Menegakan Kepastian Hukum di Tengah Wabah Covid-19

Hani Adhani
PhD Candidate, Faculty of Law, International Islamic University Malaysia (IIUM) - Alumni The Hague University. Alumni FH UI dan FH UMY.
Konten dari Pengguna
10 Mei 2020 12:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hani Adhani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pandemi virus corona yang menimpa belahan dunia saat ini, menjadi permasalahan baru bagi seluruh warga dunia. Tiap negara berupaya untuk menutup ruang gerak virus covid-19 dengan cara menutup ruang gerak pembawa virus yakni manusia. Sejumlah cara dilakukan untuk membatasi ruang gerak manusia agar tidak tertular virus covid-19 ini. Puluhan ribu manusia di seluruh dunia telah menjadi korban dan kita tidak pernah tahu kapan pandemi ini akan berakhir.
ADVERTISEMENT
Setiap negara berupaya untuk survive melawan corona dengan melakukan segala upaya untuk melindungi warganya. China sebagai negara yang pertama kali terjangkit, setelah mengetahui banyaknya korban jiwa akibat virus corona ini, akhirnya memberlakukan keadaan darurat dengan cara menutup Kota Wuhan (lockdown) sehingga masyarakat yang berada di Kota Wuhan tidak dapat keluar dari Kota Wuhan dan sebaliknya masyarakat dari luar Kota Wuhan juga tidak bisa masuk ke Kota Wuhan. Seluruh moda transportasi di Kota Wuhan di tutup dan masyarakat di paksa untuk tinggal di dalam rumah. Lockdown tersebut dilakukan sebagai upaya untuk menutup ruang penyebaran virus.
Regulasi yang dilakukan oleh Pemerintah China tersebut kemudian di tiru oleh berbagai negara di berbagai belahan dunia. Namun dengan melihat kondisi masyarakat, masing-masing negara mempunyai regulasi yang berbeda terkait pemberlakuan lockdown ini, sehingga ada yang memberlakukan lockdown secara penuh seperti halnya di Kota Wuhan, namun ada juga negara yang memberlakukan lockdown secara parsial dan hanya berdasarkan wilayah sehingga masyarakat tetap masih dapat keluar rumah.
Protokol WHO - Sumber: website WHO
Regulasi Darurat Kesehatan
ADVERTISEMENT
Kebijakan masing-masing negara untuk memberlakukan keadaan darurat biasanya sudah diatur secara spesifik dalam konstitusi masing-masing negara sebagai hukum tertinggi. Sebagai contoh negara China sudah mengatur tentang mekanisme darurat dalam konstitusi mereka, dimana Presiden menjadi titik tumpu otoritas untuk memutuskan keadaan darurat baik di seluruh negara atau perwilayah provinsi. Begitupun negara dengan mayoritas muslim yang berada di Eropa yakni Turki, juga mengatur secara rigid keadaan darurat apabila terjadi pandemi, dalam konstitusi Turki kewenangan untuk menetapkan keadaan darurat juga berada di tangan Presiden. Hal yang sama juga terjadi di Negara Malaysia dimana dalam konstitusi Malaysia keadaan darurat menjadi hak prerogatif Raja dan Perdana Menteri.
Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki konstitusi yang modern yakni konstitusi yang melindungi hak asasi manusia secara menyeluruh juga mengatur secara jelas tentang aturan kedaan darurat ini. Dalam Pasal 12 Konstitusi Indonesia (UUD 1945) disebutkan “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”. Sejauh ini terkait dengan upaya untuk menanggulangi virus corona, Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Nomor Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan yang diundangkan tanggal 8 Agustus 2018. Dengan mengacu kepada undang-undang tersebut, maka langkah yang dapat dilakukan oleh Pemerintah adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 yakni “bertanggung jawab melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat melalui penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan”. Terkait hal tersebut, Presiden telah mengeluarkan beberapa peraturan diantaranya menetapkan status kedaruratan kesehatan masyarakat (Kepres 11/2020) dan juga mengeluarkan aturan tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 (PP 21/2020).
ADVERTISEMENT
Selain itu, sebagai upaya untuk menutup ruang penyebaran virus covid-19, Pemerintah yang diwakili oleh Kementerian terkait dan Pemerintah Daerah juga membuat regulasi dan aturan hukum dengan tujuan agar masyarakat bisa bersama-sama melawan atau minimal menghindari terjangkitnya virus corona. Regulasi tersebut ada yang berbentuk peraturan, keputusan, surat edaran, protokol dan juga anjuran, seperti Peraturan Gubernur Tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Surat Edaran Kemenkes tentang penggunaan masker dan penyediaan sarana cuci tangan pakai sabun, Keputusan Menteri Kesehatan tentang Penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar di berbagai wilayah di Indonesia, Surat Edaran Menteri Perindustrian tentang Pedoman Pengajuan Permohonan Perizinan Pelaksanaan Kegiatan Industri Dalam Masa Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, Peraturan Menteri Perhubungan tentang Pengendalian Transportasi Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona dan banyak lagi protokol serta anjuran yang telah dibuat oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, kementerian dan juga lembaga negara sebagai upaya untuk memutus rantai penyebaran virus corona.
ADVERTISEMENT
Berbagai Protokol Covid 19 Sumber: website covid19.go.id
Kepastian Hukum Saat Darurat Kesehatan
Namun, meski Pemerintah dengan segala cara berupaya untuk menutup ruang pergerakan virus, fakta yang terjadi di masyarakat justru berbeda, oleh karena berbagai aturan tersebut tidak cukup efektif meredam keinginan masyarakat untuk tidak keluar rumah.
