Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Hak Kebebasan Beragama, Larangan Jilbab dan Peran Pengadilan
5 Februari 2021 15:48 WIB
Tulisan dari Hani Adhani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Munculnya kasus terkait dengan adanya anjuran memakai jilbab bagi para siswa di beberapa sekolah negeri di tanah air menimbulkan kesan bahwa seolah-olah ada perlakuan diskriminasi yang diterapkan oleh sekolah negeri terhadap siswa yang mendasarkan pada agama atau discrimination based on religion or belief. Padahal sejak era reformasi yang diawali dengan dilakukannya amandemen konstitusi (UUD 1945), Indonesia menjadi salah satu negara yang juga berupaya untuk selalu menjunjung HAM.
ADVERTISEMENT
Salah satu syarat bahwa sebuah konstitusi dikatakan sebagai konstitusi yang modern adalah apabila di dalam konstitusi tersebut mengatur tentang HAM. Meskipun pandangan tentang HAM di tiap negara berbeda-beda, namun ada satu hak asasi yang pasti dimiliki oleh semua umat manusia yaitu hak alamiah (natural right) yang dimiliki oleh semua umat manusia. Salah satu hak alamiah tersebut adalah hak kebebasan beragama.
Dalam UUD 1945 hak kebebasan beragama ini diatur dalam Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali” dan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”, yang kemudian ditegaskan kembali dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
ADVERTISEMENT
Larangan Jilbab di Luar Negeri
Selain di Indonesia, kontroversi terkait pemakaian jilbab juga terjadi di beberapa negara di luar negeri yang mayoritas penduduknya adalah non-muslim. Salah satu yang menjadi kontroversi adalah terkait dengan hak kebebasan beragama dan cara berpakaian umat beragama yang dikaitkan dengan larangan memakai jilbab bagi perempuan muslim.
Kontroversi tentang larangan pemakaian jilbab di negara barat telah membuat kita sebagai warga negara Indonesia yang mayoritas Islam agak kaget karena tiba-tiba saja beberapa negara barat mengeluarkan kebijakan yang menurut nalar yang wajar seharusnya itu tidak perlu dilakukan. Adanya fobia terhadap berbagai kejadian yang mengatasnamakan “terorisme” yang menjual nama Islam justru semakin menimbulkan kesan bahwa memang negara barat sangat takut dengan Islam.
ADVERTISEMENT
Ketakutan yang berlebihan inilah yang pada akhirnya membuat mereka lupa bahwa kebebasan dan HAM yang selalu mereka gembor-gemborkan malah pada akhirnya menjadi bumerang karena faktanya merekalah yang justru membuat kebijakan yang melanggar HAM. Bagaimana mungkin dalam sebuah negara yang menjunjung tinggi HAM ada aturan yang melarang warganya untuk memakai pakaian yang notabene pakaian tersebut adalah identitas dari agama yang mereka anut serta merupakan perintah dari agamanya yang tertulis dalam kitab agama tersebut dan oleh negara dikenakan larangan serta dikenakan hukuman dan/atau denda.
Terkait dengan hak kebebasan beragama masing-masing negara pastinya telah mengatur dalam konstitusi masing-masing negara yang merupakan hukum tertinggi dan harus ditaati. Begitupun dengan peraturan di dalam dunia internasional, sudah ada aturan yang mengatur secara rinci tentang hak kebebasan beragama dan larangan agar tidak melakukan diskriminasi dengan alasan agama yang diatur dalam peraturan yang dikeluarkan oleh PBB sebagai lembaga atau organisasi yang mewadahi seluruh negara di seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
Beberapa peraturan yang dikeluarkan oleh perserikatan bangsa-bangsa yang mengatur tentang kebebasan beragama bagi seluruh umat manusia di antaranya adalah Piagam Deklarasi HAM, Deklarasi HAM 1948, ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), dan CEDAW (Convention on Elimination of All Forms of Discrimation Against Women).
Putusan The European Court of Human Rights
Adanya pengaturan tentang kebebasan beragama bagi seluruh manusia yang diatur dalam beberapa peraturan yang dibuat oleh perserikatan bangsa-bangsa (UN) ternyata tidak dapat menjadi acuan dalam hal putusan pengadilan khususnya terkait dengan kasus yang dialami oleh warga negara yang mengalami kerugian konstitusional terkait dengan kebijakan yang dibuat oleh negaranya. Kasus tentang larang berjilbab ditempat kerja yang dilakukan oleh negara Belgia telah pula menjadi kasus di pengadilan HAM di eropa.
