Narasi Minat Baca Rendah di Indonesia Menutupi Masalah Literasi yang Sebenarnya

Hania Latifa
Mahasiswa Penerbitan di Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta
Konten dari Pengguna
25 Desember 2021 7:20 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hania Latifa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada Maret 2016 lalu, lewat riset yang berjudul World’s Most Literate Nations Ranked, Central Connecticut State University Univesity menyatakan bahwa tingkat literasi masyarakat Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara. Semenjak itu, dari tahun ke tahun, Indonesia sering kali dihakimi dengan narasi “malas membaca” oleh warganya sendiri. Padahal, survei tersebut tidak mentok di persoalan minat baca, tetapi juga masalah akses komputer, sirkulasi surat kabar, dan tingkat pemahaman literasi.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, survei dari UNESCO yang menyebutkan bahwa Indonesia berada di urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, yaitu hanya 0,001%, juga kerap kali digunakan sebagai bukti nyata dari naras “orang Indonesia malas membaca”. Padahal, dilansir dari The Conversation Indonesia, data terkait survei tersebut tidak ditemukan di basis data UNESCO.
Data survei The Digital Reader pun menunjukkan hal yang berbeda, yaitu persentase minat baca masyarakat Indonesia meningkat setiap tahunnya. Pada 2017, persentase minat baca di Indonesia mencapai 36,48 persen. Pada 2018, persentase minat baca di Indonesia mencapai 52,92 persen dan pada 2019 mencapai 53,84 persen. Lalu, pada 2020, hasil kajian kegemaran membaca masyarakat Indonesia tahun 2020 yang dilakukan Perpustakaan Nasional menunjukkan tingkat kegemaran membaca masyarakat Indonesia mencapai skor 54,17, lebih tinggi daripada tahun sebelumnya dan termasuk ke kategori sedang.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, walaupun banyak penelitian yang telah menyatakan bahwa minat baca di Indonesia meningkat tiap tahunnya, Indonesia masih saja dilekatkan dengan narasi “malas membaca”, seolah hanya berpegang teguh pada “Indonesia peringkat ke-60 dari 61 negara” dari riset yang diluncurkan oleh Central Connecticut State pada 2016 lalu tanpa melihat lebih jauh persoalan literasi yang dibahas di dalamnya. Makin lama, narasi “orang Indonesia malas membaca” makin disorakkan hingga terkesan mengaburkan masalah utama yang harus diselesaikan dari narasi tersebut.

Masalah Utama: Sudahkah Distribusi Buku Merata dan Inklusif?

Berbicara mengenai literasi, tentunya harus dilakukan secara komprehensif dan saling berkaitan. Untuk meningkatkan minat baca dan tingkat literasi, tentunya kita harus memastikan kondisi distribusi buku di tengah masyarakat. Menurut standar UNESCO, satu orang harus membaca minimal 3 buku tiap tahunnya. Asia Timur, Eropa dan Amerika Serikat rata-rata sudah mampu 15-30 buku per tahunnya. Lantas, bagaimana dengan Indonesia?
ADVERTISEMENT
Kepala Perpustakaan Nasional, Muhammad Syarif Bando, menyebutkan bahwa jumlah ideal keberadaan buku di Indonesia adalah 270 juta penduduk dikali 3 buku. Berarti, butuh 810 juta eksemplar buku yang harus beredar di masyarakat setiap tahunnya. Namun, nyatanya, total jumlah bacaan di Indonesia hanya ada 22.318.083 eksemplar dengan rasio nasional sebesar 0,9 atau kurang dari 1 persen. Artinya, di Indonesia, rasio buku dengan total penduduk belum mencapai satu buku per orang/tahun. Dengan kata lain, satu buku bisa ditunggu oleh 90 orang. Data-data tersebut juga menunjukkan bahwa Indonesia jelas jauh sekali dari kata ideal dalam standar yang disebutkan UNESCO.
Persoalan distribusi buku yang belum merata dan inklusif sejatinya merupakan akar masalah yang krusial dari narasi “orang Indonesia malas membaca”. Hal ini dibuktikan dari paparan Kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas), Muhammad Syarif Bando, bahwa Indonesia masih kekurangan 500 juta buku yang harus didistribusi, bahkan sekolah-sekolah dasar di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) di Indonesia kekurangan 70% buku-buku cetak.
ADVERTISEMENT
Hal ini juga diperkuat oleh penuturan Najwa Shihab selaku Duta Baca Indonesia periode 2016-2021. Selama menjadi Duta Baca Indonesia, Najwa, dalam memandang Indonesia melalui kacamata para pegiat literasi, menemukan Indonesia berbeda dari yang dikatakan orang-orang. Ia menemukan Indonesia yang gemar membaca dan haus akan pengetahuan. Najwa berpendapat bahwa masalah literasi bukan hanya persoalan “keengganan membaca”, melainkan karena timpangnya akses kepada bacaan. Seluruh data-data yang dipaparkan di atas ini makin menguatkan fakta bahwa orang Indonesia bukan malas membaca, melainkan terhambat oleh ketersediaan buku yang kurang.
Berangkat dari pernyataan di atas, tentu sudah seharusnya kita menghentikan narasi “orang Indonesia malas membaca” dan mulai saling berbenah diri serta bekerja sama untuk mendobrak hambatan utama dalam menjaga minat baca di Indonesia, yaitu dengan menghilangkan ketimpangan akses terhadap buku bacaan yang dialami oleh masyarakat Indonesia, khususnya penduduk tinggal di daerah 3T di Indonesia. Kesadaran literasi seseorang pun akan tumbuh apabila akses terhadap buku hadir secara inklusif. Oleh karena itu, utamanya, pemerintah harus memfokuskan perhatian mereka pada perbaikan sistem distribusi buku yang mempermudah akses atas diseminasi nilai pengetahuan seperti buku, jurnal, majalah, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Karena seperti yang sudah ditegaskan oleh Kepala Perpusnas, Syarif Bando, permasalahan literasi sejatinya harus dipandang mulai dari hulu ke hilir. Masalah minat baca di Indonesia tidak bisa dilihat dari satu sisi, tetapi juga dari berbagai sudut pandang. Sudah saatnya lagi kita berhenti memojokan Indonesia dengan narasi “malas membaca”. Yang paling penting adalah meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana untuk membaca agar lebih mudah dijangkau oleh seluruh kalangan. Sebab, jika tidak akses, bagaimana masyarakat Indonesia bisa membaca?

