Konten dari Pengguna

Pergerakan Politik Generasi Muda, (suatu catatan usang)

Hangkoso Satrio
l'etat c'est moi
25 September 2024 17:16 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hangkoso Satrio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Itu adalah kata-kata yang dilontarkan dari Dr. Ibnu Sutowo kepada Habibie di Jerman yang membuat Habibie berfikir untuk meninggalkan karirnya di Jerman dan kembali ke Indonesia, tanah airnya. Seorang Habibie pada masa itu tentunya lebih bermanfaat di Jerman dibandingkan berada di Indonesia bagi peradaban manusia, karena disana ia berkontribusi memajukan teknologi pesawat terbang. Walau begitu ia memilih untuk pulang ke tanah airnya dan akhirnya menjadi presiden.
Ya, tidak bisa dipungkiri memang lebih menguntungkan untuk tinggal diluar negeri dibandingkan di Indonesia jika kita berhasil. Kesejahteraan lebih terjamin di Negara-negara maju.
Tetapi tidak pada manusia yang satu ini, yaitu Yoga Dirga Cahya. Ia baru berumur 26 tahun dan telah menjadi permanent resident Singapura. Ia telah tinggal di Singapura selama 9 tahun.
ADVERTISEMENT
Ada dua hal yang menarik.
1. Dari luar negeri
2. Masih muda
Timbul pertanyaan
Berani-beraninya orang yang menetap di luar negeri mencalonkan diri jadi CALEG, memang punya basis politik siapa dia?
Apa yang bisa dilakukan anak muda di DPR?
Mengapa ia repot-repot dari luar negeri menjadi CALEG, tak mau hidup enak di luar negeri?
Visi misi dari anak muda mudah ditebak, selalu menyerukan perubahan seolah semua yang ada sekarang ini itu jelek, dan juga menyerukan hal-hal lainnya yang sudah lumrah dijual oleh politikus lainnya. Seperti semangat anti korupsi dan hal-hal baik lainnya.
Perubahan selalu diimpi-impikan oleh semua orang. Seperti yang kita ketahui para wakil rakyat kita tidak cukup serius mengelola Negara, itulah anggapan sebagian besar rakyat Indonesia yang selalu mengkritik kinerja wakil rakyatnya. Begitu juga pandangan para golongan muda.
ADVERTISEMENT
Sebuah pergerakan cara baru dari para pemuda yang pastinya lebih efektif dari sekedar demonstrasi. Anak muda merupakan agen perubahan?. itu kata orang. Memang orang tua di Senayan itu tidak pernah muda? Celakanya golongan muda belum pernah tua dan golongan tua sudah pasti pernah muda.
Seperti kita ketahui, orang-orang tua di dunia perpolitikan pernah muda. Pernah pula pastinya memprotes golongan tua pada masanya. Seperti cara berfikir Hegel dengan dialektikanya, golongan tua merupakan suatu thesis dan golongan muda menjadi anti thesis. Mereka berdua bertengkar untuk mendapatkan suatu sintesa. Setelah itu golongan muda menjadi tua dan dilawan dengan golongan muda generasi dibawahnya. Begitulah kira-kira sampai dunia ini berakhir.
Tentunya golongan tua menjadi seperti sekarang ini tidak dengan sendirinya terbentuk. Telah hidup lebih lama membuat dirinya tau realitas. Idealsme masa mudanya mula-mula berkobar-kobar tetapi lama kelamaan tergerus oleh realitas yang keras dan akhirnya mengkristal menjadi kepribadian yang baru yang sebenarnya mungkin ia tak sadari ia telah berubah ataupun pura-pura tak sadar. Karena idealismenya satu persatu terlucuti oleh realitas sehingga lama-kelamaan idealisme itu telanjang dan menertawakan dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Kata-kata dari salah satu novel Pramoedya Ananta Toer tersebut membuat saya berfikir. Untuk melakukan perubahan kita tak bisa sendiri, jika sendiri maka kita akan hanya menjadi sama-sama menjadi bodoh. Jika sendiri dan tak punya teman kita tidak mungkin berpolitik minus kompromi.
Begitu juga dengan Yoga Dirga Cahya yang sekarang sendirian. Tetapi suatu deret angka dimulai dari angka satu, suatu pergerakan dimulai dari langkah pertama, orang pertama dan golongan pertama. Satu CALEG muda menjadi pionir dan setelah itu membantu angkatan muda lainnya untuk membuat suatu pergerakan baru dan membuat golongan baru di dalam senayan. Mimpi yang indah memang, tetapi tidak menjadi mustahil mimpi itu terwujud. Seperti yang saya katakan tadi, semua dimulai dari langkah pertama untuk mencapai pergerakan gaya baru.
ADVERTISEMENT
Muda tidak hanya sekedar muda, bukan umur muda yang dibutuhkan tetapi gagasan baru. Tak sabar menantikan golongan muda masuk badan Legislatif Negara Indonesia dan mendengar ceritanya langsung pengalamannya menjadi anggota legislatif. Ya itu yang saya tunggu sejujurnya, mendengar cerita langsung mengenai bagaimana Republik ini dikelola. Informasi itu nantinya menjadi sebuah motor bagi golongan muda untuk menyusun rencana menduduki badan legislatif dengan generasi yang baru untuk menciptakan harapan baru. Apa lagi jika bukan membuat list dosa-dosa para golongan tua dan berusaha memperbaikinya.
Itu semua bisa terjadi jika para pionir idealismenya tidak karatan ditengah jalan atau bahkan membuat keputusan untuk bercampur baur dengan kekuasaan yang bodoh. Karena momentum ini bisa dijadikan suatu momentum untuk mengajak para generasi muda melakukan pergerakan yang konkrit.
ADVERTISEMENT
Bisakah melawan arus?
Tidak mudah tentunya. Semua permasalahan di politik bisa jadi besar karena sengaja dibesar-besarkan. Sebagai anak muda yang masih ingusan dan tidak tau apa-apa. Saya mengkritik politik Indonesia yang tidak membangun. Terkesan saling menjatuhkan. Seolah tidak fokus pada permasalahan yang ada dan hanya fokus mencari cara untuk menjadi penguasa atau menikmati kekuasaan, bukan membangun Negara.
Tugas kita semua untuk mengingatkan mereka yang telah berkuasa agar serius mengelola negara ini. Walaupun terkadang tak punya arti karena kuasa belum menempel pada jasad. Oleh karena itu perubahan harus terus diperjuangkan.
Catatan: Yoga Dirga Cahya Telah Meninggal pada tanggal 20 Februari 2015
3 Juni 2013
Hangkoso Satrio W
Jurist
Footnote
Bacharuddin Jusuf Habibie, Habibie & Ainun, (Jakarta: PT. THC Mandiri, 2010), hlm. 71.
ADVERTISEMENT
Ibid. hlm. 94-95.
http://www.straitstimes.com/breaking-news/singapore/story/singapore-pr-hopes-run-next-indonesian-election-20130527
Tan Malaka, Madilog, (Jakarta: Widjaya, 1951). hlm 107- 108
Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa. (Jakarta: Lentera Dipantara, 2006).