ADVERTISEMENT
Pengadilan Eropa untuk HAM menemukan bahwa larangan negara Belgia terhadap pakaian yang sebagian atau seluruhnya menutupi wajah di depan umum adalah sah menurut Konvensi Eropa tentang HAM. Dalam putusannya pengadilan tersebut menyatakan bahwa larangan tersebut diperlukan dalam masyarakat demokratis, dengan tujuan untuk melindungi "hak dan kebebasan orang lain" dan berusaha untuk menjamin kondisi "hidup bersama".
Dalam putusannya, ECHR justru memperkuat peraturan perusahaan tersebut dan menyatakan bahwa larangan penggunaan jilbab di tempat bekerja bukanlah suatu tindakan diskriminatif dan aturan tersebut dapat diberlakukan sebagai bagian dari kebijakan internal masing-masing perusahaan. Putusan tersebut dikeluarkan setelah ada gugatan terkait penggunaan jilbab yang diajukan oleh seorang perempuan muslim yang bekerja di sebuah perusahan di Belgia, di mana perusahaan tersebut membuat larangan bagi pegawainya untuk memakai simbol-simbol agama dalam bekerja.
ADVERTISEMENT
Adanya putusan tersebut jelas cukup mengherankan dan secara kasat mata tentunya tidak mengacu terhadap apa yang tertulis dalam UN Declaration, UDHR, ICPPR serta CEDAW dan malah mungkin bertentangan dengan ke empat aturan tersebut. Putusan tersebut jelas telah membuat makin banyaknya perlakuan diskriminatif yang akan dialami oleh warga perempuan Muslim di Eropa.
Ketika hak untuk beragama kemudian dibenturkan dengan hak untuk mendapatkan pekerjaan dan hak kebebasan berekspresi maka tentu seharusnya ketiganya harus berjalan beriringan saling mengisi satu sama lain. Sangat tidak logis apabila keputusan pengadilan justru pada akhirnya memaksa orang untuk memilih antara keyakinan agama dan pekerjaannya. Hal tersebut jelas jelas benar-benar telah melanggar prinsip-prinsip HAM, hukum dan keadilan.
ADVERTISEMENT
Putusan MK tentang Kebebasan Beragama dan Hak Perempuan
Indonesia sebagai salah satu negara yang mayoritas muslim sejak dilakukan perubahan konstitusi Indonesia telah memiliki lembaga pengadilan yang bernama Mahkamah Konstitusi (MK) yang secara khusus menjadi tempat mengadu bagi warga negaranya apabila ada pelanggaran terkait dengan hak konstitusional warga negara yang diatur dalam konstitusi Indonesia.
MK sebagai pengawal konstitusi yang telah berdiri sejak tahun 2003 telah banyak melakukan terobosan terkait dengan hak konstitusional kebebasan beragama dan juga hak-hak perempuan. Terkait hak perempuan, MK melalui putusannya dalam perkara 88/PUU-XIV/2016 dalam pengujian Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, telah memberikan semacam panduan terkait pembatasan yang boleh dilakukan oleh negara yang sesuai dengan konstitusi terhadap hak konstitusional warga negara yaitu:
ADVERTISEMENT
a. pembatasan itu harus dilakukan dengan Undang-Undang;
b. pembatasan yang harus dilakukan dengan Undang-Undang itu adalah dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain;
c. pembatasan yang harus dilakukan dengan Undang-Undang itu juga dengan maksud untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Selain itu, terkait kebebasan beragama, MK dalam putusan perkara 97/PUU-XIV/2016, telah menyatakan pula bahwa hak atau kemerdekaan menganut agama termasuk menganut kepercayaan terhadap Tuhan adalah hak yang melekat pada setiap orang sebab hak tersebut diturunkan dari kelompok hak-hak alamiah (natural rights) yang bukan pemberian negara.
