Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Nikah Beda Agama di Indonesia, Apa Bisa?
31 Desember 2024 11:15 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Hangkoso Satrio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Agama merupakan topik sensitif tetapi sering sekali dibahas, apalagi menyangkut agama dari artis atau politisi. Jika kita mencari informasi tentang artis ternama Indonesia di google, maka search engine akan mengarahkan informasi agama yang dianut, sebagai contoh: jika kita search Lyodra, maka kolom pertama adalah agama.
Apakah agama sepenting itu di Indonesia?
ADVERTISEMENT
Ya, karena agama warga negara Indonesia wajib ditentukan di dalam KTP.
Negara kita juga berasaskan ketuhanan yang maha esa. Hal ini juga dinyatakan di dalam konstitusi kita pada Pasal 29.
Lantas timbul pertanyaan, apakah tidak memungkinkan bagi warga negara Indonesia untuk menikah berbeda agama?
Apakah Negara Indonesia memaksa setiap warga negara yang ingin menikah beda agama mengorbankan Tuhan-nya untuk pasangannya?
Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan:
Hukum Negara Indonesia meminta kepada setiap agama dan kepercayaannya untuk menilai apakah perkawinan tersebut sah atau tidak menurut ajaran masing-masing. Oleh karena itu, perlu dilakukan pembahasan apa itu agama dan kepercayaan menurut hukum Indonesia.
ADVERTISEMENT
AGAMA DAN KEPERCAYAAN YANG SAH DI INDONESIA MENURUT HUKUM
Berdasarkan penelitian saya selama ini, tidak ada satu pun peraturan yang menyatakan agama sah di Indonesia. Sehingga seluruh agama berhak untuk dianut oleh warga negara Indonesia. Dalam sejarahnya pernah terdapat larangan untuk ajaran tertentu atau organisasi tertentu, yaitu:
ADVERTISEMENT
Satu-satunya rujukan definisi hukum yang berlaku terkait dengan agama yang sah hanya terdapat pada Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau penodaan agama yang menyatakan sebagai berikut:
Kesimpulannya secara hukum, negara Indonesia tidak pernah membatasi agama yang dianut oleh warga negaranya kecuali yang berkaitan dengan organisasi yang dinyatakan terlarang, akan tetapi implementasinya direduksi oleh pejabat terkait yang menerbitkan KTP sehingga kolom agama dicatat hanya agama itu-itu saja. Untuk perbedaan definisi agama dan kepercayaan ini, saya tidak menemukan definisi kepercayaan, sehingga dapat diasumsikan yang dimaksud dengan kepercayaan adalah kepercayaan lokal seperti parmalim, kejawen, aliran kebatinan dan kepercayaan kuno lainnya. Bukan suatu ideologi. Menyikapi kepercayaan tersebut negara menyatakan “Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalurkannya ke arah pandangan yang sehat dan ke arah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.” Sehingga kesimpulannya, negara seharusnya melindungi seluruh kepercayaan tersebut dan memfasilitasi.
ADVERTISEMENT
Sebagai perkembangan hukum, pencatatan perkawinan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa telah diatur dan direduksi di dalam PP No. 40 Tahun 2019. Penghayat kepercayaan sekarang wajib terdaftar dan jika tidak terdaftar maka tidak diakui oleh Negara.
PERTENTANGAN ANTAR AJARAN AGAMA TERKAIT PERNIKAHAN BEDA AGAMA
Negara Indonesia menunjuk agama dan kepercayaan untuk menilai apakah perkawinan tersebut sah atau tidak, termasuk mengenai pernikahan beda agama. Permasalahan yang pelik timbul jika terjadi perbedaan hukum antara satu agama dengan agama lainnya. Misalkan dalam agama Islam dilarang untuk menikah selain dengan yang beragama Islam. Oleh karena itu, warga negara yang memiliki agama di KTP-nya adalah Islam, tidak boleh menikah dengan yang agama selain Islam sehingga menyebabkan pernikahan tersebut tidak dapat dicatatkan oleh Negara.
ADVERTISEMENT
Berikut adalah penjabaran pandangan agama-agama mayoritas di Indonesia terkait dengan pernikahan beda agama yang saya temukan dan sangat mungkin terdapat dasar yang lain atau pandangan lain.
1. Islam: melarang
QS 2:221: janganlah kamu menikahi perempuan musyrik (menyekutukan Allah).
QS 5:5: diperbolehkan menikah orang-orang yang diberi kitab sebelum Al Quran. Akan tetapi hal ini telah ditutup oleh Ijtihad Ummar Bin Khattab yang menyatakan: “Sebab aku khawatir kaum Muslim akan mengikuti jejakmu, lalu mereka mengutamakan para wanita Ahl al-Dzimmah (Ahl al-Kitab yang dilindungi) karena kecantikan mereka. Hal ini sudah cukup sebagai bencana bagi para wanita kaum muslim.”
2. Kristen Protestan: melarang
Korintus 6:14-18: “Sebab persamaan apakah terhadap antara kebenaran dan kedurhakaan? Dan bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?”
