Absurditas Standar Kejujuran dan Kakunya Pendidikan

hanifatul hijriati
Mengajar bahasa Inggris. Saat ini penulis mengajar di SMA Negeri 1 Gemolong
Konten dari Pengguna
16 Oktober 2020 8:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari hanifatul hijriati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kegiatan belajar mengajar di sekolah. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kegiatan belajar mengajar di sekolah. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Proses pembelajaran telah dijalankan selama kurang lebih 8 bulan secara online atau jarak jauh. Berbagai kendala pembelajaran jarak jauh dari awal pandemi hingga sekarang telah menguap dengan solusi-solusi yang dilakukan masing-masing institusi pendidikan.
ADVERTISEMENT
Meskipun solusi-solusi tersebut tidak lantas menghilangkan keseluruhan ganjalan selama proses pendidikan, PJJ tetaplah dijalankan karena memang tak ada pilihan lain.
Awal bulan September, proses pembelajaran memasuki tahap evaluasi yang dikenal dengan PTS ( Penilaian Tengah Semester). Evaluasi ini tentu saja dilakukan secara online. Sebuah pesanpun masuk dalam WA saya agar disebarkan kepada peserta didik. Inti dari pesan itu agar PTS dapat dilakukan secara jujur. Pesan serupa saya terima pula dari wali kelas anak saya.
Pesan tersebut tidak lupa pula berisi berbagai kalimat motivasi dan penguatan terhadap sikap jujur. Saya pun meneruskan ke group kelas XI di mana saya sebagai wali kelasnya. Tiba-tiba saya merasa geli sendiri. Pesan tersebut menekankan agar peserta didik memberi jawaban soal secara jujur tanpa membuka buku atau benar-benar memberikan jawaban sesuai kemampuan sendiri. Jika ujian dilakukan secara online, bagaimana kita bisa membuktikan kejujuran siswa?
ADVERTISEMENT
Pengalaman saat penilaian akhir semester yaitu kenaikan kelas bulan Juni lalu, banyak ditemukan hasil evaluasi yang mengejutkan. Pada hasil ujian, yang tentunya sebagai guru, kita mendorong siswa untuk jujur, ditemukan nilai-nilai yang tidak sesuai dengan kemampuan siswa sesungguhnya. Siswa dengan latar belakang pembelajar bermotivasi rendah mendapatkan nilai yang bisa dikatakan jauh lebih tinggi dibanding siswa dengan motivasi belajar tinggi.
Pada saat penilaian akhir semester ini tentu guru masih dapat mendasarkan nilai-nilai atau kemampuan siswa dari proses pembelajaran sebelum pandemi. Namun untuk siswa baru yang bahkan selama prose pembelajaran belum pernah bertemu secara tatap muka, penentuan penilaian hanya didasarkan pada proses selama PJJ.

Seberapa pentingkah evaluasi dilakukan?