Oleh karenanya menurut MK, hak beragama dan menganut kepercayaan merupakan salah satu HAM sehingga sebagai negara hukum yang mensyaratkan perlindungan atas HAM, negara mempunyai tanggung jawab untuk menjamin hak asasi warganya dalam praktik atau kenyataan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Dalam kedua putusan tersebut, MK juga memberikan pertimbangan hukum yang juga berpatokan kepada Deklarasi Undang-Undang HAM (UDHR/DUHAM), Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) yang seharusnya juga menjadi patokan dalam setiap pertimbangan putusan pengadilan diseluruh dunia khususnya yang menyangkut HAM dan hak konstitusional warga negara.
Putusan MK tersebut jelas sangat bertolak belakang dengan putusan ECHR terkait kasus larangan berjilbab di Belgia yang dalam pertimbangan hukumnya, ECHR tidak mempertimbangkan berbagai aturan internasional yang mengatur HAM dan anti diskriminasi terhadap perempuan sebagaimana diatur dalam UN Declaration, UDHR, ICCPR, dan CEDAW. Padahal keempat aturan tersebut telah mengikat dan menjadi bagian aturan yang juga mengatur masyarakat uni eropa.
ADVERTISEMENT
Putusan MK tersebut tentu dapat menjadi rujukan bagi pengadilan negara-negara lain di seluruh dunia dalam memutus sebuah perkara yang berkaitan dengan HAM dan hak konstitusional warga negara karena semua negara pastinya memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan dan perlakuan yang sama terhadap warganya sehingga ke depan tidak akan ada lagi kasus perlakuan diskriminasi terhadap perempuan muslim yang memakai hijab dan pengadilan betul-betul dapat memberikan rasa keadilan kepada warganya dengan berpatokan kepada hukum dan aturan yang bersifat universal yang telah disepakati oleh seluruh negara di dunia.
Peran Pengadilan Dalam Penegakan HAM
Hak kebebasan beragama yang telah diatur dalam berbagai aturan internasional yang dibuat oleh perserikatan bangsa-bangsa (UN) adalah sebagai bukti adanya kesepakatan bersama bahwa seluruh umat manusia adalah sama tanpa melihat agama yang mereka anut. Adanya berbagai kasus perlakukan diskriminasi baik yang terjadi di Indonesia ataupun beberapa negara di luar negeri tentunya menjadikan permasalahan baru yang harus dicarikan solusinya agar aturan yang dibuat tidak bertentangan dengan aturan internasional dan juga konstitusi.
ADVERTISEMENT
Kasus yang dialami siswa yang merasa dipaksa untuk memakai jilbab padahal siswa tersebut non-muslim, tentunya menjadi persoalan konstitusional yang juga harus dicarikan solusi terbaik agar persoalan tersebut dapat diselesaikan secara konstitusional. Peran dan kesadaran masyarakat, NGO dan ormas untuk juga menggunakan hak konstitusionalnya untuk melakukan upaya hukum (judicial review) terkait munculnya berbagai peraturan yang terkadang mengindahkan aturan internasional dan juga melanggar konstitusi harus menjadi acuan utama agar kita sebagai masyarakat yang melek HAM dan konstitusi memanfaatkan hal tersebut secara maksimal.
Selain itu, lembaga pengadilan yang merupakan palang pintu terakhir dalam upaya untuk menjaga dan melindungi HAM harus memiliki persamaan persepsi terhadap aturan baku yang bersifat internasional yang telah mengatur HAM secara global dan juga aturan baku yang sudah diatur dalam konstitusi. Meskipun lembaga pengadilan adalah lembaga yang independen dan imparsial namun bukan berarti dapat dengan mudah mengindahkan aturan baku yang bersifat global yang mengatur HAM yang justru telah menjadi patokan dalam proses penegakan HAM.
ADVERTISEMENT
Tentunya kita berharap agar kita sebagai masyarakat yang sadar akan hak konstitusional memilik persepsi yang sama terkait dengan proses penegakan HAM sehingga dapat memaksimalkan peran pengadilan dalam upaya untuk menyelesaikan berbagai permasalahan konstitusional yang dialami oleh masyarakat sehingga kasus-kasus perlakuan diskriminasi yang terjadi di masyarakat dapat terselesaikan dengan putusan yang dihormati oleh seluruh stake holder dan seluruh lapisan masyarakat.
*****