Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.1
Konten dari Pengguna
Relasi Kapabilitas Politik dan Perempuan di Indonesia
16 Juni 2023 21:09 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Muflih Hanif Syafrizal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Ilustrasi perempuan di kantor. Foto: Shutter Stock](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01gyykerwh58r1q0xwp4f2jb1h.jpg)
ADVERTISEMENT
Gender adalah seperangkat peran yang seperti halnya kostum dan topeng di teater, menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminin atau maskulin (Hery Setiawan, 2018). Dari kutipan di atas pengertian gender sudah mewakilkan adanya perbedaan antara kelompok “Feminim” yang biasa diartikan orang dengan sifat kewanitaan. Dan kelompok “Maskulin” yang juga biasa direpresentasikan dengan sifat gentle atau identik dengan laki-laki.
ADVERTISEMENT
Beberapa masyarakat menganggap perbedaan antar gender sebagai sebuah tindakan yang mereka rasionalisasikan dengan menganggap pemikiran itu sebagai pemikiran salah. Di Indonesia sendiri terdapat beberapa golongan yang menurut kepercayaan mereka untuk tidak menempatkan posisi penting kepada seorang perempuan. Hal ini dikarenakan adanya kepercayaan atau tuntutan dari hal yang mereka percaya sebagai sebuah acuan dalam pelarangan itu.
Sebagai contoh, imam salat atau yang sering kita ketahui sebagai pemimpin ibadah bagi umat muslim. Perempuan boleh mengambil posisi sebagai imam namun tidak seleluasa laki-laki dalam menempati posisi imam saat menjalankan ibadah. Hal ini bisa terjadi karena orientasi agama islam terhadap pembuat aturan dalam beribadah dari zaman kenabian hingga saat ini.
Pemaknaan tentang kesetaraan gender masih menjadi persoalan ketika dihadapkan dengan kondisi sosio kultural di Indonesia. Pengaruh keagamaan dan kebudayaan membuat hal itu terasa tabu bagi sebagian masyarakat konservatif. Namun faktanya jika dilihat dari sudut pandang agama mayoritas di Indonesia yaitu islam, mereka tidak menganggap kesetaraan gender sebagai suatu hal yang buruk.
ADVERTISEMENT
Permasalahan memperjuangkan feminisme dalam islam sebenarnya hanya ada pada ketidaksetujuan terhadap semua konsep atau pandangan barat yang menempatkan laki-laki sebagai lawan perempuan (Suryorini, 2012). Jika dilihat pada zaman islam berkembang, perempuan justru lebih diutamakan dan lebih terlegitimasi daripada zaman sebelum kehadiran islam. Mulai dari hak dalam mendapatkan hak waris, hingga penghilangan kebudayaan mengubur bayi perempuan hidup-hidup pada masa arab jahiliyah.
Diskriminasi gender terjadi karena adanya marginalisasi terhadap kaum perempuan, sebagian masyarakat menganggap bahwa perempuan merupakan makhluk lemah, lembut, halus. Sensitif dan sifat feminim lainnya membuatnya tidak memiliki kesempatan sama dengan laki-laki (Hery Setiawan, 2018).
Spekulasi ini memunculkan buah pemikiran adanya ketidakleluasaan seorang wanita untuk menghadapi dunia luar karena terkekang oleh marginalisasi tersebut. Namun, pada realitanya tidak semua perempuan menerima stigma tersebut beserta benefit yang mereka dapatkan. Tak sedikit beberapa wanita terpaksa menerima stigma tersebut dengan alasan kesulitan ekonomi demi memenuhi kebutuhan keluarganya.
ADVERTISEMENT
Usaha perempuan dalam menyetarakan statusnya dengan status laki-laki tidaklah sia-sia. Masa yang era modern ini banyak wanita yang bahkan menempati posisi strategis atau bahkan memimpin sebuah perusahaan ataupun dalam instansi pemerintahan. Namun justru seiring dengan keberhasilan perempuan menduduki peran-peran publik di masyarakat, ratusan juta anak terpaksa harus mengurangi jadwal asuhannya dari wanita yang menjadi sosok ibu bagi mereka (Wibowo, 2011).
