Pelajaran Moral Mungkin Tidak Diperlukan Lagi di Sekolah

hanifatul hijriati
Mengajar bahasa Inggris. Saat ini penulis mengajar di SMA Negeri 1 Gemolong
Konten dari Pengguna
24 November 2021 22:05 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari hanifatul hijriati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Dokumentasi SD Aisyiyah.
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Dokumentasi SD Aisyiyah.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Berbagai teori tentang pendidikan moral diajarkan bahkan semenjak sekolah dasar. Namun, sesungguhnya saat ini perlu kita pertanyakan kembali, tepatkah pengajaran atas teori-teori tentang moral itu diajarkan di sekolah? Jangan-jangan teori tentang moral itu tidak diperlukan lagi, mubazir, bahkan sia-sia belaka.
ADVERTISEMENT
Saat anak saya yang masih kelas 3 SD mengerjakan soal tematik yang di dalamnya adalah unsur pelajaran PPKn, tertulis sebuah pertanyaan, apa yang harus dilakukan saat temanmu sakit? Terdapat tiga pilihan untuk dijawab.
Pilihannya adalah dibiarkan, dijauhi dan dijenguk. Anak saya saat itu berpikir jika sebaiknya dijauhi saja. Tentu saja ini tidak salah. Apalagi kondisi pandemi menyebabkan pilihan menjauhi teman yang sakit adalah pilihan masuk akal dan tidak menyalahi norma. Namun, kemudian anak saya berubah pikiran, ia memilih dijenguk.
Saat saya tanya kenapa dijenguk, katanya jawaban yang benar ya dijenguk. Dan itu setelah ia tanyakan kepada gurunya di sekolah. Usut punya usut ternyata memang jawaban yang benar adalah dijenguk karena itu menunjukkan sikap peduli serta menegakkan sila kedua Pancasila yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab.
ADVERTISEMENT
Lalu saya tanya anak saya, memangnya dia benar-benar mau menjenguk teman yang sakit? Dia tampak berpikir lalu menajwab tidak dengan alasan bisa jadi temannya terinfeksi virus dan dapat menularkan ke temannya. Ada lagi pertanyaan lain seperti sifat-sifat yang baik yang perlu dilakukan untuk menolong orang lain. Lalu diberi tiga pilihan. Anak saya memilih membantu ibu mencuci piring.
Lantas saya tanya lagi,’Kamu apa pernah bantuin Mama mencuci piring?’ Dia ya cuma tersenyum saja. ‘Kan yang penting jawaban benar, entah dipraktikkan atau tidak’. Saya agak terkejut dan dia tidak sepenuhnya salah. Dalam menjawab soal tentang moral, anak cenderung memilih jawaban yang benar secara teori moral, masalah praktik ya belakangan lah karena yang penting mendapat nilai bagus dulu.
ADVERTISEMENT
Jika beranjak hingga ke tingkat SMA, materi PPKn akan lebih rumit lagi. Namun, lagi-lagi standar moral menjadi ukuran yang paling benar dalam menjawab pertanyaan yang pastinya memiliki esensi moralitas. Pada soal PPKn kelas XII, saya menemui pertanyaan, kita harus menghindari diri dari tindakan sewenang-wenang karena bertentangan dengan makna. Tentu saja ada lima pilihan jawaban yaitu kejujuran, kezaliman, kesejahteraan, keadilan dan kebenaran. Dan jawaban yang tepat adalah kebenaran.
Kenapa bukan keadilan atau kejujuran? Ya karena perbuatan sewenang-wenang itu paling merasa benar. Padahal belum tentu juga benar. Namun, tentu saja pertanyaan ini menjadi begitu membingungkan mana kala ada pada pertanyaan pilihan ganda dan kita harus memilih yang paling benar.
Membaca dan mencoba mencerna soal-soal dengan standar moral itu mengingatkan saat saya sekolah dulu dan masih dengan sistem CBSA. Tidak jauh berbeda. Soal-soal standar moral itu akan saya jawab dengan jawaban paling benar, tak masalah saya mempraktekkannya atau pun saya melakukannya. Yang penting nilai saya bagus.
ADVERTISEMENT
Meskipun HOTS selalu digembar-gemborkan untuk melekat dalam pembelajaran apa pun, nyatanya, untuk teori yang berkaitan dengan moralitas, ini tidak berlaku. Membaca soal-soal tersebut membawa saya sendiri untuk kembali mengingat dengan jelas jawaban apa yang kemudian saya tulis atau pun pilih.
