Keroposnya Sistem Pendidikan Kita

hanifatul hijriati
Mengajar bahasa Inggris. Saat ini penulis mengajar di SMA Negeri 1 Gemolong
Konten dari Pengguna
20 Mei 2021 16:15 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari hanifatul hijriati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jenjang SMA/SMK dan Pendidikan Menengah sudah mengumumkan kelulusan sebagai tanda peserta didik telah menyelesaikan 9 dan 12 tahun pendidikannya. Ucapan selamat akan kelulusan 100 % pun beredar baik di pesan WA atau media sosial lainnya. Yang tentu saja kelulusan 100 % bukanlah sesuatu yang begitu mengejutkan.
ADVERTISEMENT
Pandemi yang berhasil melumpuhkan pendidikan hingga satu tahun di negeri ini, seolah tidak bisa memberikan pilihan bagi pengampu kebijakan untuk mengambil kebijakan tentang sistem kelulusan sekolah selain meluluskan mereka begitu saja dengan dasar penilaian dari guru.
Maka, dengan keterbatasan-keterbatasan yang sangat nyata baik dari cupetnya sinyal internet, kepemilikan alat komunikasi yang tidak memadai hingga miskinnya interaksi guru murid, proses kelulusan peserta didik tentu saja akan mudah mencapai angka 100 %.
Mau bagaimana pun proses kelulusan dibuat, sesungguhnya selama proses pembelajaran masih tetap mengedepankan teori hafalan dan pendekatan normatif, label kelulusan hanya akan menjadi labelisasi bahwa peserta didik pernah memiliki pengalaman sekolah. Urusan kompetensi biar nanti di masyarakatlah mereka diuji. Sudah itu saja.
ADVERTISEMENT
AKM Atau Asessmen Kompetensi Minimum yang digadang-gadang menggantikan UN belum terdengar kapan akan dilaksanakan karena terkendala masa pandemi serta sosialisasi yang sampai sekarang belum selesai.
Konsep HOTS (Higher Order Thinking Skill) yang selalu digembar-gemborkan sebagai pendobrak kurikulum masih jauh panggang dari api. HOTS hanya menjadi yel-yel tanpa perwujudan yang nyata. Tentu saja tidak melulu salah guru.
Boleh saja guru menginginkan memberikan soal analisis tingkat tinggi, namun apa daya kemampuan siswa masih sangat jauh bahkan untuk menjawab pertanyaan apa, di mana, kapan, siswa masih kesulitan.
Akan tetapi tuntutan HOTS menyebabkan guru harus memberi pertanyaan bagaimana, mengapa yang sayang tidak memberi progres maksimal pada siswa.
Selama pandemi ini, ujian kenaikan kelas hingga ujian sekolah sebagai penentu kelulusan dijadikan landasan untuk mengukur apakah siswa layak atau tidak untuk naik kelas atau pun lulus. Selama itu pula, guru dituntut membuat soal HOTS.
ADVERTISEMENT
Hal ini membuat saya berpikir, pada saat pembelajaran tatap muka saja, siswa kita masih terengah-engah dalam membuat analisis apalagi saat pembelajaran tidak memiliki interaksi dengan guru.
Soal-soal HOTS seperti sekadar pajangan untuk memenuhi syarat administrasi tanpa mau tahu kondisi kognitif siswa kita yang masih hafalan oriented. Pemaksaan HOTS terlebih di masa pandemi adalah bentuk pemaksaan demi memperlihatkan ‘prestasi’ pendidikan yang sangat semu.
Mengubah pola berpikir yang hafalan oriented menuju pemikiran kritis tentu saja tidak seperti main sulap. Perubahan kurikulum harus dari akarnya. Selama pendidikan dasar masih mengedepankan hafalan serta banyaknya mata pelajaran selama itu pula visi pendidikan untuk menghasilkan generasi kritis hanya akan terus menjadi visi tanpa mewujud jadi nyata.
ADVERTISEMENT
Semenjak SD, siswa sudah dijejali berbagai materi hafalan baik dari mata pelajaran bahasa Indonesia, moral yaitu berupa PKn hingga agama. Belum lagi muatan lokal yang sungguh membebani siswa di usia pendidikan dasar untuk menghafal semua teori.