Berbicara tentang peran ibu sudah pasti tidak bisa dielakkan dari sosok wanita. Ibu menjadi pondasi awal bagi anaknya dalam menginjakkan dirinya ke ranah dunia luar. Peran seorang ibu tentu tidak bisa sepenuhnya tergantikan dengan keberadaan laki-laki atau dalam hal ini seorang ayah.
Spekulasi muncul seolah seorang ibu harus dirumah mendidik anaknya adalah sebuah tindakan diskriminasi, faktanya kehadiran ibu dan anak adalah sebuah ikatan batin yang terjadi bahkan sebelum kelahiran anak tersebut. Hal inilah yang terkadang menjadi pertimbangan yang disalahartikan sebagai bentuk penindasan wanita, namun realitanya adalah justru adanya intervensi peran mereka yang tidak bisa digantikan dengan figur lainnya.
ADVERTISEMENT
Berbicara tentang peran ganda, sudah semestinya juga akan menyinggung persoalan kapabilitas. Kapabilitas sendiri adalah kemampuan dan ketahanan suatu individu dalam mencapai tujuannya. Kemampuan atau kapabilitas merupakan konsep yang digunakan untuk mengukur dan melihat keterampilan seseorang atau kelompok dalam berbagai bidang kehidupan (H. Cecep Suryana, 2022).
Kapabilitas ini ada berbagai macam substansi, tergantung dari arah tujuan penerapan kapabilitas. Kapabilitas dalam sistem politik contohnya, di mana kapabilitas ini menjelaskan secara tidak langsung kompetensi apa yang harus dimiliki oleh seseorang jika ingin berkiprah di arena politik. Kompetensi yang dimaksud meliputi bidang ekstraktif, distributif, regulatif, simbolik, responsif, dan yang terakhir adalah domestik dan internasional di mana setiap aspeknya merupakan tatanan yang saling terhubung dan berkesinambungan untuk mencapai cita-cita bangsa (Anggara, 2013).
ADVERTISEMENT
Intervensi politik tidak lepas dengan adanya interest politik. Kepentingan dalam berpolitik dipengaruhi oleh beberapa faktor pribadi seseorang dalam menentukan suatu keputusan. Faktor eksternal seperti perbedaan pekerjaan hingga akan berakibat pada kesenjangan sosial dan ekonomi. Faktor internal atau yang berasal dari dalam diri bisa berasal dari perbedaan gender. Hal ini bisa terjadi kepentingan yang akan diperjuangkan kaum wanita justru berkemungkinan berbeda dengan kepentingan kaum lelaki (H. Cecep Suryana, 2022).
Untuk memperjuangkan kepentingan, warga Indonesia harus masuk ke dalam sistem pemerintahan dan menjadi bagian dari lembaga kenegaraan di Indonesia. Dalam undang-undang Republik Indonesia nomor 12 tahun 2003 pasal 65 ayat (1) menyatakan bahwa :
ADVERTISEMENT
Pasal ini menjadi pondasi utama bagi kaum perempuan untuk unjuk gigi dalam mengikuti dan berpartisipasi pada sistem politik di Indonesia. Rata-rata kaum wanita menggunakan haknya dalam berpolitik untuk kepentingan menuntut hak kesetaraan yang mereka gaungkan demi menciptakan keadilan yang mereka dambakan. Dalam lembaga representasi perwakilan rakyat, dibutuhkan kekuatan yang aktif dan transformatif untuk mendefinisikan isu maupun kepentingan perempuan sebagai isu politik (Karen Celis, 2018).
Keterwakilan partisipasi wanita dalam politik yang dijamin oleh undang-undang ini ditentang oleh beberapa kelompok. Di mana kelompok itu menganggap bahwa pada realitanya tingkat partisipasi politik oleh kaum wanita masih berada jauh di bawah 30%. Tercatat pada website Badan Pusat Statistika (BPS) bahwa rata-rata keterlibatan perempuan di parlemen di tahun 2021 berada pada angka 21,89%.