Teori moralitas yang telah diberikan sejak sekolah dasar, tanpa disadari, menumbuhkan mentalitas penuh kebohongan. Lho bagaimana bisa? Seorang siswa SD yang mencoba menjawab soal berbasis moral akan tetap memilih jawaban yang benar berdasarkan teori. Itu sama halnya siswa SMA yang akan memilih jawaban bahwa merokok dapat menganggu kesehatan orang lain pula hanya karena jawaban itu secara teori benar. Nyatanya ya mereka tetap saja merokok di tempat umum.
Ilustrasi kegiatan belajar mengajar di sekolah. Foto: Shutter Stock
Bukankah sama saja kita telah mencetak generasi pembohong? Saya tak terkejut jika melihat seorang siswa dapat menjawab soal-soal berdasarkan teroi moral, tetapi masih suka membuang sampah sembarangan, suka berkata kasar dengan temannya atau pun merasa tidak canggung menunjukkan sikap yang tidak toleran pada orang lain yang berbeda darinya.
ADVERTISEMENT
Lalu dari mana sesungguhnya mereka belajar? Tentu dari lingkungan sekitarnya. Nilai-nilai moral yang mereka peroleh di atas kertas seketika bisa runtuh saat mereka dihadapkan pada realitas. Mereka sendiri melihat pak guru yang merokok di depan kelas, mereka menyaksikan sendiri bagaimana guru juga tidak disiplin, tidak membuang sampah pada tempatnya hingga bisa jadi guru mereka melanggar aturan lalu lintas.
Jelaslah moralitas bukan untuk diajarkan, akan tetapi dipraktikkan. Siswa akan mencontoh orang-orang yang lebih tua dari mereka untuk bersikap dan bertindak. Saat mereka melihat orang yang lebih tua memaksakan pendapatnya, itulah yang akan dipraktikkan meskipun bab tentang toleransi bisa jadi mereka mendapat nilai yang tinggi.
Untuk yang lebih luas lagi, efeknya akan semakin terasa. Seorang siswa kelas sebelas pernah bertanya pada saya, ‘Bu, jika mantan koruptor atau kriminal bisa mencalonkan diri jadi anggota DPR, kenapa harus siwa yang baik untuk dicalonkan menjadi ketua OSIS?’ Ah tentu saja saya hanya bisa memberi jawaban yang sangat klise. ‘Karena kalian adalah generasi harapan bangsa yang diharapkan bisa mengahapuskan tindakan amoral seperti itu’
ADVERTISEMENT
Tentu untuk mengatakan moralitas bangsa kita sudah jatuh ke titik paling bawah belum bisa kita simpulkan dengan benar. Masih banyak manusia-manusia di negeri ini yang bisa dijadikan contoh baik. Namun, indikator-indikator tentang bagaimana moralitas telah menjadi standar yang diabaikan begitu nyata tampak.
Bangsa kita menjadi juara sebagai netizen yang paling tidak sopan. Perilaku melanggar aturan dari yang paling ringan hingga yang paling besar seperti tindakan korupsi hampir tidak mendapatkan sanksi setimpal. Korupsi hingga kong kalikong dalam urusan hukum sangat nyata ditemui. Serta kasus-kasus lainnya sebagai efek bersayap atas nama moralitas yang diabaikan.
Mungkin sudah saatnya pelajaran moral sebaiknya dihapus dari kurikulum sekolah. Percuma saja, saat siswa harus tunduk pada teori moral ketika menjawab pertanyaan, di sisi lain, mereka harus menerima penyimpangan moralitas yang harus dimaklumi.
ADVERTISEMENT
Mereka harus menjadi saksi pemakluman atas perilaku guru yang tidak etis tanpa mau meminta maaf, pelecehan, penghinaan atau pun sikap merendahkan orang lain karena berbeda yang dianggap biasa hingga pelaku pelecehan seksual yang justru masih mendapat tempat yang cukup dihormati.
Sudah, cukup. Pelajaran etika dan moral tak perlu ada lagi. Biarkan anak-anak cukup belajar ilmu-ilmu yang esensial seperti Matematika, Science atau pun Bahasa. Mereka cukup belajar mengucapkan bahasa yang santun, berdebat dengan adab yang baik, menerima perbedaan pendapat dengan bahasa santun, serta mengerjakan ujian tanpa boleh menyontek. Tanpa harus menghafalkan teori moral yang begitu ndakik-ndakik atau memilih jawaban dengan standar yang absurd.