Konten dari Pengguna

Perbedaan Antara Fakta Jurnalistik dan Fakta Hukum

Hangkoso Satrio
l'etat c'est moi
24 Juli 2020 15:49 WIB
·
waktu baca 7 menit
clock
Diperbarui 28 September 2024 13:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hangkoso Satrio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Wartawan dapat membuat fakta jurnalistik atau karya jurnalistik dari hanya satu narasumber. Sehingga dengan satu narasumber, wartawan dapat membuat berita. Akan tetapi, dari proses pembuatan berita tersebut tidak jarang terjadi suatu permasalahan. Untuk meminimalisir terjadinya konflik atau pelanggaran hukum, diciptakan kode etik jurnalistik.
ADVERTISEMENT
Timbulnya suatu konflik karena kegiatan jurnalistik
Berita dapat menciptakan konflik. Pertentangan kepentingan dapat tercipta karena adanya informasi di dalam berita yang dicap tidak benar atau menyinggung seseorang. Hal ini terjadi karena terkadang seorang wartawan tidak dapat mendeteksi apakah informasi yang didapatkan dari narasumbernya tersebut mengganggu kepentingan orang lain.
Sulitnya untuk mendeteksi suatu potensi konflik merupakan tantangan berat bagi profesi wartawan untuk memproduksi berita yang netral, karena sering kali tidak dapat diidentifikasi pihak-pihak yang berkepentingan.
Terdapat juga berita peliputan suatu konflik yang sudah tercipta sehingga pihak-pihak yang berkepentingan sudah terdeteksi dengan baik, akan tetapi wartawan bekerja tidak sesuai dengan standar jurnalistik dan menyebabkan konflik menjadi melebar. Tuntutan yang harus dilakukan oleh wartawan untuk meliput suatu konflik adalah sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
Kesulitan untuk mendapatkan konfirmasi merupakan tantangan dari pekerjaan jurnalistik. Seringkali pihak yang berkonflik hanya membuat sedikit komentar atau menyatakan “no comment” dan karena tuntutan pekerjaan, berita tersebut tetap diproduksi. Sehingga terciptalah berita yang bersifat berat sebelah.
Berat sebelah dilihat dari segi kualitas dan segi kuantitas informasi yang diciptakan, misalkan untuk pihak A tertulis 5 halaman sedangkan untuk pihak B karena menolak memberikan tanggapan maka hanya tertulis 1 halaman atau bahkan kurang. Hal ini sering terjadi karena setiap orang mempunyai strateginya masing-masing dalam mengelola konflik atau sengketa hukum dalam hal berbicara ke khalayak umum atau kalangan pers dengan tujuan menjaga kepentingan dan kehormatan dirinya. Sehingga terdapat pihak-pihak yang tidak mau berbicara kepada wartawan. Akan tetapi, lain halnya apabila di pengadilan karena setiap orang yang berkonflik di pengadilan terpaksa untuk menceritakan semua fakta agar memenangkan perkara.
ADVERTISEMENT
Sering juga terjadi karena takut mengalami permasalahan hukum narasumber tidak mau menyebutkan nama dan juga karena bersifat "off the record", istilah tersebut harus diartikan bahwa narasumber yang dimaksud tidak pernah menyampaikan informasi itu dan pers tidak boleh menggunakan pernyataan narasumber sebagai bahan berita, jika tetap diberitakan maka segala tanggung jawab berada pada pers tersebut.(Wina Armada Sukardi, Menghindari Tuduhan Pelanggaran Asas Praduga Tidak Bersalah (Jurnal Dewan Pers Edisi No. 2, November 2010: Asas Praduga Tidak Bersalah dalam Praktek Pers., hlm. 25).
Berbeda dengan “not for atribution” yang artinya sumber tidak mau disebut namanya secara eksplisit tetapi secara umum sumber tersebut dapat diidentifikasikan keberadaannya. Terdapat istilah lain, yaitu "background information" pers boleh memakai bahan-bahan yang diberikan oleh narasumber untuk dikembangkan sendiri oleh pers tetapi tidak boleh menyebut identitas narasumber dan seakan-akan bahan-bahan itu diperoleh sendiri oleh pers tetapi tidak boleh menyebut identitas narasumber. Baik untuk "not for atribution" dan "background information" narasumber tidak boleh disebut dengan terlalu jelas dan karena itu semua tanggung jawab hukum perusahaan pers. (Wina Armada Sukardi, Menghindari Tuduhan Pelanggaran Asas Praduga Tidak Bersalah (Jurnal Dewan Pers Edisi No. 2, November 2010: Asas Praduga Tidak Bersalah dalam Praktek Pers., hlm. 25-26).(di edit tanggal 28 Sept 2024).
ADVERTISEMENT
Opini pengacara pada suatu kasus yang dimuat di dalam berita merupakan contoh sempurna terkait dengan keberimbangan berita dari segi kualitas. Tugas pengacara adalah membela kliennya, sehingga pastinya pengacara tersebut mempunyai kepentingan untuk memperlihatkan bahwa kliennya yang benar dan tidak melanggar hukum. Informasi yang diciptakan oleh pengacara belum tentu benar, akan tetapi potensi wartawan terpengaruh untuk setuju dengan pendapat narasumber pengacara sangat tinggi. Hal ini karena wartawan bukanlah ahli hukum sehingga tidak jarang membuat opini lanjutan yang bersifat menghakimi.
