Konten dari Pengguna

Titik Temu Pendekatan Filsafat Barat dan Timur dalam Memahami Konsepsi Psikologi

Hana Puspita Fitriati
Mahasiswa S1 Psikologi Universitas Airlangga
25 Juni 2024 9:13 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hana Puspita Fitriati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam menjelajahi hakikat pikiran dan perilaku, titik temu antara filsafat Barat dan Timur memiliki pengaruh dalam membentuk konsepsi dasar kajian psikologi. Filsafat Barat, yang berfokus pada materialistic science, menyediakan fondasi kuat untuk memahami mekanisme otak dan perilaku melalui pendekatan ilmiah yang terukur. Di sisi lain, filsafat Timur mengajak kita untuk melihat ke dalam melalui praktik-praktik meditasi dan spiritual yang menyoroti aspek transpersonal dan kesadaran mendalam. Ketika kedua tradisi ini dipadukan, kita tidak hanya mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang pikiran dan perilaku manusia, tetapi juga menemukan pendekatan baru yang lebih holistik dalam terapi dan pengembangan diri, yang mampu menjawab kebutuhan kesehatan mental dan kesejahteraan secara lebih menyeluruh. Namun, permasalahannya adalah perbedaan ideologis budaya barat dan timur bersifat selalu dianggap mutlak dan tidak dapat dijembatani.
pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
pixabay.com
Permasalahan utama yang menyebabkan ketidakcocokan antara budaya Timur dan Barat adalah perbedaan mendasar antara pandangan dunia dan filsafat yang mendominasi. Disiplin ilmiah barat menggambarkan alam semesta sebagai sistem mekanik yang rumit yang terdiri dari interaksi partikel yang dan objek terpisah. Sementara itu, filsafat spiritual dari kebudayaan Timur atau “perennial philosophy” menggambarkan kesadaran dan kecerdasan kreatif sebagai sifat-sifat utama dari keberadaan hal-hal yang fenomenal di dunia. Jika dilihat dari kelebihan dan kekurangan masing-masing pandangan, materialistic science telah mengembangkan cara yang efektif untuk meringankan bentuk permasalahan umum namun hanya berbuat sedikit untuk kepuasan batin dan emosional. Sedangkan perennial philosophy memberikan kepuasan batin namun gagal memberikan solusi terhadap permasalahan praktis kehidupan manusia. Namun, pertanyaannya, apakah mungkin untuk menyatukan perbedaan-perbedaan diantara kedua pandangan tersebut?
ADVERTISEMENT
Salah satu pencapaian terpenting filsafat sains Barat adalah pengakuan bahwa teori-teori ilmiah hanyalah model konseptual yang mengatur data terhadap realitas yang terjadi pada saat itu. Karena memungkingkan untuk merumuskan lebih dari satu teori dengan data yang tersedia, permasalahan yang ada adalah menemukan teori yang cukup luas untuk memasukkan beberapa aspek penting dari perennial philosophy namun tetap mempertahankan pragmatis daris mechanistic science.
Dalam 300 tahun terakhir, sains Barat didominasi oleh paradigma Newtonian-Cartesian. Alam semesta digambarkan menyerupai mesin yang diatur oleh rantai sebab dan akibat yang linear dan ada secara obyektif dalam bentuk yang dapat dilihat oleh manusia yang mengalaminya. Interaksinya terjadi dalam ruang absolut yang bersifat tiga dimensi. Ide-ide Isaac Newton dan Rene Descartes ini menjadi landasan ilmu mekanistik Barat yang dipadukan dengan filosofi materialisme dan ateisme. Model mekanistik sukses dalam penerapan teknologi pragmatisnya sehingga menjadi prototipe ideal dari seluruh pemikiran ilmiah. Hal ini berlaku khususnya dalam bidang ilmu psikologi, psikiatri, sosiologi, antropologi, dan bidang terkait lainnya. Berbagai disiplin ilmu yang didasarkan pada model mekanistik telah menciptakan gambaran alam semesta sebagai kumpulan materi pasif, tidak sadar, dan berkembang tanpa partisipasi kecerdasan kreatif. Kemudian, dalam silsilah evolusi, kesadaran muncul sebagai produk sistem saraf pusat atau otak. Meskipun erat korelasi antara kesadaran dan struktur cerebral, penafsiran pengamatan yang ditawarkan oleh mechanistic science sangat bermasalah dan terbuka untuk didiskusikan. Psikologi materialistis menjelaskan proses mental sebagai reaksi organisme terhadap lingkungan atau rekombinasi masukan sensorik sebelumnya yang di simpan di otak. Mechanistic science mencoba menjelaskan bahwa fenomena seperti kecerdasan manusia, kreativitas seni, agama, dan ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai produk dari proses material di otak. Asumsi ini murni bersifat metafisik dan tidak dapat dibuktikan dengan metode ilmiah.