Jangan Lupakan Soal Perpustakaan!

Berbicara soal distribusi, tentu kita tidak boleh melupakan peran perpustakaan sebagai jantung pendidikan. Perpustakaan merupakan eksistensi yang tepat untuk menstimulasi kesadaran literasi bagi orang-orang yang tidak menjadikan buku sebagai kebutuhan primer mereka. Lalu, bagaimana keadaan perpustakaan di Indonesia?
ADVERTISEMENT
Dilansir dari Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan Perpustakaan Nasional (Perpusnas), Indonesia sendiri memiliki total 164.610 perpustakaan dari berbagai jenis. Namun, sangat disayangkan sekali bahwa jumlah terbesarnya, sekitar 40%, berada di Pulau Jawa. Hal ini pun menjadi bukti bahwa persebaran perpustakaan di Indonesia masih tidak merata.
Tak hanya itu, bahkan masih banyak perpustakaan umum kabupaten/kota yang belum memenuhi standar nasional pengelolaan perpustakaan yang ditetapkan. Sedikitnya jumlah tenaga pengelola perpustakaan juga merupakan masalah yang beriringan di dalamnya. Dari 164.610 jumlah perpustakaan di Indonesia, 69 persen yang berjumlah 113.54-nya adalah perpustakaan sekolah. Akan tetapi, tenaga pengelolaan perpustakaannya hanya sekitar 36.568. Itu berarti kita kekurangan 76.973 tenaga pengelolaan perpustakaan.
Tak berhenti sampai di situ, perpustakaan di daerah juga sepi pengunjung lantaran minimnya koleksi buku panduan pendidik dan koleksi lainnya, terhitung hanya sekitar 106 (0,5%) dan 17 (0,1%) dari total keseluruhan koleksi. Mayoritasnya lebih dipenuhi oleh koleksi buku teks pelajaran, buku pengayaan, dan buku referensi. Hal ini juga ditanggapi oleh Syarif Bando selaku Kepala Perpusnas bahwa buku-buku yang tidak menarik serta cenderung tidak sesuai dengan ketertarikan pembaca sekitar menyebabkan lunturnya minat untuk membaca Padahal, seharusnya, intelektualitas tidak dibatasi pada buku-buku formal saja, tetapi juga harus meluas hingga ke buku-buku dengan kategori lainnya selama itu dapat mengangkat daya pikir dan pengetahuan para pembacanya.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, kendala seperti sarana dan prasarana perpustakaan yang belum memenuhi standar, kurangnya pemahaman tentang penyelenggaraan urusan perpustakaan, terbatasnya tenaga pengelola perpustakaan, hingga minimnya ketersediaan koleksi buku yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat seharusnya menjadi perhatian utama Pemerintah Daerah. Terlebih lagi, sesuai UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, perpustakaan merupakan urusan wajib pemerintahan daerah.
JJ Rizal, Direktur Penerbit Komunitas Bambu (Kobam), dalam wawancaranya mengenai perbukuan di Indonesia pun menghadirkan solusi berupa pembentukan Dewan Perbukuan Nasional. Berpegang teguh pada misi pencerdasan dan mengembangkan sektor perbukuan nasional, dewan ini nantinya akan bertugas untuk mendistribusikan buku dengan cara menghidupkan dan mengefektifkan perpustakaan dalam meningkatkan kesadaran literasi di Indonesia.
Apabila negara bertujuan untuk melahirkan literasi yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat, sesungguhnya hal tersebut dapat dimulai dari meningkatkan akses informasi serta menguatkan infrastruktur informasi dan konteks informasi bagi individu yang hasil akhirnya dapat membuahkan keadilan informasi. Solusi yang diberikan Direktur Penerbit Komunitas Bambu tentu merupakan kabar yang ada baiknya dapat disambut dengan baik oleh para pemerintah daerah, apalagi jika melihat pada data-data soal distribusi buku dan perpustakaan Indonesia yang disuguhkan di atas.
ADVERTISEMENT

