Biaya Politik Tinggi Jadi Awal Wabah Korupsi

Hani Adhani
PhD Candidate, Faculty of Law, International Islamic University Malaysia (IIUM) - Alumni The Hague University. Alumni FH UI dan FH UMY.
Konten dari Pengguna
1 November 2018 6:54 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hani Adhani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi penolakan. (Foto: Shutter Stock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi penolakan. (Foto: Shutter Stock)
ADVERTISEMENT
Ditetapkannya Bupati Kabupaten Bekasi, Neneng Hasanah Yasin, sebagai tersangka korupsi yang berkaitan dengan perizinan Meikarta yang kemudian disusul dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) Bupati Cirebon, Sunjaya Purwadisastra, semakin menambah suram track record para kepala daerah di Provinsi Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
Menurut data dari berbagai sumber, setidaknya ada 100 kepala daerah yang dijadikan tersangka telah melakukan korupsi sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdiri tahun 2004 dan hingga saat ini setidaknya ada sekitar 14 orang kepala daerah yang berasal dari Provinsi Jawa Barat yang terseret kasus korupsi.
Sederet nama para kepala daerah di Provinsi Jawa Barat yang dulunya dieluk-elukan pada saat kampanye pemilukada, namun dalam hitungan yang tidak terlalu lama akhirnya mereka mengalami pesakitan dan mendekam dalam penjara karena melakukan korupsi.
Para Kepala Daerah yang seharusnya menjadi contoh untuk para aparatur sipil negara dan seluruh masyarakat malah melakukan perbuatan yang sangat tercela yaitu melakukan korupsi. Seolah-olah mereka semua lupa akan janji dan sumpah yang diucapkan pada saat mereka didaulat menjadi kepala daerah.
ADVERTISEMENT
Hal lain yang juga membuat kita miris adalah tidak adanya rasa takut yang dialami oleh para kepala daerah tersebut. Meski mereka sadar dan paham bahwa pejabat negara pasti akan selalu ada dalam pengawasan KPK, namun seolah-olah hal tersebut dinafikan.
Tindakan korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah tersebut bukan hanya menyebabkan nama baik daerah menjadi tercoreng, namun lebih jauh lagi menyebabkan trauma berkepanjangan bagi masyarakat dan juga bagi para ASN yang bekerja di pemerintahan daerah tersebut.
ADVERTISEMENT
Pernyataan Jusuf Kalla tersebut memang benar adanya dan sudah menjadi fakta hukum. Kita sebagai masyarakat sangat merasakan adanya dua fenomena yang saat ini tengah merasuki masyarakat kita yaitu keinginan untuk secara instan menjadi orang kaya agar dapat hidup mewah serta keinginan untuk menjadi pejabat negara yang juga didapatkan secara instan meski dengan ongkos politik yang mahal.
Mahalnya Ongkos Politik Pilkada
Pola Pilkada yang dilaksanakan secara langsung saat ini memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Mulai dari mahar politik, ongkos operasional saksi, biaya kampanye, amplop coklat untuk para tim sukses, hingga money politic. Apabila dihitung dengan rupiah, maka ongkos politik untuk menjadi kontestan pilkada mencapai miliaran rupiah.
Menurut data dari berbagai sumber, untuk menjadi kontestan pilkada di kabupaten/kota, pasangan calon bupati/walikota setidaknya harus menyiapkan ongkos politik berkisar antara Rp 20 sampai Rp 50 miliar, sedangkan untuk kontestan pilkada di tingkat provinsi yaitu gubernur, kisaran ongkos politik yang harus dikeluarkan adalah antara Rp 50 miliar sampai Rp 150 Miliar.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut berbanding terbalik dengan gaji dan tunjangan yang diterima oleh para kepala daerah tiap bulannya yang masih berkisar antara Rp 20 juta sampai Rp 30 juta.
Tentunya fenomena tersebut sangat janggal dan tidak masuk akal, oleh karena apabila dilihat dari kalkulasi biaya yang dikeluarkan dengan kemungkinan gaji yang didapatkan untuk menjadi kepala daerah, maka sangat jauh dari balance dan apabila dihitung secara matematika ekonomi, maka untuk menjadi kepala daerah adalah jabatan yang merugi.
