Konten dari Pengguna

Jangan Hanya Omon-Omon: Maafkanlah Koruptor Dengan Sahkan RUU Perampasan Aset

Hangkoso Satrio
Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah (Pramoedya Ananta Toer)
23 Desember 2024 10:35 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hangkoso Satrio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Presiden Prabowo membuat pernyataan yang memicu diskusi dan tanggapan dari berbagai tokoh, yaitu memaafkan koruptor asalkan mengembalikan uang hasil korupsi. Ganjar Pranowo pun merespon dengan menyatakan:
ADVERTISEMENT
“Bagaimana cara memaafkannya? Kan ada proses hukumnya. Bagaimana Anda mau memaafkan?”
Pernyataan Ganjar Pranowo ini berdasarkan dari Pasal 4 UU Korupsi yang menyatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana.
Lalu apakah pernyataan presiden Prabowo salah secara hukum?
Menurut saya tidak.
Dengan tulisan ini saya akan menyatakan bahwa pernyataan Presiden Prabowo tepat menurut hukum.
Maafkanlah Koruptor Agar Tidak Ada Drama Hukum
Konteks korupsi yang perlu dimaafkan disini bukanlah korupsi yang sudah dilakukan penyelidikan, penyidikan atau penuntutan. Jika sudah ada proses hukum maka namanya menjadi tindak pidana korupsi. Apabila proses hukum sedang berjalan, maka saya setuju dengan pernyataan Ganjar Pranowo karena hukum harus ditegakkan dan tidak memaafkan koruptor yang sedang diproses hukumnya.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, di kolong langit Republik Indonesia ini kita tau sama tau, tidak semua koruptor akan diseret ke kasus hukum karena banyak faktornya. Sebagai contoh fiktif: Seorang Polisi berpangkat Aiptu memiliki mobil Toyota Fortuner dan jam tangan mewah. Tentunya semua orang tau berapa gaji pangkat Aiptu karena dipublikasikan di peraturan. Jika dilihat dari informasi yang beredar gaji seorang berpangkat Aiptu tidak lebih besar dari UMR Jakarta.
Apa kalian tidak curiga jika Office Boy yang bergaji UMR di kantor kalian datang ke kantor dengan mobil Toyota Fortuner? Jangan jangan dia kerja sampingan menjadi babi ngepet, memelihara tuyul atau bahkan bandar narkoba.
Pada intinya, banyak sekali pejabat pengabdi masyarakat ini yang memiliki kekayaan yang berlimpah yang mencurigakan, padahal penghasilannya bisa ditakar dengan jelas karena informasinya bersifat terbuka. Apakah pejabat pengabdi masyarakat tersebut bisa diseret ke penjara? Tentu saja sulit. Perlu huru hara ala no viral no justice dulu, baru Rafael Alun diselidiki dari mana kekayaanya. Sudah berapa lama Rafael Alun kaya raya? Tetangganya pasti sudah tau lama. Mengapa masyarakat tidak curiga dengan pegawai negeri dan aparat yang memiliki harta berlimpah? Apa karena sudah terlalu lama menjadi warga negara Republik Indonesia? Maklumlah tau sama tau.
ADVERTISEMENT
Drama kasus hukum banyak mengganggu stabilitas politik jika ditujukan pada tokoh elit politik, seperti Setya Novanto atau bahkan Romahurmuziy yang kena OTT karena uang “receh” sebesar Rp 156.758.000. Saya sepakat dengan Opung Luhut yang selalu menyatakan “OTT Kampungan” dalam beberapa kasus, sayangnya Opung Luhut belum menjelaskan dengan rinci yang tidak kampungan itu seharusnya seperti apa. Ditangkapnya elit politik akan sangat mengubah konstelasi politik, deal-deal politik yang sudah disepakati bisa jadi harus direvisi karena kejadian maha dahsyat, sehingga pengendalian KPK pun menjadi jawaban dari pengakhiran drama-drama yang dianggap tidak perlu. Elit politik kita gerah melihat rekannya menjadi badut di televisi, dicaci maki wartawan saat liputan dan rakyat jelata ikut komentar. Tentu mereka punya rasa empati terhadap temannya. Budaya ketimuran mengharuskan kita bersikap sopan santun, apalagi kepada pejabat negara.
