Konten dari Pengguna

Hustle Culture sebagai Potret Kontraproduktif

Hanifah Yazna
Mahasiswi Universitas Indonesia Fakultas Kesehatan Masyarakat
14 November 2021 21:53 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hanifah Yazna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
photo by unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
photo by unsplash.com
ADVERTISEMENT
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pada dasarnya manusia mempunyai naluri untuk berhasil dalam hidupnya. Dengan adanya naluri tersebut, setiap manusia tentu mencoba meraih kesuksesan. Oleh karena itu, mereka berupaya untuk mengerahkan segala kemampuan yang dimilikinya.
ADVERTISEMENT
Satu dari banyak hal yang dianggap membawa diri kepada kesuksesan adalah produktivitas. Produktivitas diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam menghasilkan sesuatu. Dengan menjadi produktif, orang-orang berharap bisa meningkatkan kualitas hidup mereka. Jadi, bukan sesuatu yang mengejutkan apabila mereka begitu ambisius dalam bekerja. Jika dilihat sekilas tampaknya hal ini begitu positif. Sayangnya, permasalahan ini tidak sesederhana apa yang kita kira.
Akhir-akhir ini, pemaknaan tentang produktivitas tersebut justru bergeser menjadi hal yang masih abu-abu. Mungkin kita jadi berpikir, apakah produktivitas berarti mendedikasikan waktu seutuhnya terhadap suatu pekerjaan? Ya, pertanyaan tersebut muncul ketika kita melihat sekeliling kita penuh dengan hiruk-pikuk dunia yang tidak pernah ada istirahatnya. Sering kita mendengar atau justru kita sendiri mengucapkan ungkapan-ungkapan, seperti "Ah aku butuh kopi nih buat begadang, kerjaan masih banyak" atau "Aku dikejar deadline, jadi mau gak mau harus lembur."
ADVERTISEMENT
Tidak bisa dipungkiri realitas yang ada memang seperti itu. Mengutip data dari Organisasi Buruh Internasional, tercatat lebih dari 400 juta pekerja di dunia bekerja lebih dari 49 jam dalam satu minggu. Fenomena ini semakin marak di era digital. Hal itu dibuktikan dengan dengan pemaparan World Economic Forum yang menyatakan selama pandemi COVID-19 mayoritas perusahaan menerapkan work from home (WFH). Anehnya, waktu yang dihabiskan untuk bekerja menjadi lebih panjang (naik 48,5 menit), email yang terkirim lebih banyak (naik lima persen), dan waktu antara kehidupan pribadi dengan waktu kerja semakin baur. Satu alasan paling mungkin adalah di era serba maju ini anggapan setiap orang selalu siap bekerja kapan saja dan di mana saja makin menjamur.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya sampai di kalangan pekerja, fenomena ini juga ada di kalangan muda seperti mahasiswa. Mereka merasa harus mengeluarkan effort yang begitu "gila". Mereka berlomba-lomba untuk mampu mengerjakan banyak tugas semalaman dan merasa harus seperti itu agar bisa bertahan dengan keadaan. Ketika hal tersebut dilakukan, mereka lantas melabeli dirinya sudah berhasil produktif. Perilaku semacam ini kian tumbuh menjadi suatu budaya yang dikenal dengan hustle culture.
Hustle Culture merupakan kondisi bekerja keras secara terus-menerus hingga saat ini telah menjadi gaya hidup. Suatu keadaan ketika mereka selalu ingin sibuk bekerja tanpa mau meluangkan waktu untuk hal-hal di luar pekerjaannya. Bagi mereka, tidak ada istilah “Kerja cerdas, bukan kerja keras.” Orang penganut hustle culture merasa bahwa mereka hanya bisa berhasil dengan bekerja keras.
ADVERTISEMENT

