Indonesia Darurat Korupsi?

Hani Adhani
PhD Candidate, Faculty of Law, International Islamic University Malaysia (IIUM) - Alumni The Hague University. Alumni FH UI dan FH UMY.
Konten dari Pengguna
9 Desember 2020 19:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hani Adhani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hari Anti Korupsi Internasional yang diperingati setiap tanggal 9 Desember menjadi hari yang seharusnya dapat diperingati secara suka cita oleh bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut seharusnya ditandai dengan semakin baik dan meningkatnya integritas seluruh elemen bangsa khususnya para pejabat negara yang diberikan tanggung jawab untuk membantu masyarakat, bangsa dan negara di saat pandemi.
Dikutip dari website United Nation (https://www.un.org/en/observances/anti-corruption-day ) bahwa korupsi tumbuh subur di saat krisis dan pandemi global yang sedang berlangsung dan negara di seluruh dunia telah mengambil langkah-langkah signifikan untuk menangani keadaan darurat kesehatan dan untuk menghindari keruntuhan ekonomi secara global. Banyak negara yang dengan tergesa-gesa mengerahkan miliaran dana untuk mendapatkan peralatan medis, menyediakan jaringan pengaman ekonomi bagi warganya dan membantu bisnis masyarakat yang mengalami kesulitan. Namun sayangnya, hal tersebut tidak ditindaklanjuti dengan melakukan pengawasan dan akuntabilitas secara ketat sehingga hal tersebut menciptakan peluang yang signifikan untuk melakukan korupsi. Menurut UN, untuk meredam hal tersebut hanya dapat dilakukan dengan memulihkan integritas dan melakukan langkah-langkah efektif untuk meredam peluang terjadinya korupsi di masa pandemic.
Website UN - memperingati Hari Anti Korupsi Internasional
Korupsi Pejabat Negara Di Masa Pandemi
ADVERTISEMENT
Ditetapkannya Menteri Sosial beberapa hari lalu sebagai tersangka korupsi yang berkaitan dengan dana bansos bagi masyarakat yang terkena dampak pandemi corona yang kemudian beberapa hari sebelumnya didahului dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) Menteri Kelautan dan Perikanan, semakin menambah suram track record integritas para pejabat negara di Republik Indonesia.
Menurut data dari berbagai sumber setidaknya ada lebih dari 100 pejabat negara yang dijadikan tersangka karena telah melakukan korupsi sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdiri tahun 2004 dan hingga saat ini setidaknya ada 4 orang Menteri di kabinet Presiden Joko Widodo yang terseret kasus korupsi.
Selain Menteri, sederet nama para kepala daerah yang dulunya dieluk-elukan pada saat kampanye pemilukada, namun dalam hitungan yang tidak terlalu lama akhirnya mereka mengalami pesakitan dan mendekam dalam penjara karena melakukan korupsi.
ADVERTISEMENT
Para Pejabat Negara yang seharusnya menjadi contoh untuk para aparatur sipil negara dan juga menjadi contoh untuk seluruh masyarakat malah melakukan perbuatan yang sangat tercela yaitu melakukan korupsi. Seolah-olah mereka semua lupa akan janji dan sumpah yang diucapkan pada saat mereka didaulat menjadi pejabat negara. Hal lain yang juga membuat kita miris adalah tidak adanya rasa malu dan takut yang dialami oleh pejabat negara yang melakukan korupsi tersebut. Meski mereka sadar dan paham bahwa pejabat negara pasti akan selalu ada dalam pengawasan KPK, namun seolah-olah hal tersebut dinafikkan.
Tindakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara tersebut bukan hanya menyebabkan nama baik keluarga, kampung halaman, almamater, organisasi menjadi tercoreng, namun lebih jauh lagi menyebabkan trauma berkepanjangan bagi masyarakat dan juga bagi para ASN yang bekerja di kementerian, lembaga dan pemerintahan daerah tempar para pejabat tersebut mengemban amanah.
ADVERTISEMENT
Mahalnya Ongkos Politik
Pasca ditangkapnya Bupati Kabupaten Bekasi oleh KPK beberapa waktu lalu, Jusuf Kalla menyampaikan pernyataan yang cukup menarik, bahwa penyebab para kepala daerah melakukan korupsi adalah karena adanya dorongan hidup mewah dan biaya ongkos politik yang mahal.
Pernyataan Jusuf Kalla tersebut memang benar adanya dan sudah menjadi fakta hukum. Kita sebagai masyarakat sangat merasakan adanya dua fenomena yang saat ini tengah merasuki masyarakat kita yaitu keinginan untuk secara instan menjadi orang kaya agar dapat hidup mewah serta keinginan untuk menjadi pejabat negara yang juga didapatkan secara instan meski dengan ongkos politik yang mahal.