ADVERTISEMENT
Agar drama-drama tidak terjadi dan agar penegak hukum dapat fokus melayani rakyat dalam laporan-laporan mangkraknya, lebih baik uang-uang haram tersebut dirampas oleh negara dan dapat juga berguna sebagai pemasukan negara yang mungkin akan setara dengan pemasukan negara dari naiknya PPN menjadi 12%.
Belum lagi permasalahan gaji layak yang menjadi masalah besar Republik ini. Penegak hukum dengan gaji rendah dengan entah kapan naik gajinya, begadang tanpa kompensasi, jauh dari keluarga, berpotensi mati dalam tugas, pahit dan getirnya hidup harus ditelan sendiri di dada atas nama Republik. Tak heran jika mereka memilih jalur setan, karena malaikat yang hidup bersama setan berjamaah pun jika digoda terus menerus bisa murtad. Kecuali Kementerian Keuangan yang sudah mendapatkan gaji paling layak. Jika anda pergi ke Kantor Pajak maka lihatlah mobil-mobil mereka diparkiran dan bandingkan jika kita pergi ke Kantor Urusan Agama.
ADVERTISEMENT
Perampasan Aset Tanpa Tindak Pidana Menjadi Solusi Mujarab Pengendalian Korupsi
Pertama kali saya membaca RUU Perampasan Aset pada tahun 2011-2012 di perpustakaan PPATK. RUU tersebut telah rampung sejak tahun 2008, sekarang tahun 2024 yang berarti sudah 16 tahun belum ada tanda-tanda akan disahkan, wallahu a’lam. Berbeda nasibnya dengan UU Pemilu dan UU MD3 yang sangat bersemangatnya dibahas oleh anggota DPR kita.
Perampasan aset bisa menjadi solusi karena merampas harta kekayaan tidak perlu lagi mencari suatu tindak pidana. Dengan RUU Perampasan Aset, kita dapat melakukan perampasan harta benda yang tidak jelas asal-usulnya tanpa perlu melakukan pengusutan kasus tindak pidananya. Sebagai contoh fiktif yang terdapat di series Breaking Bad, seseorang berumur 10 tahun memiliki uang sebesar $2.000.000 USD.
ADVERTISEMENT
Sangat tidak masuk akal apabila anak umur 10 tahun tersebut memiliki uang sebesar itu dan pihak kepolisian tidak memiliki bukti apapun dan tidak ada tindak pidana apapun yang sedang diselidiki terkait dengan uang itu. Akan tetapi, pihak kepolisian merampas uang tersebut karena patut diduga merupakan uang hasil tindak pidana karena tidak sesuai dengan profil keuangan pemilik uang. Anak kecil macam apa yang punya uang $ 2.000.000 USD?
Pihak yang ingin mengklaim bahwa uang tersebut adalah miliknya wajib untuk membuktikan kalau itu uang halal, sehingga timbul pembuktian terbalik. Sehingga Mike (tokoh orang tua di link youtube) memilih untuk diam dan pura-pura tidak tau agar tindak pidana yang berkaitan dengan uang tersebut tidak terbongkar, akan tetapi uang tersebut tetap dirampas.
ADVERTISEMENT
Proses perampasan aset ini merupakan cara yang terbukti efektif untuk melawan tindak pidana yang terorganisir, seperti mafia, peredaran narkoba dan kasus korupsi. Dari kejahatan serius tersebut sangat sulit untuk ditemukan buktinya karena buktinya sudah dihilangkan atau disembunyikan dan jika ditemukan buktinya belum tentu dapat diajukan ke pengadilan karena banyak faktor. Dengan adanya hukum tentang perampasan aset maka timbul dua manfaat sekaligus, yaitu
Terdapat prinsip universal yang diterima dan dapat diberlakukan untuk keperluan justifikasi perampasan aset, yaitu “pelaku kejahatan tidak boleh mendapatkan keuntungan dari kejahatan yang ia lakukan” (wrongdoers shall not profit from their crimes) hal ini dapat dilakukan karena seseorang yang memiliki harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana dianggap tidak mempunyai hak terhadap harta kekayaan tersebut. Di dalam hukum perampasan aset, setiap orang dituntut untuk dapat mempertanggung jawabkan asal-usul dari kekayaan yang ia miliki dan jika ia tidak dapat menjelaskan dari mana asal-usul dari kekayaan yang ia miliki maka harta kekayaannya dapat dirampas.