ADVERTISEMENT
Banyak kritik yang bermunculan dalam pandangan ini sehingga memunculkan beberapa pemikiran baru. Ilmu pengetahuan Newtonian- Cartesian dianggap menciptakan gambaran yang sangat negatif tentang manusia; Selain itu, mitos tentang materi padat tidak dapat dihancurkan hancur akibat pengaruh bukti eksperimental dan teoritis, akibatnya ruang tiga dimensi dan waktu unidimensi Newton digantikan oleh kontinum ruang-waktu empat dimensi Einstein; Kritik selanjutnya mengenai keterbatasan ilmu mekanistik dalam menghadapi masalah dalam bidang morfogenesis yang lebih kompleks. Hal ini kemudian memunculkan pemikiran baru yaitu Sheldrake’s formative causation yang mana perilaku dibentuk oleh bentuk dan perilaku organisme masa lalu dari spesies yang sama melalui hubungan langsung melintasi ruang dan waktu. Teori ini memiliki implikasi yang luas pada Psikologi dan berhubungan dengan konsep ketidaksadaran kolektif Jung; Holonomic theory yang dirumuskan oleh David Bohm; Perkembangan teori sistem; Prigogine’s researches, disinilah science telah menemukan kembali kebenaran perennial philosophy bahwa evolusi manusia merupakan bagian integral dan bermakna dari evolusi universal; Penemuan Young’s theory of process, penemuan tersebut mampu menemukan pola dasar dari proses universal yang berulang terus-menerus pada berbagai tingkatan evolusi. Dengan menetapkan peran
ADVERTISEMENT
penting di alam semesta kepada cahaya dan pengaruh yang disengaja dari aksi kuantum, hal ini memungkinkan untuk menjembatani kesenjangan antara sains, mitologi, dan filsafat abadi; Bidang utama lain yang menghasilkan data baru yang eksplosif adalah psikologi Jung. Kontribusi Jung mencakup penemuan ketidaksadaran kolektif, sifat-sifat pembentuk mitos dan potensi penyembuhan jiwa yang luas, dan keberadaan arketipe-transindividual. Psikologi Jung mengembalikan status kosmik ke jiwa dan memperkenalkan kembali spiritualitas ke dalam psikologi.
Selanjutnya, dalam pengalaman transpersonal, saat secara sadar mengidentifikasi diri dengan orang lain, seseorang dapat memperoleh akses ke pikiran, perasaan, sensasi fisik, atau ingatan orang tersebut. pengalaman-pengalaman tersebut yang secara akurat menggambarkan berbagai aspek dunia fenomenal dapat berganti-ganti dalam keadaan kesadaran yang tidak biasa dengan pengalaman-pengalaman yang tidak memiliki dasar dalam apa yang di Barat disebut sebagai “realitas objektif”. Spiritual dapat menimbulkan pengalaman transpersonal. Pemahaman baru mengenai fenomena transpersonal memediasi wawasan mendalam ke dalam sub kategori penting dari kondisi kesadaran non-biasa yang diberi label dan diperlakukan oleh ilmu pengetahuan Barat sebagai psikotik dan dengan demikian merupakan indikasi penyakit mental. Kebudayaan kuno dan Timur tidak hanya mengembangkan kartografi yang rumit untuk negara-negara ini, namun juga teknik yang ampuh untuk mendorong mereka. Berbagai fenomena transpersonal juga telah dijelaskan dalam konteks teknik laboratorium non-obat untuk mengubah kesadaran.
ADVERTISEMENT
Aspek yang paling menarik dari semua perkembangan revolusioner di atas dalam sains Barat modern adalah kenyataan bahwa citra baru alam semesta dan sifat manusia semakin menyerupai citra filsafat spiritual kuno dan Timur. Hal ini memberikan jawaban bahwa memungkinkan untuk memadukan kedua pandangan ini dalam memahami hakikat pikiran dan perilaku yang merupakan konsepsi dasar dalam kajian psikologi.
Hana Puspita Fitriati, Mahasiswa Psikologi PDB 81 Universitas Airlangga