Spesiesisme, di Balik Superioritas Manusia terhadap Hewan

Hanifah Salsabila
Mahasiswi program studi Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran
Konten dari Pengguna
23 Desember 2022 20:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hanifah Salsabila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dibuat menggunakan Canva
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dibuat menggunakan Canva
ADVERTISEMENT
Tepat 24 tahun yang lalu, Hari Hak Asasi Hewan Sedunia (International Animal Rights Day) ditetapkan pada 10 Desember 1998. Hingga kini, hari besar ini terus diperingati bersamaan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Butuh waktu 40 tahun bagi manusia untuk menyadari bahwa hak asasi pada hewan sama istimewanya dengan kita manusia, yang mana memiliki hak untuk hidup yang bebas dari penderitaan dan pengabaian.
ADVERTISEMENT
Namun, seperti halnya hak asasi manusia, hak asasi hewan pun masih belum benar-benar terpenuhi. Ada sebuah istilah yang mendefinisikan perlakuan manusia terhadap hewan yang disebut spesiesisme. Perlakuan manusia ini menganggap dirinya lebih “superior” dan memiliki nilai moral yang lebih tinggi daripada hewan. Praktik paling umum dan dasar spesiesisme, menurut Weitzenfeld dan Joy (2014), adalah eksploitasi, objektifikasi, dan konsumsi hewan sebagai makanan. Pada tulisan ini, praktik spesiesme yang lebih ditekankan adalah eksploitasi, terlebih pada gajah dan kuda.
Akhir tahun identik dengan musimnya wisatawan berkunjung ke tempat rekreasi, tak jarang rekreasi tersebut melibatkan hewan. Rekreasi gajah adalah komoditas yang sering ditemukan di negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia, Thailand, dan Vietnam. Dengan membayar kepada pihak yang menawarkan jasa, wisatawan bisa berkeliling suatu tempat menggunakan gajah. Ada yang menaikinya langsung, ada pula yang ditemani penunggang gajah tersebut. Masalahnya adalah, posisi orang yang menaiki gajah ada di leher. Tidak ada hewan yang lehernya diciptakan untuk ditunggangi. Selain itu, untuk gajah bisa “patuh” dijadikan alat untuk menarik keuntungan, dibutuhkan pelatihan yang tidak bisa dibayangkan kejamnya. Mungkin yang lebih sering didengar tentang pelatihan yang kejam terhadap hewan adalah monyet pada topeng monyet, dan lumba-lumba pada sirkus. Orang-orang awam yang melihat “kepatuhan” hewan-hewan liar ini lucu dan menggemaskan tanpa mengetahui rasa sakit dan trauma yang tertanam pada tiap-tiap hewan tersebut. Pelatihan yang kejam ini bertujuan untuk memberikan penekanan pada hewan tersebut bahwa mereka harus patuh. Jika tidak, akan ada hukuman untuk mereka.
ADVERTISEMENT
Adalah hal yang bagus ketika sudah banyak masyarakat yang sadar tentang kejamnya praktik rekreasi sirkus lumba-lumba, bisa dilihat dari jarangnya praktik tersebut saat ini dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Kesadaran yang sama terkait kesejahteraan hewan harusnya juga digalakkan pada praktik rekreasi elephant riding yang menyiksa ini. Berdasarkan laporan IUCN, gajah adalah salah satu hewan yang terancam punah dengan status endangered.
Tidak hanya gajah, spesiesisme dalam konteks eksploitasi terhadap hewan juga terjadi pada gajah. Di lokasi-lokasi yang biasa dijadikan destinasi bagi wisatawan, seperti kawasan Malioboro di Yogyakarta, terdapat jejeran kuda yang menarik delman. Kuda-kuda tersebut memakai penutup mata yang bernama kacamata kuda. Penutup mata ini dipasangkan pada kuda agar ia tidak terdistraksi dan agar lebih fokus pada jalanan di depannya. Padahal, dilansir dari Horsy Planet, kuda adalah hewan yang cenderung mudah takut, terlebih di lingkungan baru. Pada lokasi wisata, kuda delman berpraktik di jalan raya, di mana mobil dan sepeda motor berlalu lalang. Kucing saja bisa tidak nyaman di lingkungan yang bising seperti itu, apalagi kuda yang memang mudah takut. Tidak habis sampai di sana, kuda delman harus berdiri dalam waktu yang lama dan masih harus menarik beban wisatawan menyusuri jalanan. Jika tidak ada yang menggunakan jasanya ia akan berdiri lebih lama lagi. Tidak ada istirahat bagi mereka sebelum penunggangnya mengizinkan.
ADVERTISEMENT
Dilansir dari Unpaders, orang-orang yang menawarkan jasa kuda delman umumnya berasal dari kaum menengah ke bawah, yang mengadu nasib menggunakan kuda delman untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jika minat masyarakat terhadap jasa kuda delman makin menurun, kesejahteraan kuda penarik delman ini pun bisa tidak terjamin, karena pendapatan yang diperoleh tentu saja akan diprioritaskan untuk pemenuhan kebutuhan penunggangnya. Kalau sudah begitu, kuda tidak akan terawat. Lebih parah lagi, jika kaki kuda tidak bisa digunakan untuk berjalan, ia akan dianggap tidak berguna lagi dan bisa berujung dibunuh.
Meskipun jika dibandingkan, manusia memang ada di atas hewan-hewan karena memiliki akal sehat, tidak bisa dijadikan alasan untuk manusia memperlakukan hewan dengan tidak baik. Manusia membutuhkan hewan dalam kehidupan sehari-harinya. Bukan kah sudah seharusnya manusia juga harus menjamin kesejahteraan hewan demi kelangsungan hidupnya?
ADVERTISEMENT