Faktor Penyebab

Banyak faktor penyebab terjadinya budaya ini. Hal ini dipicu karena pemaknaan terhadap produktivitas yang kurang tepat. Produktivitas dimaknai dengan harus bisa menghasilkan banyak hal sekaligus. Produktivitas berarti meminimalisasi waktu istirahat. Namun, faktanya penelitian yang dilakukan oleh John Pencavel dari Universitas Stanford, memaparkan bahwa orang yang bekerja terlalu lama tidak serta-merta akan meningkatkan produktivitas secara keseluruhan. Menurut analisis Pencavel, justru bekerja lebih dari 48 jam membuat produktivitas turun. Selain itu, perusahaan yang saat ini berkembang begitu pesat, menekan para pekerjanya ibarat budak korporat. Bentuk eksploitasi dari perusahaan memaksa pekerja untuk lembur demi keuntungan perusahaan itu sendiri.
Ditambah dengan aspek kebutuhan dasar seperti pendidikan, makan, ketersediaan air bersih, dan rumah layak yang tidak terpenuhi mengakibatkan orang kian terdesak. Intinya, persaingan semakin sengit dalam setiap aspek kehidupan. Hal ini mengingatkan kita kepada hukum rimba di mana setiap individu tentu ingin survive dan mereka bisa melakukan apa saja untuk survive.
ADVERTISEMENT
Jangan lupakan teknologi yang bertambah maju, memunculkan orang-orang hebat terpampang nyata di berbagai media. Seseorang jadi berpikir untuk menjadi the next Elon Musk, Ali Baba, atau Mark Zuckerberg. Teknologi tersebut pula yang membawa kita pada situasi di mana kita dianggap selalu dapat selalu bekerja. Kemudian, didukung kepribadian dengan sifat perfeksionismenya. Mereka berusaha mencapai kesempurnaan dari pekerjaan yang sedang mereka kerjakan. Faktor-faktor penyebab tersebut menjadikan seseorang untuk bekerja lebih keras lagi melebihi batas yang ia miliki.

Dampak Buruk

Mengapa hustle culture menjadi masalah? Gaya hidup tersebut memunculkan dampak buruk terutama bagi kesehatan, baik kesehatan fisik maupun mental. Pekerja di negara dengan etos kerja tinggi, seperti Jepang, Korea, dan Cina yang bekerja lebih dari 50 jam per minggu, mempunyai risiko tinggi terhadap penyakit kardiovaskular, infark miokard, dan jantung koroner. Penyakit hipertensi dan diabetes melitus juga berhubungan dengan durasi jam kerja yang panjang karena cenderung memiliki tekanan darah sistolik tinggi.
ADVERTISEMENT
Sebuah survei yang dilakukan di Jepang menunjukkan penduduk yang bekerja 80 hingga lebih dari 99 jam per minggu memiliki gejala depresi dan kecemasan dibandingkan dengan penduduk yang bekerja kurang dari 60 jam per minggu. Bekerja tanpa henti akan mengurangi waktu tidur dan mengakibatkan kelelahan sehingga kualitas produktivitas justru menurun. Bayangkan saja jika kita sudah mengeluarkan effort yang begitu besar, tetapi bukan hasil yang didapatkan melainkan hanya lelah semata. Orang yang larut dalam pekerjaan juga cenderung akan mengabaikan lingkungan sekitarnya. Akibatnya, keharmonisan hubungan pun terkena dampaknya. Tentu kita tidak pernah menginginkan hal itu terjadi.

Apa Solusinya?

