Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Mendorong Perkembangan Hukum Perdata Internasional di Indonesia
29 Maret 2019 15:03 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Hanafi Athena tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hukum Perdata Internasional (HPI) masih menjadi istilah yang cukup asing di telinga orang Indonesia, baik di kalangan masyarakat awam maupun kadang di kalangan mahasiswa hukum sendiri. Mendengar "hukum perdata internasional", umumnya orang masih membayangkan bahwa yang dimaksud adalah “hukum perdata yang berlaku secara internasional”.
ADVERTISEMENT
Tentu bukan itu maksudnya. Berbeda dengan hukum publik yang dapat diklasifikasikan sebagai hukum publik nasional dan hukum publik internasional, hukum perdata tetap berlaku secara nasional saja.
Lalu timbul pertanyaan, “Bagaimana penyelesaian perkara keperdataan dua pihak yang masing-masing terikat hukum perdata nasionalnya?” Di sinilah kemudian muncul apa yang disebut sebagai Hukum Perdata Internasional, atau ada yang menyebutnya hukum antartata hukum, hukum pergaulan internasional, atau negara-negara common law justru lebih suka menyebutnya conflict of laws.
Prof. Mochtar Kusumaatmadja (Menlu RI 1978 - 1988) yang juga seorang ahli hukum Indonesia, memberikan definisi bahwa Hukum Perdata Internasional ialah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara.
Dengan perkataan lain, hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada Hukum Perdata (nasional) yang berlainan.
ADVERTISEMENT
Hingga saat ini, HPI Indonesia masih mengandalkan pada beberapa pasal yang terselip dalam Algemeine Bepalingen van Wetgeving (AB) dan Reglement op de Rechtvordering (RV), yang dibuat pada tahun 1847.
Yang (tentunya) sudah tidak layak pakai di dunia modern ini dan memang pada kenyataannya telah lama ditinggalkan oleh si empunya sendiri, Belanda, yang kini telah memiliki satu buku HPI yang berisi 15 bab dan 165 pasal.
Indonesia telah tertinggal dalam hal HPI. HPI menjadi bagian hukum yang paling tidak berkembang di Indonesia. Sistem hukum Indonesia hingga hari ini belum memiliki norma-norma HPI-nya sendiri, singkatnya: tidak ada HPI Indonesia.
Sementara itu, sejalan dengan semakin kuatnya globalisasi, semakin canggihnya teknologi transportasi dan telematika, volume hubungan keperdataan antara WNI dan BHI dengan counterpart-nya di luar negeri semakin besar dan intens.
ADVERTISEMENT
Perkawinan lintas negara, adopsi anak lintas negara, dan bisnis lintas negara menjadi semakin berkembang, demikian juga dengan perceraian lintas negara, perebutan anak lintas negara, sengketa perdagangan lintas negara yang menjadi semakin lumrah.
Semua itu membutuhkan penyelesaian yang tentunya tidak akan bisa diberikan oleh pasal-pasal AB dan RV yang dibuat ratusan tahun lalu tersebut.
Melalui Permenlu No. 2 tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Luar Negeri, Kementerian Luar Negeri Indonesia (Kemenlu RI) secara eksplisit telah memberikan perhatian besar terhadap Hukum Perdata Internasional Indonesia.
Telah dibentuk sebuah unit yang khusus yang bertugas menangani hal-ikhwal HPI, yang terletak di bawah Direktorat Hukum dan Perjanjian Sosial Budaya, Ditjen Hukum dan Perjanjian Internasional.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, bersama-sama dengan Kementerian Hukum dan HAM, BPHN, Mahkamah Agung, serta didukung oleh akademisi dari berbagai universitas yang tergabung dalam Asosiasi Pengajar dan Pengamat HPI Indonesia, Kemenlu berupaya untuk mendorong perkembangan HPI Indonesia.
Sejak 2018, Kemenlu telah memperkuat kerja sama dengan Mahkamah Agung dengan penandatanganan Nota Kesepahaman pada tanggal 20 Februari 2018 yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan penanganan permintaan bantuan teknis hukum dalam masalah perdata lintas yurisdiksi (rogatori).
Secara pararel, sejumlah diskusi telah digelar untuk melihat dengan seksama konvensi-konvensi internasional di bidang HPI yang dihasilkan oleh HCCH dan UNIDROIT yang sekiranya bermanfaat untuk Indonesia serta dapat diaksesi. Lebih lanjut juga mulai diangkat perihal perlunya pengaturan mutual legal assistance dalam perkara perdata sebagai salah satu upaya mengembangkan HPI Indonesia.
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini, tepatnya pada 20 Februari 2019, Kemenlu telah menyelenggarakan suatu sarasehan yang diberi tajuk peningkatan pelayanan publik melalui pengembangan HPI Indonesia.
Dibuka resmi oleh Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Dr. iur. Damos Dumoli Agusman, sarasehan yang menghadirkan para pakar hukum privat internasional, termasuk Prof. Dr. CFG. Sunaryati Hartono dan Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, ini telah menghasilkan sebuah roadmap yang makin memperjelas langkah-langkah yang perlu diambil oleh pemerintah dan stakeholder lainnya untuk dapat mengembangkan HPI.
Dalam roadmap tersebut telah dirinci bahwa secara pararel, pemerintah beserta akademisi dan stakeholder terkait akan melakukan langkah-langkah berupa (i) penuntasan RUU HPI, (ii) pembahasan konvensi-konvensi HPI prioritas yang bermanfaat bagi Indonesia, dan (iii) pembuatan Undang-Undang mutual legal assistance dalam masalah perdata.
ADVERTISEMENT
Di akhir kegiatan tersebut, para pakar hukum privat internasional menyampaikan bahwa Kementerian Luar Negeri, di bawah kepemimpinan Menlu Retno Marsudi, memainkan peran sentral dalam pemajuan pengembangan isu-isu hukum internasional, termasuk hukum privat internasional yang berdampak luas pada masyarakat.
Jakarta, 28 Maret 2019.