ADVERTISEMENT
Dengan berlakunya RUU Perampasan Aset, ada banyak aset tidak jelas yang terdaftar atas nama orang lain yang dapat dirampas untuk kepentingan keuangan negara. RUU Perampasan Aset ini juga dapat memiliki dampak penguatan sistem perpajakan, karena setiap orang menjadi takut hartanya dirampas, maka semakin banyak konglomerat yang taat pajak agar tidak dianggap memiliki harta ilegal yang tidak jelas asal-usulnya. Sehingga dapat dipastikan pendapatan negara meningkat dengan naiknya rasio pajak.
Dapat kita bayangkan, berapa banyak para pembegal uang rakyat dan para menyimpan uang haram yang menyembunyikan uangnya dengan berbagai cara agar tidak terdeteksi dengan menggunakan nama orang lain. Jika terdeteksi oleh PPATK, dengan RUU Perampasan Aset maka uang tersebut dapat dirampas oleh negara. Rekening-rekening gendut yang tak jelas asal-usul uangnya dan tidak sesuai dengan profil pemilik rekening dapat disita tanpa perlu ada investigasi tindak pidana apapun.
ADVERTISEMENT
Dari teror kengerian RUU Perampasan Aset ini, tidak heran hukum ini tidak kunjung disahkan karena mungkin para politisi dan orang-orang kaya takut. Oleh karena itu, perlu pemimpin yang berani melakukan terobosan untuk memberlakukan hukum ini karena cara memberantas korupsi dari tindak pidana sudah terbukti tidak efektif di Indonesia. Pelaksanaan RUU Perampasan Aset ini juga perlu diperhatikan proses check and balances-nya agar tidak tercipta penyalahgunaan wewenang dari pejabat yang memiliki kuasa untuk melakukan perampasan aset.
Jika dalam suatu perampasan aset tiba-tiba menjadi dapat bukti-bukti dan juga kekuatan untuk melakukan investigasi tindak pidana, maka hal tersebut tetap dapat dilakukan jika dianggap perlu. Sehingga perampasan aset ini tidak menghilangkan pertanggungjawaban suatu tidak pidana. Perampasan aset bukanlah suatu penghukuman karena perampasan aset hanya mengembalikan suatu keadaan ke dalam posisinya semua (status quo ante) dan tidak memiliki sifat seperti pidana yang bertujuan untuk melakukan pembalasan dan pemberian derita terhadap perbuatan yang melanggar moral masyarakat.
ADVERTISEMENT
Sayangnya RUU Perampasan Aset tak masuk Prolegnas 2025, sehingga Presiden tercinta kita hanya omon-omon belaka.
Sumber:
1. Hangkoso Satrio W, Perampasan Aset Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung No. 1454 K/Pid.Sus/2011 dengan Terdakwa Bahasyim Assifie) (Depok: Universitas Indonesia, 2012).
2. David J. Fried, “Rationalizing Criminal Forfeiture,” The Journal of Criminal Law and Criminology (1973), Vol. 79, No. 2 (Summer, 1988).
3. Ian Smith, Tim Owen, et. al, Asset Recovery: Criminal Confiscation and Civil Recovery, (United Kingdom: Reed Elsevier Ltd, 2003).
4. Theodore S. Greenberg, et. al., Stolen Asset Recovery: Good Practice Guide for Non-Conviction Based Asset Forfeiture, (Washington DC: The World Bank, 2009)
ADVERTISEMENT