Siswa dipaksa untuk membuat lompatan besar dalam berpikir. Mereka dari yang hafalan oriented harus membuat belokan menjadi critical thinking dengan HOTS. Layaknya membangun sebuah bangunan, kekuatan pondasi tidak menjadi pertimbangan.
Bentuk dan keindahan bangunan menjadi hal yang utama. Maka bisa diperkirakan bahwa sistem ini tetap akan menimbulkan pertanyaan seputar kompetensi lulusan.
Setelah kurun waktu yang cukup lama semenjak kurikulum 2013 diberlakukan hingga masa pandemi kali ini, pemberlakukan HOTS belum sepenuhnya berjalan. Tentu saja kendala dalam hal pemahaman literasi baik guru dan siswa yang masih rendah menyebabkan proses berpikir kritis pada generasi kita belum tumbuh optimal.
ADVERTISEMENT
Siswa SD yang baru duduk di kelas dua tiba-tiba mendapat teori tentang Pancasila dengan segala teorinya yang rumit. Istilah-istilah kemanusiaan, toleransi saling bertumbukan pada otak mereka yang masih dasar.
Kerumitan teori hingga kesan berpikir tingkat tinggi membawa anak-anak untuk mau tidak mau memahaminya dengan cara menghafal. Tentu saja guru dapat membimbing mereka dengan pemahaman sederhana. Namun, itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar dan guru-guru itu dikejar oleh tuntutan kurikulum untuk menyelesaikan materi.
Kembali pada pembiasaan berpikir kritis. Siswa-siswa kita semenjak usia dini tidak diberi arahan untuk membaca dengan baik dan benar. Tidak pula diberi materi untuk meningkatkan literasi dengan baik. Seharusnya, mereka cukup mendapat pelajaran bahasa, Matematika dan Science tanpa perlu ditambah dengan materi yang begitu banyak.
ADVERTISEMENT
Dalam penekanan bahasa, siswa sekolah dasar ditekankan untuk mampu membuat story telling, mendengarkan cerita hingga mengasah kemampuan mereka untuk meresapi informasi tersurat dan tersirat. Tentu saja ini memakan waktu yang tidak sebentar. Bisa lebih dari satu semester hingga satu tahun. Hingga proses kognitif untuk memahami logika dasar tumbuh siswa baru bisa dimasuki jenis penngetahuan yang lebih rumit.
Dan saat siswa memasuki jenjang sekolah menengah pertama hingga atas, pola berpikir mereka sudah terbentuk dengan baik untuk memiliki kemampuan critical thinking hingga HOTS.
Pendidikan kita adalah bentuk pendidikan yang tergesa-gesa, memaksakan kehendak demi sebuah pamor tanpa melihat betapa keroposnya isi di dalamnya. Kita bisa jadi bangga menyebut jika sekolah kami lulus 100 %, namun kita bisa jadi tidak mau ambil pusing apakah siswa yang lulus telah memiliki kompetensi optimal yang membuat mereka cukup bersaing untuk menempuh pendidikan selanjutnya atau bekerja.
ADVERTISEMENT
Coba saja untuk memberikan pertanyaan tentang bagaimana, mengapa pada lulusan SMA. Seberapa dalam dan luas analisisnya. Kita bisa menakar secukup itu kompetensi lulusan generasi kita.
Pandemi memang semakin memperburuk kualitas pendidikan kita yang sesungguhnya juga tidak dalam kondisi yang sangat baik pula. Itu terbukti peringkat PISA (Programme for International Student Assesment) siswa kita masih bercokol di peringkat 72 dari 77 negara. Kualitas pendidikan kita bahkan sangat tertinggal se-Asia Tenggara.
Memperbaiki sistem adalah hal yang utama harus dilakukan. Pandemi yang berlangsung lama ini cukup memberikan kontemplasi tentang kondisi sistem pendidikan kita. Tak perlu menunggu lama untuk membelokkan arah, menguatkan pondasi sebelum bonus demografi penduduk yang berlipat-lipat menjadi bencana demografi penduduk di saat kita tidak dapat menghasilkan generasi berkualitas.
ADVERTISEMENT
Sebelum akhirnya sekolah hanya mampu menjadi lembaga pencetak ijazah semata. Tidak lebih.
Siswa di sekolah saya saat masih aktif belajar sebelum pandemi. Sumber foto: Pribadi.