Pola pemilihan umum baik pileg maupun pilkada yang dilaksanakan secara langsung saat ini memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Mulai dari mahar politik, ongkos operasional saksi, biaya kampanye, amplop coklat untuk para tim sukses hingga money politic. Apabila dihitung dengan rupiah, maka ongkos politik untuk menjadi kontestan pilkada mencapai milyaran rupiah. Menurut data dari berbagai sumber untuk menjadi kontestan pilkada di kabupaten/kota, pasangan calon bupati/walikota setidaknya harus menyiapkan ongkos politik berkisar antara 10 s.d. 20 milyar rupiah, sedangkan untuk kontestan pilkada di tingkat provinsi yaitu gubernur, kisaran ongkos politik yang harus dikeluarkan adalah antara 30 s.d. 50 Milyar rupiah. Hal yang sama juga terjadi saat pemilihan anggota legislatif baik DPRD Kab/kota, DPRD Provinsi maupun DPR RI dan DPD RI.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut berbanding terbalik dengan gaji dan tunjangan yang diterima oleh para kepala daerah ataupun anggota legislatif tersebut tiap bulannya yang masih berkisar antara 20 s.d. 50 juta. Namun, anehnya adalah meski ongkos politik pilkada dan pileg cukup mahal dan gaji kepala daerah ataupun anggota legislatif yang kecil, namun hal tersebut tidak menyurutkan semangat para politisi dan tokoh masyarakat untuk terus berupaya menjadi bagian dari kontestasi pilkada dan pileg. Tentunya fenomena tersebut sangat janggal dan tidak masuk akal, oleh karena apabila dilihat dari kalkulasi biaya yang dikeluarkan dengan kemungkinan gaji yang didapatkan untuk menjadi kepala daerah atau anggota legislatif, maka sangat jauh dari balance dan apabila dihitung secara matematika ekonomi, maka untuk menjadi kepala daerah ataupun anggota legislatif adalah jabatan yang merugi.
ADVERTISEMENT
Namun, hal tersebut terbantahkan apabila melihat pola korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara yang saat ini telah menjadi tersangka dan terpidana. Rumus merugi tersebut ternyata dapat ditutupi dengan berbagai fee proyek atau fee perizinan dan berbagai gratifikasi yang menjurus kepada tindak pidana korupsi. Adanya ongkos politik pilkada dan pileg yang mahal tersebut memang berbanding lurus dengan maraknya fakta korupsi para pejabat negara.
Tentunya harus dicarikan solusi untuk menutup penyakit korupsi yang terus menjalar yang kehadirannya selalu beriringan dengan pelaksanaan pemilu. Untuk Pilkada, mengembalikan pola pemilihan kepala daerah kepada DPRD menjadi salah satu solusi untuk menghapus ongkos politik yang mahal dalam kontestasi pilkada sebagaimana telah diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilukada yang kemudian dibatalkan dengan perpu Nomor 1 Tahun 2014 oleh Presiden SBY.
ADVERTISEMENT
Dorongan Gaya Hidup Mewah
Hal lain yang juga menjadi stimulus tindak pidana korupsi adalah dorongan hidup mewah. Fenomena gaya hidup mewah yang ada dalam cerita sinetron di televisi yang selalu ditonton oleh masyarakat kita sepertinya menjadi pola yang juga terjadi di masyarakat kita saat ini. Menjadi orang kaya dan hidup mewah seolah-olah menjadi mimpi bagi semua lapisan masyarakat. Ditambah lagi gaya hidup mewah tersebut juga ditunjukan oleh para pejabat negeri ini.
Meski Presiden Joko Widodo berupaya untuk memberikan contoh hidup sederhana dengan pakaian putih dan sepatu kets-nya, namun sayangnya hal tersebut tidak diikuti oleh pejabat lainnya di level bawah. Padahal apabila contoh dari Presiden Jokowi tersebut dapat ditiru oleh semua pejabat negara, pastinya hal tersebut akan berdampak sistematis terhadap psikologis masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dorongan untuk bergaya hidup mewah ini bukan hanya meracuni para pejabat pusat dan kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi, namun juga secara merata meracuni kita sebagai masyarakat yang berpenghasilan pas-pasan. Lebarnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin menjadi cikal bakal lahirnya rasa iri yang menyebabkan masyarakat berupaya untuk menjadi kaya dengan menghalalkan segala cara.
Selain itu, para pejabat negara yang seharusnya menjadi contoh dan tauladan bagi masyarakat agar membangun budaya pola hidup sederhana, malah semakin memperlihatkan pola gaya hidup mewahnya. Tidak jarang kita lihat, para pejabat di pusat maupun daerah yang memakai kendaraan super mewah dikawal dengan voorrijder, tinggal di perumahan elit dengan pengawalan yang super ketat sehingga semakin jauh dari masyarakat. Para pejabat yang seharusnya merasakan apa yang rakyat rasakan malah semakin lupa dengan rakyatnya. Mereka memisahkan diri dengan label VVIP sehingga pada akhirnya semakin sulit untuk menjadi contoh dan tauladan untuk rakyatnya.
ADVERTISEMENT
Kita berharap agar Presiden Joko Widodo, para menteri, dan para kepala daerah di seluruh Indonesia berani mengeluarkan peraturan yang mengatur tentang pola hidup sederhana yang diberlakukan untuk seluruh pejabat negara dan juga ASN seperti yang pernah dikeluarkan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1974 yaitu Kepres Nomor 10 Tahun 1974 tentang Beberapa Pembatasan Kegiatan Pegawai Negeri Dalam Rangka Pendayagunaan Aparatur Negara dan Kesederhanaan Hidup.
Hal tersebut bertujuan agar penyakit korupsi yang berasal dari pola hidup mewah minimal dapat segera diredam sehingga kesenjangan antara pejabat negara dengan masyarakat tidak terlihat. Semoga hal tersebut dapat segera diwujudkan.
Selamat memperingati Hari Anti Korupsi Internasional.
*****