Masalah Selanjutnya: Sudahkah Para Murid Diberikan Pengetahuan yang Komprehensif tentang Literasi?

Mari berandai-andai! Jika distribusi buku sudah merata dan inklusif serta masalah soal perpustakaan telah ditangani, lantas selanjutnya apa? Tentu saja langkah selanjutnya adalah menyoroti para pembaca dan kegiatan literasi itu sendiri. Sebab, masalah tidak serta-merta selesai walaupun distribusi buku sudah merata dan inklusif sehingga menyebabkan tingginya minat baca. Minat baca yang tinggi pun belum tentu bisa menjamin ikut tingginya budaya literasi.
Apabila kita mengadopsi pandangan soal literasi menurut Syarif Bando, Kepala Perpusnas, literasi dapat dibagi menjadi empat tingkatan. Pertama, kemampuan atau tersedianya akses dalam mengumpulkan sumber-sumber bacaan. Tentu hal yang pertama ini dapat kita penuhi apabila permasalahan soal distribusi buku dan perpustakaan telah ditangani secara efektif.
ADVERTISEMENT
Kedua, kemampuan memahami bacaan secara tersirat dan tersurat. Hal ini pun menjadi konsekuensi nyata bahwa literasi sangat berbeda dengan “melek huruf”, dan tidak sekadar soal membaca saja, tetapi juga memahami isi atau kandungan bahan bacaan kita.
Ketiga, kemampuan menghasilkan ide-ide, gagasan, kreativitas, dan inovasi baru. Hal ini dapat dicapai melalui pembuatan atau mempertahankan kurikulum yang konsep pengajarannya berfokus pada pengakraban peserta didik dengan karya sastra sehingga timbullah dari mereka kesenangan tersendiri dalam membaca, mengkritik, dan mengkreasikan karya sastra. Pun mulai dari sinilah kemampuan untuk berpikir kritis akan terlahir dan dapat terus terasah. Tak hanya itu, dengan efektif dan komprehensifnya kegiatan literasi, para peserta didik juga tidak kesulitan mengembangkan minat, bakat, dan potensi yang ada di dalam diri mereka.
ADVERTISEMENT
Apabila ketiga tingkatan yang dijabarkan di atas telah terlaksana, maka kita pun tidak akan kesulitan mewujudkan tingkat literasi yang terakhir, yaitu literasi adalah soal kemampuan menghasilkan produk barang dan jasa yang bermanfaat bagi khalayak.

Pesan untuk Pemerintah

Kembali lagi ditegaskan bahwa literasi bukanlah soal narasi "orang indonesia malas membaca," tentu ada banyak sekali faktor yang harus dibenahi di dalamnya. Oleh sebab itu, masyarakat Indonesia harus berhenti mengeksploitasi narasi tersebut. Namun, yang lebih utamanya adalah, sekali lagi, pemerintah harus memberikan perhatian khusus terhadap permasalahan ini. Pemerintah juga sebaiknya tidak ikut-ikutan mentok di narasi “orang Indonesia malas membaca”, lalu pasrah hingga mengaburkan masalah utama persoalan ini. Hal ini, tentunya, sekali lagi, harus dimulai dari memaksimalkan distribusi buku hingga merata dan inklusif; serta jangan lupakan juga soal pengelolaan perpustakaan yang benar dan sesuai. Kemudian, masalah yang berkaitan selanjutnya adalah memberikan pengetahuan yang komprehensif tentang literasi, terutama soal tingkatan literasi yang disebutkan Kepala Perpusnas di atas. Apabila semuanya terlaksana dengan baik, tentu narasi “tingkat literasi masyarakat Indonesia tinggi” dapatlah terwujud.
ADVERTISEMENT