Konten dari Pengguna

Dayak Meratus (Semakin) Terpinggirkan?

Azmi Hanief Zeinadin
Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta. Fokus terhadap isu kebudayaan, kesejarahan, dan kemanusiaan di Kalimantan Selatan.
12 Juni 2024 7:25 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Azmi Hanief Zeinadin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(Foto Pribadi) Suasana Perjalanan Menuju Desa Belangian, Kabupaten Banjar. Bagian dari Pegunungan Meratus - lokasi bermukim Dayak Meratus - yang hanya bisa dijangkau menggunakan kelotok (perahu kecil bermesin) dengan dua jam perjalanan air.
zoom-in-whitePerbesar
(Foto Pribadi) Suasana Perjalanan Menuju Desa Belangian, Kabupaten Banjar. Bagian dari Pegunungan Meratus - lokasi bermukim Dayak Meratus - yang hanya bisa dijangkau menggunakan kelotok (perahu kecil bermesin) dengan dua jam perjalanan air.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bagi Kalimantan Selatan, suku Banjar dan suku Dayak merupakan dua etnis yang dominan sekaligus menjadi yang tertua. Tak bisa dipungkiri, tradisi dan kebudayaan masyarakat Kalimantan Selatan memang dominan dengan tradisi Banjar dan tradisi Dayak. Kedua etnis tersebut saling berkomunikasi, bernegosiasi, dan membentuk tatanan “Kalimantan Selatan baru” sebagaimana kita lihat sekarang ini. Meskipun tradisi antara dua etnis tersebut saling berkelindan, tetapi dalam catatan sejarah pasti terdapat konflik dan pihak terpinggirkan secara kebudayaan. Hal ini bisa kita saksikan sebab dalam beberapa dekade terakhir justru tradisi Banjar-lah yang lebih populer ketimbang tradisi Dayak karena satu dan lain hal. Disamping itu, bukan berarti masyarakat Banjar lah yang menjadi faktor utama yang menyebabkan Dayak Meratus terpinggirkan. Dalam ranah aktual, justru kebijakan-kebijakan pemerintah yang sedikit banyak merugikan masyarakat Dayak Meratus itu sendiri. Sebut saja, kebijakan tambang yang ugal-ugalan, pembukaan hutan adat secara serampangan, dan proyek-proyek berlabel modern dengan kajian lingkungan yang minim. Namun, dalam tulisan dibawah ini, penulis akan memberi fokus terhadap eksistensi Dayak Meratus dari segi historis dan sosiologis, termasuk bagaimana eksistensi Dayak Meratus yang tidak “sekuat” Dayak di Kalimantan Tengah
ADVERTISEMENT

