Konten dari Pengguna

Masyarakat Adat dalam Kacamata Identitas Nasional

Hanif Khalisha
Mahasiswa Pendidikan Dokter Gigi Universitas Jember
5 Juni 2024 14:41 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hanif Khalisha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Masyarakat Adat Papua dengan busur dan anak panah di Wamena, Jayawijaya. Foto : Jiwa by Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Masyarakat Adat Papua dengan busur dan anak panah di Wamena, Jayawijaya. Foto : Jiwa by Unsplash
ADVERTISEMENT
Menurut Aliansi Masyarakat Adat Indonesia (AMAN), Masyarakat Adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul secara turun temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya.
ADVERTISEMENT
Posisi Masyarakat Adat sebagai bagian dari masyarakat nasional dapat dilihat dari status identitas Masyarakat Adat, Masyarakat Adat di mata hukum, pengaruhnya pada lingkungan adat, kemudian nantinya dapat dianalisis hak-hak Masyarakat Adat sebagai warga negara kemudian upaya untuk pemenuhan hak.
Menurut Aliansi Masyarakat Adat Indonesia, kondisi kesejahteraan Masyarakat Adat ditekankan pada faktor minimnya pengakuan identitas Masyarakat Adat. Hal ini berimbas pada proses marjinalisasi Masyarakat Adat.
Pada pasal 18B ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara 1945 telah dijelaskan hak-hak Masyarakat Adat yang berbunyi "Negara mengakui dan menghormati kesatuan - kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak - hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang - Undang." Namun pada kenyataannya, Masyarakat Adat sulit mendapatkan pengakuan meski konstitusi telah menjaminnya. Belum adanya pengakuan secara utuh atas keunikan dan kekhasan Masyarakat Adat secara kolektif sebagai komunitas merupakan salah satu penyebabnya. Perlu ada aturan hukum setingkat UU yang mengatur dan mengakui eksistensi Masyarakat Adat dalam kesatuan utuh.
ADVERTISEMENT
RUU Masyarakat Adat sebenarnya sudah dicanangkan dari periode pertama kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2007, kemudian masuk ke program prioritas Nawacita pada tahun 2014 ketika Presiden Jokowi pertama kali menjabat, diikuti dengan aksi damai oleh AMAN pada 2016 dan pada tahun 2021 masih menjadi prioritas DPR dan belum diresmikan.
Kemudian, bagaimana kelanjutan RUU Masyarakat Adat hingga saat ini?
Sebenarnya, debat cawapres pada Pemilu 2024 kemarin sempat menyinggung topik ini, namun masih tetap belum disahkan juga hingga sekarang padahal dibutuhkan harmonisasi kebijakan agar dapat merealisasikan hak bagi Masyarakat Adat. Menurut pendapat Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI, alasannya yaitu dapat menghambat pembangunan perusahaan besar, misalnya industri tambang dan industri perkebunan. Pernyataan tersebut apabila benar tentu semakin menempatkan Masyarakat Adat sebagai warga negara kelas dua dan sekali lagi Masyarakat Adat terdiskriminasi. Dampak dari tidak adanya perlindungan dan regulasi hukum yaitu terancamnya budaya adat, misalnya pada Suku Baduy yang wilayah adatnya terpaksa menjadi tempat wisata dan Masyarakat Adat Papua yang hutannya terancam dibuka untuk kepentingan industri perkebunan sawit.
ADVERTISEMENT
Kasus Perluasan Kebun Sawit di Papua
Baru-baru ini, kasus perluasan perkebunan sawit di wilayah hutan adat Papua serta lahan gambut yang mengancam lingkungan merupakan bukti bahwa perlindungan Masyarakat Adat belum ada dan terealisasikan sepenuhnya. Penyebab dari kasus tersebut salah satunya adalah permintaan dari industri sawit yang memegang kuasa. Isu-isu terkait hak atas tanah adat, keberlanjutan lingkungan, serta kesejahteraan Masyarakat Adat di sekitarnya menjadi pemicu konflik ini.
Kronologi dari kasus perkebunan sawit di papua bisa ditarik dari lokasi pemilihan investor untuk membuka perkebunan, yaitu di tanah gambut. Lahan gambut yang merupakan ekosistem sensitif dan unik menyimpan banyak karbon. Pelepasan karbon dalam tanah gambut akibat pembukaan lahan menyebabkan gas rumah kaca yang sangat tinggi, yaitu emisi sebesar 25 juta ton karbondioksida (CO2). Jumlah emisi ini menyumbang 5% emisi karbon tahun 2030, yang dampaknya tidak hanya dirasakan oleh masyarakat Indonesia namun juga dunia.
ADVERTISEMENT
Akibat dari ekspansi tersebut, terjadi pula pengerusakan habitat alami dan kerusakan ekosistem. Penurunan kualitas air dan degradasi kualitas lahan tidak dapat dihindari. Hilangnya keanekaragaman hayati hingga kepunahan spesies di tanah Papua karena habitatnya hancur tidak dapat dihindari apabila pembukaan lahan gambut terjadi.
Konflik sosial yang ditimbulkan dari pembukaan lahan gambut ini juga berasal dari klaim tradisional Masyarakat Adat yang memiliki hak atas hutan adat tersebut. Hutan adat yang menghidupi masyarakat sekitarnya baik dari mata pencaharian seperti berburu, memancing, bertani, hingga sumber mata air yang vital sehingga pembukaan lahan mengancam kelangsungan hidup masyarakat.
All Eyes on Papua
Poster All Eyes on Papua oleh @gandawakstra_ via X
Menyusul tagar "All Eyes on Rafah" kemarin, yang sama-sama bertujuan untuk memperoleh perhatian publik pada kasus kemanusiaan, tagar "All Eyes on Papua" pun hadir untuk mendapatkan atensi publik baik nasional maupun internasional mengenai isu ini.
ADVERTISEMENT
"All Eyes on Papua" merupakan sebuah frase untuk meningkatkan perhatian terhadap Papua, terkait dengan isu-isu hak asasi manusia, konflik sosial, dan masalah lingkungan yang terjadi di Papua saat ini. Pelanggaran hak asasi manusia terkait dengan kekerasan dan konflik dengan aparat bersenjata. Penyekapan, penyiksaan, dan pembukaman kebebasan berpendapat sering terjadi di Papua yang membuat lembaga internasional mengawasi situasi tersebut.
Konflik sosial tersebut berkaitan dengan industri tambang dan perkebunan sawit yang terjadi. Pembukaan lahan sawit yang melanggar hak Masyarakat Adat ditambah Presiden Jokowi yang resmi memperpanjang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada PT Freeport Indonesia hingga ketersediaan cadangan sumber daya habis di akhir masa jabatannya memperkeruh konflik di tanah Papua.
Papua yang berpuluh-puluh tahun dieksploitasi sumber dayanya namun masyarakatnya tidak mendapatkan hak yang sama sebagai warga negara seharusnya menjadi catatan penting dalam penyelenggaraan pemerintahan Indonesia. Tingginya perhatian publik terhadap isu-isu di Papua merupakan tekanan bagi pemerintah Indonesia untuk menangani masalah secara transparan dan tidak menyalahgunakan kewenangan.
ADVERTISEMENT
Hak Masyarakat Adat
Dari semua aspek tersebut seperti bisa didapatkan poin-poin mengenai hak Masyarakat Adat sebagai warga negara yang seharusnya diberikan oleh pemerintah sebagai berikut.