Namun, hal tersebut terbantahkan apabila melihat pola korupsi yang dilakukan oleh para kepala daerah yang saat ini telah menjadi tersangka dan terpidana. Rumus merugi tersebut ternyata dapat ditutupi dengan berbagai fee proyek, gratifikasi mutasi para ASN, dan berbagai gratifikasi yang menjurus kepada tindak pidana korupsi.
ADVERTISEMENT
Adanya ongkos politik pilkada yang mahal memang berbanding lurus dengan maraknya fakta korupsi para kepala daerah khususnya di Jawa Barat yang menjadi salah satu provinsi dengan jumlah kepala daerah terbanyak yang melakukan korupsi.
Tentunya harus dicarikan solusi untuk menutup penyakit korupsi yang terus menjalar yang kehadirannya selalu beriringan dengan pelaksanaan pilkada langsung.
Mengembalikan pola pemilihan kepala daerah kepada DPRD menjadi salah satu solusi untuk menghapus ongkos politik yang mahal dalam kontestasi Pilkada sebagaimana telah diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilukada yang kemudian dibatalkan dengan perpu Nomor 1 Tahun 2014 oleh Presiden SBY.
Dorongan Gaya Hidup Mewah
Hal lain yang juga menjadi stimulus tindak pidana korupsi adalah dorongan hidup mewah. Fenomena gaya hidup mewah yang ada dalam cerita sinetron di televisi yang selalu ditonton oleh masyarakat kita sepertinya menjadi pola yang juga terjadi di masyarakat kita saat ini.
ADVERTISEMENT
Menjadi orang kaya dan hidup mewah seolah-olah menjadi mimpi bagi semua lapisan masyarakat. Ditambah lagi gaya hidup mewah tersebut juga ditunjukkan oleh para kepala daerah dan para pejabat negeri ini.
Meski Presiden Jokowi berupaya untuk memberikan contoh hidup sederhana dengan pakaian putih dan sepatu kets-nya, namun sayangnya hal tersebut tidak diikuti oleh pejabat lainnya di level bawah.
Padahal apabila contoh dari Presiden Jokowi tersebut dapat ditiru oleh semua pejabat negara, pastinya hal tersebut akan berdampak sistematis terhadap psikologis masyarakat Indonesia.
Dorongan untuk bergaya hidup mewah ini bukan hanya meracuni para pejabat kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi, namun juga secara merata meracuni kita sebagai masyarakat yang berpenghasilan pas-pasan. Lebarnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin menjadi cikal bakal lahirnya rasa iri yang menyebabkan masyarakat berupaya untuk menjadi kaya dengan menghalalkan segala cara.
ADVERTISEMENT
Selain itu, para pejabat negara yang seharusnya menjadi contoh dan tauladan bagi masyarakat agar membangun budaya pola hidup sederhana, malah semakin memperlihatkan pola gaya hidup mewahnya.
Tidak jarang kita lihat, para pejabat di pusat maupun daerah yang memakai kendaraan super mewah, tinggal di perumahan elit dengan pengawalan yang super ketat sehingga semakin jauh dari masyarakat.
Para pejabat yang seharusnya merasakan apa yang rakyat rasakan malah semakin lupa dengan rakyatnya. Mereka memisahkan diri dengan label VVIP sehingga pada akhirnya semakin sulit untuk menjadi contoh dan tauladan untuk rakyatnya.
ADVERTISEMENT
Kita berharap agar Presiden Jokowi, Gubernur Jawa Barat, dan para kepala daerah di seluruh Indonesia berani mengeluarkan peraturan yang mengatur tentang pola hidup sederhana yang diberlakukan untuk seluruh pejabat negara dan juga ASN seperti yang pernah dikeluarkan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1974 yaitu Kepres Nomor 10 Tahun 1974 tentang Beberapa Pembatasan Kegiatan Pegawai Negeri Dalam Rangka Pendayagunaan Aparatur Negara dan Kesederhanaan Hidup.
Hal tersebut bertujuan agar penyakit korupsi yang berasal dari pola hidup mewah minimal dapat segera diredam sehingga kesenjangan antara pejabat negara dengan masyarakat tidak terlihat. Semoga hal tersebut dapat segera diwujudkan. Hatur Nuhun.
*****