ADVERTISEMENT
Meskipun belum memenuhi target dari peraturan yang berlaku, angka ini setidaknya terus meningkat sejak tahun 2010, di mana tingkat partisipasi politik kaum perempuan di tahun ini hanya berada di angka 17,49%. Jumlah ini terlihat cukup mengalami perkembangan, BPS juga mencatat pada tingkat provinsi beberapa daerah sudah mencapai angka 30% bahkan menembus angka 40% untuk tingkat partisipasi wanita di parlemen, namun bisa dikatakan persentase sebesar itu masih minoritas dan kebanyakan masih berada di bawah angka ketentuan yang tertera pada UU No.12 tahun 2003 pasal 65 ayat (1).
Terlepas dari regulasi dan data statistik tentang keterlibatan perempuan dalam parlemen, kapabilitas perempuan dalam berminat dan menjalankan juga harus diperhatikan. Tentu ketertarikan perempuan dalam politik tidak bisa sepenuhnya direpresentasikan oleh civitas akademik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di kampus mana pun di Indonesia di mana bisa dipastikan civitas yang berada di situ adalah orang-orang yang memiliki ketertarikan pada politik.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan berbalik tentang berapa persentase wanita dalam skala nasional dalam hal ini Negara Indonesia yang memiliki kapabilitas politik pada dirinya. Politik yang menurut sebagian orang adalah arena persaingan pengaruh, menjadi pertimbangan utama perempuan untuk memikirkan dirinya sendiri jika ingin masuk ke ranah politik.
Faktor keturunan terkadang juga menjadi faktor utama kesuksesan wanita dalam berpolitik. Contohnya saja Puan Maharani yang menjabat sebagai ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada periode 2019-2024, merupakan anak dari mantan Presiden Republik Indonesia ke-5 yaitu Megawati Soekarnoputri. Presiden ke-5 ini pun juga memiliki hubungan darah dengan bapak proklamator Indonesia Ir. Soekarno yang sekaligus pernah menjabat sebagai presiden pertama Republik Indonesia.
Ini memunculkan spekulasi bahwa keturunan menjadi salah satu faktor terkuat yang mempengaruhi peran politik seseorang. Lahirnya politik dinasti dapat dilihat dari bentuk hubungan darah langsung dan afeksi, solidaritas dan kepercayaan quasi-familisme hingga egoi-familisme (Herdin Arie Saputra, 2020). Namun tak jarang ada wanita yang benar-benar memperjuangkan kepentingan kesetaraan gender tanpa adanya intervensi keturunan sehingga opini ini tidak sepenuhnya benar terjadi.
ADVERTISEMENT
Keterlibatan wanita dalam berpolitik menjadi urgensi yang mendesak untuk memperjuangkan kesetaraan gender sudah mulai berkembang. Terlepas dari adanya politik dinasti ataupun intervensi lainnya, kesetaraan gender adalah salah satu kunci keadilan yang sesuai dengan Pancasila sila ke-5 yaitu “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Politik yang pada saat ini menjadi dominasi laki-laki bukan sepenuhnya kesalahan dari kaum laki-laki juga. Faktor lainnya seperti peminat politik bagi kaum perempuan yang sepenuhnya tidak tercapai pada target 30% dan kemampuan akan peran ganda yang mengorbankan salah satu aspek sosial juga menjadi alasan mengapa keterlibatan perempuan masih dominan minim di Indonesia.
Pemberdayaan perempuan sebagai kelompok feminis yang tidak ingin dianggap golongan yang termarginalkan juga tidak bisa dikatakan sepenuhnya benar. Pasalnya kentalnya budaya di Indonesia menjadi hambatan cukup serius untuk pertanyaan kenapa masyarakat Indonesia belum sepenuhnya siap dalam penerapan kesetaraan gender. Meskipun keterwakilan perempuan sekecil apa pun dalam parlemen sebenarnya sudah memberikan impact kepada para wanita untuk ikut andil dalam perumusan kebijakan negara (Delys, 2014).
ADVERTISEMENT
Kapabilitas politik bagi perempuan juga tidak bisa diremehkan, terbukti dari adanya beberapa tokoh politik besar yang berkuasa di Indonesia bahkan menjadi kepala negara. Diskriminasi kapabilitas politik yang didasari pengaruh gender bukan menjadi persoalan besar, karena sama halnya dengan lelaki kaum wanita juga memiliki hak dalam menjadi bagian dari sistem politik pemerintahan.