Dampak buruk yang ditimbulkan oleh hustle culture membuat gaya hidup semacam ini perlu kita waspadai. Pengaturan soal jam kerja di Indonesia sudah diatur oleh pemerintah dalam UU RI Nomor 11 Tahun 2020 Pasal 77 Ayat 2 Tentang Cipta Kerja. Sesuai dengan pasal tersebut, perusahaan dan pekerja diwajibkan melaksanakan satu di antara dua ketentuan jam kerja yaitu, bekerja dengan waktu tujuh jam dalam satu hari (enam hari kerja) atau delapan jam dalam satu hari (lima hari kerja). Ketentuan itu dibatasi dengan waktu maksimal pekerja untuk bekerja dalam satu minggu adalah 40 jam.
ADVERTISEMENT
Pengaturan soal jam kerja sudah diatur sedemikian rupa. Perusahaan mestinya memperhatikan perkara tersebut agar eksploitasi pekerja, seperti lembur tanpa gaji layak dan membawa setumpuk pekerjaan ke rumah setelah seharian bekerja tidak terjadi. Kewaspadaan terhadap dampak hustle culture ini juga wajib dilakukan dari diri sendiri. Anggapan bahwa kita hanya dapat sukses ketika mengeluarkan effort terus-menerus, sebaiknya dilepas jauh-jauh. Nyatanya, kualitas dari produktivitas itu sendiri harus diperhatikan dibandingkan kuantitasnya.
Lalu, bagaimana? Mungkin sedikit tipsnya agar kita tidak terjebak dalam gaya hidup ini adalah dengan mengatur jadwal yang efektif dan efisien setiap hari, termasuk mengatur jam istirahat kita. Mungkin banyak pemikiran bahwa mengerjakan semua tugas di awal, pada akhirnya akan memberikan waktu luang lebih banyak. Akan tetapi, memberi kesempatan untuk sekadar merebahkan tubuh dan melakukan hobi bukan jadi masalah. Oleh karena itu, penting mengetahui batasan kemampuan diri sendiri agar kita tak perlu memaksa lagi jika rasa lelah sudah terasa.
ADVERTISEMENT
Selalu ingat bahwa setiap orang memiliki tujuan dan starting point berbeda, sehingga tidak perlu merasa takut apabila orang lain beberapa langkah di depan kita. Fokus kepada tujuan masing-masing dan tidak perlu terburu-buru. Tidak mengapa jika tak sempurna, karena bagian pentingnya adalah menikmati segala proses dan terus berusaha berproses.
Pada hakikatnya, memang tidak ada salahnya berjuang keras demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik karena memperjuangkan hidup adalah hak setiap orang. Akan tetapi, aspek kebahagiaan dan kenyamanan dalam memperjuangkan hidup tidak boleh kita abaikan. Jika gaya hidup semacam itu hanya membawa kita kepada produktivitas yang toxic, maka kita harus berani hindari. Bukan berarti kita melepas usaha dan terjatuh dalam lubang kemalasan. Namun, keseimbangan dalam berusaha dibutuhkan agar produktivitas yang kita lakukan jauh dari kata kontraproduktif.
ADVERTISEMENT
Referensi
Pencavel, J. (2015). ‘The Productivity of Working Hours’, The Economic Journal, 125(589), pp. 2052–2076. doi: 10.1111/ecoj.12166.
P2PTM Kemenkes RI. (2018). "Kerja Berlebihan itu Tidak Baik Tapi Kenapa Banyak Orang Masih Melakukannya?" Jakarta: Direktorat P2PTM Kementerian Kesehatan RI. Available at: http://p2ptm.kemkes.go.id/artikel-ilmiah/kerja-berlebihan-itu-tidak-baik-tapi-kenapa-banyak-orang-masih-melakukannya
Triani. (2021). "[QUICKIE!] Work-Life [Im] Balance: Memahami Hustle Culture Melalui Perspektif Ekonomi". Yogyakarta: Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi UGM. Available at: https://himiespa.feb.ugm.ac.id/work-life-imbalance-memahami-hustle-culture-melalui-perspektif-ekonomi/.
Wong, K., Chan, A. H. S. and Ngan, S. C. (2019). ‘The effect of long working hours and overtime on occupational health: A meta-analysis of evidence from 1998 to 2018’, International Journal of Environmental Research and Public Health, 16(12), pp. 13–19. doi: 10.3390/ijerph16122102.
Yoshio, Alfons. (2020). "Survei Work From Home Picu Jam Kerja Bertambah dan Kelelahan Mental". Jakarta: Katadata.co.id. Available at: https://katadata.co.id/ariemega/berita/5fa7cf815a0e8/survei-work-from-home-picu-jam-kerja-bertambah-dan-kelelahan-mental
ADVERTISEMENT