ADVERTISEMENT
3. Katolik: Membolehkan dengan syarat
Kitab Hukum Kanonik Kanon 1124: perkawinan campur beda agama itu tidak sah, kecuali telah disetujui oleh ordinaris wilayah dalam bentuk dispensasi. Dispensasi menurut syarat-syarat dalam Kanon 1125:
a. Pihak katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja Katolik;
b. Mengenai janji-janji yang harus dibuat oleh pihak Katolik itu, pihak yang lain hendaknya diberitahu pada waktunya, sedemikian sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji dan kewajiban pihak Katolik; dan
c. Kedua pihak hendaknya diajar mengenai tujuan-tujuan dan ciri-ciri hakiki perkawinan, yang tidak boleh dikecualikan oleh seorangpun dari keduanya.
ADVERTISEMENT
4. Buddha: membolehkan
Berdasarkan pandangan Ketua Bidang Ajaran Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) yaitu Suhadi Sendjaja:
“Sebenarnya kita usahakan seiman, tetapi jika sampai terjadi ada yang beda ya kita upayakan agar pernikahan itu tetap berlangsung. Karena ini bisa terjadi disebabkan ada jodoh karma yang kuat dan dalam.”
5. Hindu: Melarang
Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) menyatakan:
“Masyarakat Hindu Indonesia tidak mengenal perkawinan antar atau beda agama. Kawin beda agama memang dikenal oleh masyarakat Hidu India, tetapi terbatas hanya bagi umat yang dianggap serumpun atau Hiduisme. Seperti Hindu, Buddha, Jaina, dan Sikh.
6. Konghucu: Melarang
Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin):
“Li Yuan (pemberkatan) perkawinan dilaksanakan hanya bagi kedua mempelai yang beragama Khonghucu.
ADVERTISEMENT
Dari penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat agama yang memperbolehkan pernikahan beda agama dengan syaratnya atau ada yang tanpa syarat, dan ada yang melarang dengan keras.
Lantas apa yang harus dilakukan oleh insan yang penuh rasa cinta yang ingin melegalkan hubungannya walaupun ditentang ajaran agamanya dan mereka tidak mau mengkhianati ajaran agamanya dengan berpindah agama.
Banyak yang berupaya untuk mengajukan penetapan pengadilan di Indonesia untuk melegalkan hubungannya, lalu apa kata Mahkamah Agung?
TAFSIR MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PERNIKAHAN BEDA AGAMA
Dalam menyikapi perbedaan pandangan antar agama, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran No. 2 Tahun 2023 yang menyatakan:
Berdasarkan tafsir terbaru dari Mahkamah Agung, telah ditutup kemungkinan menikah beda agama di Indonesia kecuali terdapat hakim yang tidak tunduk pada Surat Edaran tersebut karena selama ini banyak terdapat perbedaan pendapat terkait dengan hal ini di Mahkamah Agung sendiri. Sebelumnya, perbedaan pandangan tersebut terjadi pada kasus Andi Vonny Gani V. Petrus Nelwan yang dikeluarkan catatan Mahkamah Agung Nomor XX/1989/Perdata terhadap putusan No. 1400 K/Pdt/1986, dengan catatan tersebut Mahkamah Agung memerintahkan kepada Kantor Catatan Sipil wajib menerima permohonan pernikahan beda agama.
ADVERTISEMENT
MENIKAH DI LUAR NEGERI LALU DICATATKAN DI INDONESIA MENJADI SATU SATUNYA SOLUSI BAGI MEMPELAI DENGAN PERBEDAAN AGAMA YANG INGIN MENIKAH DI INDONESIA DENGAN SEGALA RISIKONYA YAITU PENYELUNDUPAN HUKUM
Banyak negara yang tidak mensyaratkan agama dalam perkawinannya, sehingga hal ini dapat dimanfaatkan oleh warga negara Indonesia yang berbeda agama untuk menikah di luar negeri. Selain itu, Kedutaan Besar negara lain juga bisa menjadi tempat perkawinan karena kedutaan besar merupakan wilayah ekstrateritorial dari negara tersebut.
Selama perkawinannya sah menurut negara tersebut, maka perkawinan dapat dicatatkan di Indonesia dan dianggap sebagai perkawinan luar negeri. Hal ini sesuai dengan Pasal 56 ayat (1) UU Perkawinan:
“Perkawinan dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang WNI atau seorang WNI dengan WNA adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi WNI tidak melanggar ketentuan undang-undang ini.”
ADVERTISEMENT
Perkawinan luar negeri tersebut harus dicatatkan paling lama 1 (satu) tahun setelah perkawinan dengan membawa surat bukti perkawinan dan didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan (Pasal 56 ayat (2) UU Perkawinan) dan juga melaporkan ke KBRI setempat.
Akan tetapi, cara ini merupakan cara yang memiliki risiko karena dapat dianggap sebagai penyelundupan hukum karena bertentangan dengan UU Perkawinan Indonesia. Sehingga pencatatan perkawinan tersebut dapat dibatalkan. (Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, Hukum Perkawinan di Indonesia, Badan Penerbit FHUI: 2010, hlm. 90-92).
Catatan:
Tulisan ini pernah dipublikasikan di kumparanplus tetapi saya minta untuk dihapuskan karena redaksi menolak mengedit kesalahan kesimpulan yang editor simpulkan sendiri dengan mengatasnamakan saya.
Dikarenakan tulisannya sudah ada, maka saya publikasikan kembali. Saya maklumi pandangan redaksi yang tidak memahami hukum.
ADVERTISEMENT