Asal-Usul Dayak

Kepastian mengenai awal keberadaan suku Dayak di Kalimantan tidak diketahui secara pasti. Mario (2020) menyebutkan bahwa suku Dayak merupakan hasil migrasi masyarakat Cina Selatan yang datang ke Nusantara secara bergelombang, mulai dari 2500 SM, 2000 SM, dan terakhir pada 1600 SM. Pada gelombang pertama (2500 SM) itulah migrasi ke Kalimantan, Sulawesi, dan Timor terjadi. Sementara itu, ada yang menyebut bahwa suku Dayak merupakan kelompok yang mendiami wilayah Borneo sebelum datangnya gelombang proto-Melayu. Oleh sebab itu, berdasarkan beberapa teori diatas, tidak salah jika asumsi bahwa etnis Dayak merupakan penduduk asli (pertama) Kalimantan berkembang kuat.
Masyarakat Dayak dibagi dalam sub-sub kecil. Lontaan (1975) menyebutkan bahwa etnis Dayak terbagi dalam 405 sub kecil yang menyebar di wilayah Borneo. Sub terkecil tersebut kembali dikelompokkan dalam tujuh kelompok besar. Ketujuh kelompok tersebut adalah (1) Dayak Ngaju, (2) Dayak Apu Kayan, (3) Dayak Punan, (4) Dayak Klemantan, (5) Dayak Murut, (6) Dayak Ot-Danum, dan (7) Dayak Iban (Depdikbud, 1994). Meskipun semuanya merupakan bagian dari suku Dayak, namun bahasa dan tradisi antar ketujuh kelompok tersebut cenderung berbeda. Hal tersebut mungkin juga menyebabkan bahwa soliditas suku Dayak secara keseluruhan kurang kuat.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks Kalimantan Selatan, mayoritas orang Dayak justru tinggal di pedalaman atau pelosok, tepatnya di Pegunungan Meratus. Para antropolog Barat cenderung menyebut penduduk asli Kalimantan Selatan yang tinggal di pedalaman tersebut dengan sebutan ‘Dayak’. Sementara itu, orang Banjar cenderung menyebut mereka yang tinggal di pegunungan dengan sebutan ‘Orang Bukit’. Selain itu, pemerintah pada masa orde baru menyebut mereka sebagai “suku terasing’. Semua sebutan yang dialamatkan oleh antropolog Barat, orang Banjar, hingga pemerintah orde baru kepada orang Dayak tersebut cenderung tidak simpatik. Oleh karena itu, Anna Tsing dalam pengembaraannya selama 1979-1981 di kawasan pegunungan Meratus memilih menyebut orang Dayak dengan sebutan netral, yaitu ‘orang Meratus’ (Mujiburrahman, 2011). Sebutan tersebut cenderung berkonotasi terhadap asal daerah mereka, yaitu pegunungan Meratus. Konotasi kedaerahan tersebut juga berlaku di beberapa tempat seperti penyebutan ‘wong Lamongan’, ‘wong Suroboyo’, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT

Nasib Mereka Pra-Kemerdekaan

Dayak Meratus sebutan bagi Dayak di Kalimantan Selatan yang menghuni kawasan pedalaman memang kerap kali dirugikan secara politik dan kultural. Setidaknya ada tiga peristiwa penting yang menyebabkan perjuangan Dayak Kalimantan Selatan menunjukkan eksistensinya justru berbuah pahit. Ketiga peristiwa tersebut adalah (1) penaklukkan Kerajaan Negara Daha oleh Kerajaan Banjar (2) Perang Banjar, dan (3) Perang Gerilya oleh Hasan Basry dan kawan kawan.
Pertama, runtuhnya Kerajaan Negara Daha yang bercorak Hindu memang tidak memberikan dampak yang signifikan bagi Dayak Meratus. Akan tetapi, islamisasi oleh Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari atas perintah Kerajaan Banjar semakin menyempitkan ruang gerak Dayak Meratus. Proses tersebut terjadi kira-kira pada 1790-an hingga 1810 dibawah kekuasaan Sultan Tamjidillah I. Beberapa sumber menyebutkan bahwa selain melakukan dakwah di lingkungan kerajaan, Syekh M. Arsyad Al-Banjari juga menembus hutan belantara di pegunungan Meratus (Depdikbud, 1983). Atas peristiwa itu, bisa diasumsikan bahwa eksistensi Dayak Meratus semakin menurun. Selain itu, meskipun ada orang yang secara genealogis merupakan Dayak Meratus, tetapi kalau dia telah memeluk Islam, maka status Dayak rasa-rasanya berganti menjadi Banjar. Hal tersebut disebabkan karena ada idiom di masyarakat bahwa Dayak adalah Kaharingan (Kristen) dan Banjar adalah Islam.
ADVERTISEMENT
Kedua, peristiwa Perang Banjar yang disebut-sebut sebagai perang terlama di Nusantara tepatnya dari tahun 1859 hingga 1906 menjadi faktor lain menurunnya eksistensi Dayak Meratus. Perang Banjar tidak sekadar perang kekuasaan, namun diasumsikan sebagai perjuangan untuk tanah banyu Banjar, kemerdekaan Indonesia, dan agama Islam. Ideham dkk (2005) menyebut bahwa orang Banjar yang saat itu dalam kondisi terjajah selain menyerah ke pos-pos Belanda, juga bersembunyi ke pedalaman tidak terkecuali ke wilayah Meratus. Dalam kondisi yang demikian, interaksi orang Banjar dan Dayak di pedalaman Meratus menyebabkan asimilasi kebudayaan dan keagamaan.
Ketiga, perang Gerilya yang dilakukan Hasan Basry di masa revolusi kemerdekaan juga mengantarkan Islam dalam produk Budaya Banjar ke pelosok-pelosok yang pada akhirnya semakin mengancam eksistensi Dayak Meratus. Dalam melakukan gerilya, Hasan Basry sering menjanjikan seandainya Belanda takluk maka ia akan memperkenalkan Islam kepada balai-balai adat di di Meratus. Tak hanya itu, ia juga menjanjikan untuk membagikan bahan pokok, sembako, dan sebagainya. Bahkan Hasan Basry juga mengajak masyarakat Dayak Meratus untuk berjuang bersama melawan penjajah. Citra agamis dan nasionalis dari seorang Hasan Basry berpengaruh kepada semakin banyaknya penganut Islam dari kalangan Dayak Meratus. Meskipun demikian, tidak semua Dayak Meratus setuju untuk berpindah agama.
ADVERTISEMENT