Masyarakat pada akhirnya terbagi menjadi dua pandangan, yakni yang mengikuti anjuran Pemerintah dengan melaksanakan semua regulasi dan anjuran yang ada, namun ada juga masyarakat yang menolak regulasi yang ada dan tidak mengikuti anjuran Pemerintah. Hasil survey dari SRMC misalnya terkait dengan keinginan mudik, 31% warga Jakarta masih berkeinginan untuk mudik di tengah pandemi ini. Padahal kita semua memahami bahwa efek bahaya mudik bagi seluruh masyarakat di tengah kondisi darurat kesehatan seperti ini. Tambah lagi, ada sebagaian peraturan dan regulasi yang tumpang tindih dan malah bertolak belakang satu dengan yang lainnya sehingga menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, ditengah terbaginya dua pandangan masyarakat tersebut dan regulasi yang tidak sinron tersebut, tidak ada upaya hukum yang konkrit yang dilakukan oleh masyarakat, kelompok masyarakat ataupun NGO untuk melakukan upaya hukum agar pemerintah melakukan langkah yang terukur, jelas dan tegas.
Padahal apabila kita melihat produk perundang-undangan yang sudah ada dan telah mengikat kita sebagai warga negara, maka sangat potensial peraturan perundangan-undangan tersebut melanggar hak konstitusional warga negara sebagaimana diatur dalam UUD 1945 yakni Pasal 28D ayat (1) yang menyatakan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.
Kepastian hukum ini menjadi kunci utama dalam hal penegakan hukum di saat darurat kesehatan ini diberlakukan, oleh karena hal tersebut akan berimbas kepada terlanggarnya hak konstitusional warga negara yang lain seperti hak hidup, hak untuk mendapatkan pekerjaan, hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat, hak untuk mendapatkan perlindungan dan rasa aman dan hak dasar warga negara lainnya sebagaimana telah diatur dalam Konstitusi Indonesia (UUD 1945).
ADVERTISEMENT
Upaya Hukum
Lalu apa saja yang bisa kita lakukan sebagaimana warga negara Indonesia untuk melakukan upaya hukum di saat darurat kesehatan ini diberlakukan agar ruang atau potensi kerugian konstitusional dapat kita hindari.
Aplikasi Simpel - Sumber: website Mahkamah Konstitusi
Yang pertama adalah mengajukan gugatan atau permohonan pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu peradilan konstitusional yang modern dan terpercaya, di tengah situasi darurat kesehatan seperti saat ini, tetap membuka kesempatan bagi masyarakat untuk mengajukan gugatan melalui permohonan online yang bernama “Simpel” yang tersedia di website Mahkamah Konstitusi.
Mengutip dari laman https://simpel.mkri.id, bahwa media “Simpel” ini adalah sebuah aplikasi berbasis web yang memberikan akses langsung kepada para pihak termasuk untuk mengajukan permohonan secara online. Melalui aplikasi tersebut, para pihak atau masyarakat dapat mengajukan permohonan secara online, memantau perkembangan permohonan/perkara, dan mengakses berbagai fitur-fitur layanan seperti jadwal sidang, panggilan sidang, mengunduh risalah atau putusan, serta fitur-fitur lainnya.
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi juga sudah menyiapkan persidangan melalui video conference atau persidangan jarak jauh sehingga para pihak tidak perlu datang ke ruang sidang Mahkamah Konstitusi. Selain itu, masyarakat yang mengajukan gugatan juga tidak dikenakan biaya perkara.
Sumber: Aplikasi E-Court - website Mahkamah Agung
Yang kedua, bagi masyarakat yang akan mengajukan gugatan atau permohonan judicial review peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang dapat mengajukan gugatan uji materiil peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang ke Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung sebagai salah satu badan peradilan terpercaya juga menerapkan pengajuan gugatan melalui elektronik atau E-Court. Dikutip dari laman aplikasi E-Court Mahkamah Agung yakni https://ecourt.mahkamahagung.go.id, bahwa layanan E-Court ini adalah layanan bagi pengguna terdaftar untuk pendaftaran perkara secara online, mendapatkan taksiran panjar biaya perkara secara online, pembayaran secara online, pemanggilan yang dilakukan dengan saluran elektronik, dan persidangan yang dilakukan secara elektronik.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana dikutip dalam laman E-Court Mahkamah Agung, bahwa untuk sementara pengajuan permohonan tersebut hanya dapat dilakukan oleh Advokat sehingga masyarakat biasa tidak dapat langsung mengajukan permohonan ataupun gugatan. Selain itu, gugatan ke Mahkamah Agung juga dibebankan biaya perkara dan dapat dibayar secara online.
Tentunya, dua aplikasi gugatan atau permohonan uji materiil yang sudah ada yang dibuat oleh Mahkamah Konstitusi yakni “Simpel” dan Mahkamah Agung yakni “E-Court” dapat menjadi media bagi masyarakat untuk mencari keadilan dan mencari kepastian hukum di tengah wabah corona yang mungkin akan berpotensi menganggu hak konstitusional warga negara di seluruh Indonesia.
Inilah cara beradab dan konstitusional yang sudah diatur dalam konstitusi kita sebagai hukum tertinggi untuk menengahi berbagai permasalahan hukum yang ada di tengah-tengah kita.
ADVERTISEMENT
Semoga Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung dapat memberikan pelayanan yang maksimal bagi masyarakat, bekerja profesional dengan tetap menjaga integritas, independensi dan imparsialitas sehingga pengadilan Indonesia dapat menjadi contoh bagi peradilan dunia dalam hal memberikan keadilan dan kepastian hukum di tengah wabah corona ini.
*****
Hani Adhani
PhD Candidate Faculty of Law, IIUM Malaysia.
Alumni The Hague University. Alumni FH UI dan Fh UMY.