Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Terjebak Standar Kecantikan: Sampai Kapan Kita Harus 'Cukup' di Mata Orang Lain?
5 Januari 2025 16:58 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Haninda Shofia Diva tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernah nggak sih, kamu merasa kecantikanmu harus sesuai dengan apa yang ada di media? Seolah kalau nggak mengikuti standar tertentu, kamu jadi kurang "oke". Padahal, kenapa ya harus ada ukuran-ukuran itu?
Kecantikan bukanlah konsep yang lahir begitu saja, ini adalah hasil konstruksi sosial yang penuh dengan kepentingan. Lebih dari sekadar preferensi pribadi, standar kecantikan sering kali menjadi alat yang digunakan untuk mengontrol, mendikte, bahkan meraup keuntungan dari perempuan. Pernahkah kamu merasa saat melihat iklan skincare atau body lotion, seolah-olah produk itu berbicara secara tidak langsung: "Kalau kamu nggak pakai ini, kamu nggak cukup cantik." Atau mungkin, ketika kamu membuka media sosial, kamu membandingkan dirimu dengan influencer atau selebriti yang tampil sempurna dengan bantuan kamera dan filter? Kalau iya, kamu tidak sendirian.
ADVERTISEMENT
Bayangkan ini: perempuan tumbuh dalam lingkungan di mana kecantikan sering kali menjadi tolak ukur utama nilai dirinya. Sejak kecil, kita dicekoki narasi bahwa kulit putih lebih baik daripada kulit gelap, bahwa tubuh kurus lebih menarik daripada tubuh berisi. Narasi ini tidak hanya memengaruhi cara kita memandang diri sendiri tetapi juga menentukan cara orang lain memperlakukan kita. Pertanyaannya, apakah standar ini benar-benar murni lahir dari keinginan masyarakat? Atau justru ia adalah produk dari sistem ekonomi dan budaya yang sengaja dibangun untuk mempertahankan dominasi tertentu?
Standar kecantikan telah menjadi bagian dari hidup perempuan, bahkan sejak usia dini. Ia hadir dalam bentuk boneka berkulit putih dan berambut lurus yang diberikan kepada anak-anak perempuan, juga dalam cerita-cerita dongeng yang mengasosiasikan kecantikan fisik dengan kebaikan dan keberhasilan. Tapi pernahkah kita bertanya, siapa sebenarnya yang menentukan standar itu? Apakah kecantikan yang kita kejar selama ini benar-benar datang dari keinginan dan kebutuhan kita sendiri, atau ada sistem yang bekerja di balik layar untuk mendikte apa yang kita anggap indah?
ADVERTISEMENT
Bukan rahasia lagi bahwa media, budaya populer, dan kapitalisme bekerja bahu-membahu untuk menciptakan apa yang disebut sebagai "kecantikan ideal." Namun, ideal ini bukanlah sesuatu yang tetap atau universa, hal ini berubah sesuai dengan kebutuhan pasar dan strategi komersial. Misalnya, di masa kolonial, kulit putih dipromosikan sebagai simbol status dan kemewahan, sementara di era modern, tubuh ramping dengan otot terbentuk mulai mendominasi tren global.
Kenyataannya, standar kecantikan ini tidak hanya tentang penampilan, melainkan cerminan dari relasi kuasa dalam masyarakat. Di satu sisi, ia menjadi alat kontrol sosial yang mengekang perempuan untuk terus mengejar standar tertentu. Di sisi lain, ia menciptakan pasar yang terus-menerus menghasilkan keuntungan dari ketidakamanan yang sengaja diciptakan.
Jadi, mari kita telaah lebih dalam. Apakah standar kecantikan yang selama ini kita ikuti benar-benar untuk diri kita sendiri, atau kita tanpa sadar menjadi korban dari konstruksi sosial dan sistem ekonomi yang tidak berpihak pada perempuan? Mari kita bicarakan dengan kritis, karena kecantikan seharusnya membebaskan, bukan membelenggu.
ADVERTISEMENT
Standar kecantikan yang kita kenal sekarang punya sejarah panjang. Pada masa kolonial, kulit putih, rambut lurus, dan tubuh ramping dianggap ideal karena melambangkan superioritas ras kolonial. Warisan ini masih terasa hingga kini. Produk pemutih kulit, misalnya, menjadi salah satu industri terbesar di Asia, termasuk Indonesia. Saraswati (2013) dalam bukunya Seeing Beauty, Sensing Race in Transnational Indonesia menjelaskan bahwa obsesi terhadap kulit putih bukan sekadar preferensi estetika. Ia adalah warisan dari mentalitas kolonial yang menanamkan gagasan bahwa warna kulit gelap identik dengan ketertinggalan atau bahkan inferioritas. Bahkan, diskriminasi terhadap perempuan berkulit gelap masih sering terjadi. Thompson dan Keith (2001) menemukan bahwa perempuan dengan warna kulit lebih gelap cenderung menghadapi lebih banyak tantangan dalam membangun kepercayaan diri dan dihargai secara sosial dibandingkan perempuan dengan kulit cerah.
