Peraturan Presiden.
ADVERTISEMENT
Permasalahan Otoritas IKN
Munculnya Pemerintahan Khusus IKN yang dipimpin oleh kepala otoritas IKN dibantu oleh seseorang wakil kepala otoritas IKN yang ditunjuk, diangkat, diberhentikan langsung oleh presiden tanpa adanya demokrasi dengan publik. Otoritas adalah lembaga pemerintah setingkat kementerian yang dibentuk guna melaksanakan persiapan, pembangunan, dan pemindahan IKN serta penyelenggaraan Pemerintah Khusus IKN.
Jika melihat ke belakang, istilah otoritas pernah digunakan pada masa pemerintahan orde baru, yakni pada tahun 1970 ketika menamai Otoritas Batam. Penamaan Otoritas Pembangunan Daerah Industri Pulau Batam atau lebih dikenal dengan istilah Badan Otoritas Batam sebagai penggerak pembangunan Kota Batam pada masa itu.
Belakangan, istilah otoritas pada IKN akan menimbulkan pertanyaan karena kata itu tidak dikenal dalam konstitusi. Tidak hanya itu, terdapat keraguan keberadaan kepala otoritas IKN wakil kepala otoritas IKN. Di satu sisi kepala otoritas IKN wakil kepala otoritas IKN menjalankan pemerintahan khusus, sedangkan di sisi lain tidak disebut debagai kepala daerah, melaikan kepala otoritas wakil kepala otoritas setingkat menteri.
ADVERTISEMENT
bisa dibilang alasan pemilihan kepala otoritas wakil kepala otoritas IKN agar mudah melakukan tindakan cepat serta kemampuan mengintegrasikan permasalahan sektor. Dengan alatasn tersebut membuktikan bahwa pemerintah lebih mengutamakan metode teknis daripada metode yuridis (hukum) filosofis.
Pemerintah bersama DPR hendaknya mampu menyesuaikan UU IKN dengan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD RI) tahun 1945 agar tidak terjadi ketidakcocokan antara norma UUD 1945 dengan UU IKN. Dalam Pasal 18 UUD 1945 jelas disebutkan bahwa daerah-daerah di Indonesia memiliki pemerintahan daerahnya sendiri.
pada Pasal 18 ayat (3) dengan tegas dijelaskan bahwa pemerintahan provinsi, kabupaten, kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang dipilih melalui pemilu. Sedangkan kepala wakil kepala otoritas dipilih oleh presiden, artinya terjadi tumpang tindih kewenangan antara kepala daerah dengan pemimpin otoritas IKN.
ADVERTISEMENT
Tidak sampai di situ, terdapat ketidakjelasan masa jabatan pemimpin otoritas IKN serta alasan bisa atau tidaknya diberhentikan. Disebutkan dalam UU IKN Pasal 10 ayat (1) bahwa kepala otoritas wakil kepala otoritas memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Dilanjut dalam Pasal 10 ayar (2) bahwa pemimpin otoritas dapat diberhentikan sewaktu-waktu oleh presiden sebelum masa jabatannya berakhir.
Jika kita teliti kalimat dalam pasal tersebut, keberadaan pemimpin otoritas IKN mirip dengan masa jabatan menteri wakil menteri yang sewaktu-waktu bisa diberhentikan atau diubah. Alasan pemberhentian kepala otoritas wakil kepala otoritas harus dinyatakan dengan jelas sehingga mereka tidak tunduk pada pertimbangan subjektif presiden setiap saat. Hal itu dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum mengapa dia dipecat.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, seharusnya pemerintah baik Presiden DPR selaku penggagas UU IKN ini perlu mempertibangkan lebih matang sebelum mengesahkannya belakangan ini agar tidak terkesan sebagai program kejar tayang. Perlu adanya penelitian yang lebih dalam jangka panjang, studi banding, sosialisasi, asimilasi aspirasi masyarakat khususnya masyarakat Kalimantan Timur mengenai alasan urgensinya dilakukan pemindahan ibu kota negara.