Perlawanan Perempuan dalam The World of Married

hanifatul hijriati
Mengajar bahasa Inggris. Saat ini penulis mengajar di SMA Negeri 1 Gemolong
Konten dari Pengguna
6 November 2020 13:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari hanifatul hijriati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tidak sedikit drama Korea yang menceritakan tentang perlawanan perempuan terhadap budaya patriarki, namun di The World of Married kita akan menemukan sesuatu yang berbeda. Perlawanan perempuan dalam The World of Married adalah perlawanan pada ego masing-masing tokoh perempuan itu sendiri.
ADVERTISEMENT
The World of Married bukan sekedar kisah drama tentang perempuan yang menjadi pihak ketiga rumah tangga orang lain. Atau sekedar cerita tentang perempuan yang merebut suami orang lalu hidup bahagia. Begitu juga bukan menceritakan kisah cinta penuh haru biru pada sepasang suami istri.
Namun drama ini menceritakan tentang kisah tokoh perempuan-perempuan yang bertarung untuk melawan dirinya sendiri dari ego yang membelenggu serta balutan patriarkisme di mana perempuan masih menerima stigma atas kelakuan buruk pasangannya.
Drama The World of Married menawarkan nilai-nilai kemandirian bagi setiap perempuan
Perempuan sering dijadikan alasan mengapa laki-laki berselingkuh. Perempuan dianggap kurang bisa melayani suaminya dengan baik, kurang menjaga penampilannya sampai terlalu membosankan untuk suami. Maka ketika suami berselingkuh dianggap wajar dan beralasan.
Stigma ini juga hampir sama dimiliki oleh budaya kita juga. Kesamaan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, membuat drama ini begitu dekat dengan permasalahan di sekitar kita.
ADVERTISEMENT
Kekalutan, ketakutan hingga sulitnya melepas tekanan atas nama cinta hingga perasaan tak berdaya untuk menghindari belas kasihan pada laki-laki tergambar dengan jelas dan dimainkan dengan apik pada setiap tokoh dan karakter perempuan dalam drama ini. Dokter Ji Sun Wo, sebagai peran utama, harus melawan segala stigma yang melekat padanya setelah ia memutuskan bercerai.
Rasa sakit karena dikhianati oleh suami yang dicintainya membuatnya tak mampu bertahan dalam ikatan pernikahan. Dokter Ji harus melawan penilaian dari orang lain yang menganggapnya tidak mampu melindungi pernikahannya. Di tengah-tengah upayanya untuk terus bertahan dan melanjutkan hidup bersama anak laki-lakinya, ia belum mampu melepaskan sepenuhnya perasaannya pada Lee Tae Oh, mantan suaminya.
. Dengan segala karakter yang dimiliki oleh Ji Sun Wo, yaitu mandiri, kuat dan tentu memiliki penampilan yang berkelas, tentunya bisa dianggap bahwa ia seharusnya tidak terlalu membutuhkan perlindungan laki-laki. Namun kebutuhan akan afeksi itu muncul karena sesungguhnya Lee Tae Oh sendiri belum mampu melepaskan ketergantungan psikologisnya dari mantan istrinya. Dalam karakter Lee Tae Oh, kita akan menemukan jiwa laki-laki yang bisa mewakili sebagian kaum laki-laki lainnya. Ia terjebak antara perasaan mencintai Da Kyung namun seacara psikologis ia bergantung pada Ji Sun Wo. Baginya kedua perempuan itu sama-sama dicintainya.
ADVERTISEMENT
Min Hyun So adalah tokoh perempuan dengan karakter yang berbeda yang juga harus terjebak dalam perasaan kebergantungan. Ia harus berjuang melepas ketergantungan psikologis dengan kekasihnya yang abbusive. Park In Yu adalah laki-laki temperamental yang memiliki comuplsive disorder atau perilaku yang suka menyakiti. Hyun So berusaha lari dan melepaskan diri dari laki-laki itu namun In Yu tak mampu kehilangan Hyun So.
Ye Rim adalah karakter perempuan yang lain yang juga berjuang melepas ketergantungannya pada suaminya Je Hyuk. Je Hyuk adalah jenis laki-laki yang tidak mampu menguasai dirinya untuk tidak selingkuh. Ia mudah tertarik pada perempuan lain yang memiliki daya tarik fisik. Semacam ada tantangan lain, Je Hyuk seperti tak mampu mengendalikan dirinya.