PTS (Penilaian Tengah Semester) yang hampir dilaksanakan di seluruh jenjang pendidikan dengan ajakan berlaku jujur mengundang beberapa pertanyaan, khususnya untuk saya sendiri. Semendesak itukah hingga evaluasi harus dilakukan di tengah ketidakidealan proses pembelajaran?
ADVERTISEMENT
Beberapa praktisi pendidikan beranggapan bahwa PJJ adalah satu-satunya alternatif pembelajaran yang dilakukan saat pandemi. Saya setuju sampai di sini. Hingga akhirnya pemerintah dalam hal ini kemendiknas mengeluarkan butir-butir kompetensi dasar (KD) yang tertuang dalam silabus darurat selama PJJ. Ulasan kompetensi dasar ini dibuat untuk satu tahun ajaran ke depan yang isinya lebih ringkas. Namun sayangnya standar kurikulum tetap berlaku di tengah pandemi.
Evaluasi pembelajaran di tengah semester atau dikenal dengan PTS dengan prosedur layaknya ujian offline menunjukkan kekakuan pendidikan. Evaluasi yang dilakukan pada semua mapel dengan jumlah soal yang cukup banyak ini tentu saja tidak dapat digunakan untuk mengukur kemampuan siswa pada kompetensi tertentu secara obyektif. Sekalipun dengan ajakan berlaku jujur.
ADVERTISEMENT
Standar absurd yang kemudian diberlakukan seolah-olah meyakinkan bahwa pelaksanaan PTS hanya dilakukan sebagai fromalitas untuk kelengkapan administrasi bidang kurikulum. Mengukur kemampuan belajar siswa yang jauh dari kata ideal dengan evaluasi tengah semester adalah bukti bahwa pendidikan selama pandemi hanya diarahkan untuk pengembangan akademis dan meninggalkan pendidikan karakter.
Signifikansi pelaksanaan PTS selama pandemi dan PJJ jelas harus ditinjau kembali. Esensi pembelajaran berupa pemaparan materi selama PJJ banyak dilakukan oleh guru menggunakan berbagai aplikasi pembelajaran. Pemaparan ini cenderung hanya satu arah dan miskin interaksi sosial. Beragam faktor terutama keterjangkauan sinyal yang tidak merata hingga terbatasnya ketrersediaan kuota. Karena hingga kini yaitu berakhirnya PTS, bantuan kuota internet dari pemerintah masih dalam proses verifikasi.
ADVERTISEMENT
Keterlibatan siswa selama PJJ dengan sistem mendengar dan melihat pemaparan guru melalui aplikasi tidaklah maksimal. Selain minimnya interaksi karena keterbatasan jaringan hingga kuota, pengawasan yang dilakukan guru pada siswa tentunya terbatas. Kejujuran yang dijadikan slogan selama ujian ataupun ulangan online tidak begitu saja membuat standar nilai yang dihasilkan obyektif.
Melihat pengalaman penilaian akhir tahun pada Juni bulan lalu, penilaian yang diberlakukan akhirnya penilaian yang didasarkan pada portofolio yaitu tugas siswa. Jika pada akhirnya proses pembelajaran selama PJJ dititikberatkan pada penugasan siswa maka pelaksanaan evaluasi selama PJJ menjadi agenda yang begitu dipaksakan.

Pendidikan dan Angka-Angka

Selama ini pendidikan formal selalu dikaitkan dengan angka-angka kuantitatif untuk menilai keberhasilan siswa dalam menguasai kompetensi tertentu. Angka-angka ini pun dibatasi dengan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Guru pun terperangkap dalam penentuan nilai berdasarkan angka-angka ini.
ADVERTISEMENT
Seorang teman saya baru saja membuktikannya dengan menunjukkan nilai PTS anaknya yang baru duduk di kelas 3 SD. Anaknya menduduki peringkat pertama. Dan ternyata hampir keseluruhan soal, teman saya ini membantu jawaban putranya. Bukan tanpa alasan, anaknya yang baru kelas 3 ini tidak mau mengerjakan soal PTS online dengan berbagai alasan. Karena dibatasi oleh waktu, mau tidak mau ia membantu menjawabnya.
Pendidikan era pandemi seharusnya menjadi refleksi bagi para praktisi pendidikan dan kaum akademisi untuk melepaskan diri dari ikatan tekstual yang terperangkap pada angka-angka. Pendidikan berbasis tugas yang terintegrasi bisa menjadi solusi dari kekakuan pendidikan. Siswa diberi tugas menulis esai atau jurnal tentang kegiatan mereka sehari-hari, menulis fenomena yang terjadi pada lingkungan mereka hingga perilaku orang-orang sekitar menghadapi penyebaran virus.
ADVERTISEMENT
Mapel saling terintegrasi untuk memberi nilai seobyektif mungkin tanpa harus terkendala aturan kurikulum yang begitu kaku. Daya analisis siswa dalam menyikapi permasalahan sekitar dengan nalar dan kemampuan teori yang mereka pahami akan tampak tanpa dibuat-buat dari hasil laporan pekerjaan mereka. Ukuran kejujuran siswa dapat dilihat dari setiap proses yang mereka laporkan. Tak mengapa mereka membuka buku, mencari teori dari internet namun hasil akhir cara mereka menyelesaikan permasalahan adalah cermin dari seberapa sungguh-sungguh siswa memberikan solusinya.
Selama guru dan seluruh praktisi pendidikan masih berkutat pada angka dan keharusan atas pemenuhan standar administratif kurikulum, maka apa yang ditakutkan oleh Nadiem yaitu lost generation bisa membayangi generasi kita selanjutnya. Mereka akan abai dengan makna kejujuran dan tak kan mampu keluar dari standar tekstual pada tiap materi. Dan kita pun belum dapat memastikan kapan pandemi ini akan berlalu.
Tes online yang diadakan di tengah ketidakidealan pembelajaran merupakan bentuk ketidakadilan.