Kewenangan pers dalam peliputan sengketa hukum hanyalah terbatas pada penyampaian fakta atau kenyataan bahwa “menurut pengadilan” orang tersebut bersalah, namun stempel kesalahannya sendiri bukanlah dari pers. Dalam kaitan inilah makna asas praduga tidak bersalah harus difahami di bidang pers. Jadi, apakah pers melanggar asas praduga tidak bersalah, kunci utamanya apakah pers melakukan penghakiman atau tidak. (sumber di bawah).
ADVERTISEMENT
Permasalahan mengenai penerapan asas praduga tidak bersalah di dalam dunia pers menjadi sulit untuk diterapkan apabila yang dimuat di dalam media adalah argumen-argumen hukum yang diciptakan oleh suatu pihak yang berkepentingan sehingga memojokkan pihak lainnya.
Disamping itu, wartawan juga harus berhati-hati menyampaikan suatu kebenaran walaupun fakta tersebut sudah terkonfirmasi dengan jelas dan juga sudah terdapat narasumber yang terpercaya. Walaupun seluruh teknik kaidah jurnalistik sudah diterapkan, pers tidak kebal terhadap tuntutan hukum. Kasus pencemaran nama baik dan penyebaran ujaran kebencian dan pasal-pasal lain yang terdapat di dalam UU ITE (Undang-Undang No. 11 tahun 2008 Jo. Undang-Undang No. 19 Tahun 2016) masih tetap dapat terjadi. Pada kasus pencemaran nama baik dan kasus penyebaran kebencian bisa jadi narasumber telah menyatakan informasi yang sesuai dengan fakta di lapangan, akan tetapi penyampaian fakta tersebut bertentangan dengan hukum.
ADVERTISEMENT
Standar untuk menciptakan fakta hukum
Hanya putusan pengadilanlah yang dapat mengklaim dan menciptakan fakta hukum. Terdapat proses dialektika di dalam persidangan, jaksa memberikan thesisnya dan dibantah oleh pengacara dengan antithesisnya dan hakim menilai dari kedua fakta yang disampaikan oleh jaksa dan pengacara sehingga timbullah suatu sintesa.
Untuk menciptakan fakta hukum tidak cukup dari satu keterangan narasumber, akan tetapi minimal harus ada 2 (dua) orang yang menyatakan fakta yang sama. Terdapat adegium di dalam hukum pidana maupun hukum perdata yang menyatakan “satu saksi bukan saksi” (bahasa latin: Unus Testis Nullus Testis). Jika minimal 2 (dua) orang menyatakan hal yang sama maka dapat dikategorikan sebagai alat bukti saksi. Akan tetapi hal tersebut juga belum cukup karena 2 (dua) saksi tersebut harus memberikan kesaksian di pengadilan dan disumpah.
ADVERTISEMENT
Disamping itu, terdapat alat-alat bukti lainnya yang harus diberikan untuk mendukung fakta yang diucapkan saksi tersebut, seperti alat bukti surat dan keterangan ahli. Alat bukti surat disini bisa dalam bentuk akta otentik atau bukti-bukti tertulis lainnya. Setelah itu, bukti-bukti yang diajukan oleh jaksa dan pengacara diperiksa oleh hakim dan hakim lah yang menilai bukti-bukti apa yang dapat digunakan untuk dijadikan dasar sebagai putusan pengadilan.
Pihak yang harus membuktikan dan mengumpulkan bukti-bukti tersebut juga berpengaruh. Pada persidangan tindak pidana, Jaksa-lah yang mempunyai kewajiban membuktikan semua tuduhan. Jaksa mendapatkan bukti-bukti dari pihak kepolisian. Sedangkan untuk perkara perdata, pihak yang mendalilkan suatu fakta harus membuktikan fakta tersebut dengan bukti yang harus ia sediakan sendiri. Bukti-bukti tersebut diajukan di persidangan dan dinilai oleh hakim.
ADVERTISEMENT
Pada putusan pengadilan tersebutlah tercipta suatu fakta hukum. Suatu fakta yang secara formil tidak dapat diganggu gugat lagi kecuali dengan putusan pengadilan yang lebih tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hakimlah yang mempunyai kewenangan untuk membentuk fakta hukum dengan putusan pengadilannya. Hakim melakukan hal tersebut karena kewenangannya dalam jabatan yang diberikan oleh hukum.
Fakta hukum yang diciptakan oleh hakim di dalam putusan bisa diragukan oleh semua orang termasuk wartawan itu sendiri dengan menuduh bahwa putusan pengadilan hasil rekayasa dan juga tidak dilakukan secara netral. Walaupun begitu, hukum akan tetap menganggap kebenaran yang sudah ada didalam putusan pengadilan yang menjadi kebenaran selama tidak dinyatakan lain. Hal inilah yang dimaksud dengan asas Res Judicata (“Res Judicata Pro Veritate Habetur”) yang merupakan prinsip umum dari hukum itu sendiri yang mempunyai arti putusan hakim harus dianggap benar.
ADVERTISEMENT
_______ Sumber:
Wina Armada Sukardi, Menghindari Tuduhan Pelanggaran Asas Praduga Tidak Bersalah (Jurnal Dewan Pers Edisi No. 2, November 2010: Asas Praduga Tidak Bersalah dalam Praktek Pers.
https://dewanpers.or.id/assets/ebook/jurnal/Jurnal%20Dewan%20Pers%20Edisi%20Ke-2.pdf