ADVERTISEMENT
Media massa dan media sosial menjadi aktor utama dalam memperkuat standar kecantikan. Iklan produk kecantikan hingga filter Instagram secara tidak langsung menyampaikan pesan: “Cantik itu kulit putih, tubuh langsing, dan wajah flawless.” Milkie (1999) mencatat bahwa representasi ini tidak hanya membuat perempuan merasa tidak puas dengan tubuhnya, tetapi juga menciptakan kecemasan sosial. Misalnya, ketika seseorang merasa tidak memenuhi standar, ia cenderung menarik diri dari lingkungan sosialnya. Di era digital, pengaruh ini semakin kuat. Algoritma media sosial sering menampilkan konten yang seragam, membuat kita merasa bahwa standar kecantikan itu universal, padahal tidak. Padahal, kecantikan itu sangat beragam dan tidak bisa didefinisikan oleh satu standar saja.
Standar kecantikan yang tidak realistis membawa dampak serius pada kesehatan mental perempuan. Banyak yang merasa terjebak dalam tubuhnya sendiri, seolah-olah itu adalah proyek yang harus terus diperbaiki. Studi oleh Jan, Soomro, dan Ahmad (2017) menunjukkan bahwa media sosial memperburuk citra tubuh perempuan, terutama remaja. Mereka merasa tidak cukup cantik dibandingkan dengan gambar-gambar yang mereka lihat online, meskipun gambar-gambar tersebut sering kali hasil dari manipulasi digital. Body dysmorphic disorder (BDD) menjadi salah satu gangguan yang sering muncul akibat obsesi terhadap penampilan. Ini bukan lagi soal ingin tampil cantik, tetapi tentang kebutuhan untuk memenuhi ekspektasi sosial yang tidak adil.
ADVERTISEMENT
Belakangan ini, gerakan body positivity muncul sebagai respons terhadap standar kecantikan yang diskriminatif. Gerakan ini mengajak perempuan untuk menerima tubuh mereka apa adanya dan merayakan keunikan masing-masing. Namun, gerakan ini pun tidak luput dari kritik. Siddiqui (2021) mencatat bahwa beberapa perusahaan kosmetik memanfaatkan gerakan ini sebagai strategi pemasaran. Mereka mengklaim mendukung keberagaman, tetapi tetap menjual produk yang berusaha “memperbaiki” tubuh perempuan. Ini menunjukkan bahwa perjuangan melawan standar kecantikan tidak bisa hanya berhenti pada gerakan sosial. Dibutuhkan perubahan sistemik yang lebih besar, termasuk dalam cara industri kecantikan dan media bekerja.
Jika kita ingin keluar dari belenggu standar kecantikan, langkah pertama adalah menyadari bahwa kecantikan tidak bisa diukur dengan satu standar. Setiap orang punya definisi cantik yang unik, dan itu sah-sah saja. Langkah berikutnya adalah edukasi. Kita perlu mengajarkan anak-anak, terutama perempuan muda, untuk kritis terhadap apa yang mereka lihat di media. Ajarkan mereka untuk bertanya: siapa yang diuntungkan dari standar ini? Apakah standar ini benar-benar relevan dengan nilai-nilai mereka? Selain itu, pemerintah dan organisasi masyarakat perlu berperan aktif. Misalnya, dengan mengatur iklan kosmetik agar tidak lagi mempromosikan standar kecantikan yang diskriminatif. Sekolah juga bisa memasukkan pendidikan tentang analisis media dalam kurikulum, sehingga generasi muda lebih sadar akan dampak dari paparan media.
ADVERTISEMENT
Kecantikan bukanlah sesuatu yang bisa dirancang oleh sistem atau industri. Kalau kita terus mengejar standar yang ditetapkan oleh orang lain, kita tidak akan pernah merasa cukup. Tapi, jika kita mulai menerima diri kita apa adanya, itulah kecantikan yang sesungguhnya.
Jadi, mari berhenti sejenak dan tanyakan pada diri sendiri: untuk siapa kita berusaha terlihat cantik? Kalau jawabannya bukan untuk diri sendiri, mungkin saatnya kita meredefinisi arti cantik dalam hidup kita.
Daftar Pustaka
Jan, M. T., Soomro, M. A., & Ahmad, R. (2017). Impact of social media on body image and mental health of women. International Journal of Advanced Research, 5(5), 547-552.
Milkie, M. A. (1999). Social comparisons and the psychological consequences of the body image in the mass media. Social Psychology Quarterly, 62(3), 217-232.
ADVERTISEMENT
Saraswati, L. (2013). Seeing beauty, sensing race in transnational Indonesia. University of California Press.
Siddiqui, Z. (2021). Body positivity: A marketing tool or genuine movement? Journal of Gender Studies, 15(2), 123-135.
Thompson, J. K., & Keith, S. E. (2001). Body image and body dysmorphic disorder: A review of the literature. Journal of Social and Clinical Psychology, 20(3), 191-220.
Penulis: Haninda Shofia Diva Nurhaliza, Mahasiswa S1 Ilmu Hukum Universitas Airlangga