Dayak Meratus: Tidak Seperti Dayak di Kalimantan Tengah

Ada beberapa alasan yang menyebabkan eksistensi Dayak Meratus kurang berhasil sebagaimana Dayak di provinsi tetangga, Kalimantan Tengah. Mujiburrahman (2011) melihat bahwa Dayak Meratus gagal melakukan perjuangan dan negosiasi politik terhadap masyarakat pendatang. Hal ini bisa dilihat melalui studi kasus pada sub-bab diatas. Interaksi Dayak meratus cenderung merupakan interaksi tarik ulur, sehingga menyebabkan seiring berjalannya waktu justru mereka sendiri yang semakin tersingkir. Padahal dalam mempertahankan wilayah etnis diperlukan ketegasan yang tidak ringan. Secara kultural, mereka juga terlihat cukup susah untuk mempertahankan adat mereka. Sehingga tidak sedikit dari kebudayaan Dayak Meratus yang justru “meminjam” budaya Banjar. Posisi mereka di pedalaman Meratus yang dikelilingi masyarakat Banjar juga mendorong mereka melakukan “perniagaan” budaya dengan masyarakat Banjar di sekitarnya untuk mempertahankan eksistensi etnis mereka.
ADVERTISEMENT
Pada saat yang bersamaan, Dayak Ngaju sebagai salah satu kelompok Dayak yang dominan di Kalimantan Tengah justru seringkali berhasil dalam mempertahankan wilayah mereka. Hal tersebut juga mendorong pemekaran provinsi Kalimantan Selatan yang menyebabkan lahirnya Kalimantan Tengah pada 1957. Kelahiran provinsi Kalimantan Tengah secara tersirat menunjukkan keberhasilan politik Dayak Ngaju untuk terlepas dari dominasi kultural masyarakat Banjar. Tetapi yang tidak boleh ketinggalan, meskipun Dayak Meratus dan Dayak Ngaju sama secara kepercayaan dan merupakan sub dari suku Dayak, tetapi secara ritual, bahasa, dan tradisi cenderung berbeda. Hal ini yang turut serta mendorong perbedaan identitas dan pola perjuangan dari Dayak Meratus dan Dayak lainnya.
Referensi:
Mario. (2020). Kajian Makna Simbol pada Bentuk Rumah Panjang Saham di Kalimantan Barat. Tesis: Universitas Komputer Indonesia.
ADVERTISEMENT
Mujiburrahman, Alfisyah, & Syadzali, A. (2011). Badingsanak Banjar-Dayak: Identitas Agama dan Ekonomi Etnisitas di Kalimantan Selatan. Yogyakarta: CRCS Universitas Gadjah Mada.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1983). Sekilas Mengenai Daerah Banjar dan Kebudayaan Sungainya Sampai dengan Akhir Abad-19