ADVERTISEMENT
Meskipun Ye Rim memikirkan untuk bercerai, ia juga tak mampu melepaskan ketergantungan psikologisnya dengan Je Hyuk. Dorongan untuk memaafkan perilaku suaminya muncul sebagai akibat sosial yang telah tertanam cukup lama bahwa kekhilafan seorang laki-laki layak mendapat pemaafan dari perempuan. Dan sudah sepantasnya perempuan memaafkan laki-laki. Ye Rim kembali menerima suaminya dan memaafkannya.
Terlebih Je Hyuk pula terus memohon untuk dimaafkan. Namun perjalanan untuk menerima kembali atau memaafkan tidak membuat kesalahan masa lalu dapat hilang begitu saja. Ye Rim merasa ketergantungan psikologisnya membuatnya semakin tertekan.
Da Kyung adalah contoh karakter yang lain. Sebagai perempuan yang dianggap perebut suami orang, ia memiliki inferioritas yang cukup tinggi. Ketakutan akan Lee Tae Oh kembali pada Ji Sun Wo membuatnya terus mencari cara untuk melindungi pernikahannya. Ia merasa tak mampu melepas perasaannya akan kebutuhan afeksi dari Lee Tae Oh. Padahal, dengan perlindungan orang tuanya serta kedudukan status sosial yang dimilikinya, sejak awal ia bisa dengan mudah pergi dan hidup lebih mandiri.
ADVERTISEMENT
Akhir drama ini memiliki plot twist yang secara menyeluruh sempurna. Pesan moral tersampaikan dengan jelas. Bahwa perempuan harus berdaulat dalam menentukan keputusan-keputusan hidupnya termasuk perasaannya. Perempuan harus berjuang untuk melepas ketergantungannya akan perasaan afeksi pada lawan jenis yang dapat melukai dirinya jika ia ingin hidup bermartabat dan bahagia. Melepas ikatan pernikahan yang tidak sehat adalah salah satu cara. Meskipun melepaskan ikatan tidak berarti melepaskan tuntutan kebutuhan afeksi, namun dengan meninggalkan komitmen yang bermasalah perempuan dapat menata kembali tujuan hidupnya.
Ji Sun Wo, meskipun dengan perjuangan yang tidak kecil serta berakibat luka psikologis pada anaknya, akhirnya mampu menemukan kekuatan dirinya sendiri untuk tegak berdiri tanpa harus mengedepankan belas kasihnya pada Lee Tae Oh. Ye Rim dapat bangkit dan membuktikan hidupnya mampu lebih mandiri tanpa Je Hyuk. Dan Da Kyung mampu keluar dari rasa takutnya kehilangan Lee tae Oh justru dengan melepaskannya. Da Kyung menata hidupnya menjadi lebih mandiri tanpa harus bergantung pada laki-laki yang sempat membuatnya merasa inferior.
ADVERTISEMENT
Laki-laki memiliki tujuan seks untuk melepaskan hasratnya namun tidak bagi perempuan. Seks adalah wujud perasaan cinta dan kesetiaan. Tokoh-tokoh perempuan dalam drama ini telah menunjukkan bagaimana praktek hubungan semacam ini telah menjebak mereka dalam balutan budaya patriarkisme.
Perempuan layaknya memaafkan laki-laki demi menjaga komitmen pernikahan. Itulah ajaran yang tanpa sadar tertanam dalam budaya kita pula. Perempuan cenderung menutupi luka batinnya demi menjaga kesakralan pernikahan. Perempuan pula selayaknya berkorban atas nama kesetiaan dan pengabdian pada suami. Suami yang khilaf pantas untuk dimaafkan.
Drama ini telah mengajarkan kaum perempuan untuk dapat bangkit dan menemukan dirinya sendiri. Melepaskan segala jenis keterikatan pada laki-laki yang dapat melukainya serta meyakinkan kepercayaan diri. Kemudian melanjutkan hidup yang lebih merdeka, berdaulat dan tentunya bahagia.
ADVERTISEMENT