Konten dari Pengguna

Analisis Makhluk Superior (Naga) Legenda Selat Bali Dalam Kajian Semiotik

Hanna Hanifa Hira
Mahasiswa UIN Jakarta
25 Desember 2024 9:30 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hanna Hanifa Hira tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Cerita rakyat dalam suatu wilayah memiliki makna yang menandakan sebuah fenomena yang terjadi di masa lampau dan menjadi warisan budaya bagi masyarakatnya. Cerita rakyat mempunyai arti sebagai cerita yang terjadi di zaman dahulu yang kemudian masih ada di tengah masyarakat dan diwariskan secara lisan (Sugono, 2008).
ADVERTISEMENT
Cerita rakyat hadir di tengah-tengah kehidupan masyarakat dan diwariskan kepada setiap keturunannya dengan cara lisan dari satu generasi ke generasi lain agar tetap terjaga dan menjadi warisan kekayaan budaya mengenai asal-usul dari sebuah fenomena yang terjadi. Keberadaan cerita rakyat tersebut sudah terdengar akrab di kalangan masyarakat luas, karena di dalamnya terdapat pesan-pesan moral dan kearifan lokal suatu daerah yang dapat ditangkap dan dipelajari dalam melakukan suatu perbuatan. Tidak sedikit juga sebuah cerita rakyat memiliki mitos-mitos yang dipercaya oleh masyarakat daerahnya yang berkaitan dengan fenomena sejarah mengenai asal-usul terbentuknya suatu tempat, seperti dalam legenda Selat Bali.
Tidak semuanya masyarakat di Bali mengetahui legenda Selat Bali, karena diyakini cerita tersebut tidak hanya sebatas cerita rakyat, tetapi juga merupakan asal-usul terbentuknya Selat Bali. Legenda Selat bali merupakan salah satu cerita rakyat yang hidup di masyarakat Bali.
Gambar ini saya buat pribadi melalui aplikasi AI
Cerita rakyat tersebut menceritakan tokoh yang Bernama Manik Angkeran yang merupakan anak laki-laki dari seorang bapak bernama Sidhimantra. Sidhimantra seorang Brahmana yang sangat sakti dan baik hati. Suatu hari Ketika Malik Angkeran bermain di desa seberang, ia melihat pemuda sedang bermain judi sebung ayam (adu ayam). Permainan itu membuatnya tertarik karena tanpa susah payah bekerja bisa mendapatkan uang yang banyak dari judi adu ayam. Akhirnya Malik Angkeran mulai bermain Judi, sudah beberapa kali Malik Angkeran kalah bermain judi sampai tidak ada lagi harta nya. Banyak utang piutang yang belum dibayar, Malik Angkeran akhirnya mendatangi ayahnya untuk meminta bantuan. Ketika Malik Angkeran meminta uang ayah nya juga tidak punya uang dengan marah ayahnya Malik Angkeran memarahi nya untuk tidak main judi lagi.
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang ayah yang baik. Walaupun sudah memarahi anaknya, ayahnya tetap berusaha untuk mencarikan uang. Ayahnya berpuasa dan meminta pertolongan kepada Dewata. Ayahnya mendapat petunjuk untuk pergi ke kawah Gunung Agung, di sana akan bertemu naga yang bernama Naga Besukih. Naga ini memiliki keajaiban yang bisa mengelurkan emas dan intan saat melilitkan badannya. Lalu Ayahnya mengucapkan terima kasih kepada Naga Besukih sudah diberikan uang.
Dengan senang hati Malik menerima uang dari ayahnya, dan ayahnya berpesan agar tidak bermian judi lagi. Malik Angkeran tidak mendengarkan pesan dari ayahnya ia mengulaginya Kembali untuk main judi. Ketika kalah pertandingan Malik meminta uang lagi ke ayahnya, tapi ayahnya tidak kasih. Akhirnya Malik pergi ke Gunung Agung menemui Naga Basukih, setelah itu Naga Besukih memberikan nya uang. Tetapi dengan kerakusannya Malik muncul niat jahat untuk membunuh Naga Besukih. Naga Besukih mengerang kesakitan karena Malik memotong ekor Naga Besukih. Dengan kesakitan Naga Besukih, Malik Angkeran terbakar hingga tubuhnya menjadi abu.
ADVERTISEMENT
Gambar ini saya potret pribadi dari buku cerita rakyat dan sudah atas perizinan penerbit.
Kematian Malik Angkeran sampai di telinga ayahnya. Hal ini membuat kesedihan yang mendalam di keluarga Sidhimantra yaitu ayahnya. Ia pun segera menemui Naga Besukih dan memohon agar Naga Besukih bersedia menghidupkan kembali anaknya. Sidhimantra pun menyanggupi syarat Naga Besukih. Dengan kesaktiannya. Sidhimantra mengucapkan matra-matra. Dalam sekejap, ekor Naga Besukih telah Kembali seperti semula. Naga Besukih sangat Bahagia. Naga Basukih pun menempati janjinya. Dengan kesaktian nya ia menghidupkan Malik angkeran yang sudah menjadi abu. Setelah dihidupkan Kembali, Malik Angkeran pun meminta maaf kepada Naga Besukih dan ayahnya.
Semiotik Roland Barthes (1915-1980) mengembangkan dua tingkatan pertandaan yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Reverensi terhadap penanda yang ditandai sering disebut sebagai signifikasi tataran pertama (first order of signification), yaitu referensi denotasi, sedangkan konotasi disebut sebagai system penanda tataran kedua (second order signifying system). Denotasi adalah makna yang eksplisit, langsung, dan pasti. Sedangkan konotasi adalah makna tidak langsung dan tidak pasti artinya terbuka bagi segala kepentingan.
ADVERTISEMENT
Adapun makna denotasi (makna sebenarnya) dalam pembahasan ini yang menjadi tanda adalah kata Naga. Naga dalam KBBI, yakni ular besar. Menurut kepercayaan setempat sebagai Mahluk berapi, bura, gentala, umbang atau ular besar dan juga penunggu mata angin. Dalam kebudayaan barat, naga diidentikan dengan symbol kejahatan, cenderung merusak, dan dianggap sebagai musuh yang harus dihancurkan. Dalam hal ini kata Naga yang dimaknai denotasi sebagai Makluk ular besar yang jahat dan bisa mencelakaan orang-orang. Sedangkan Makna konotasi (bukan makna sebenarnya) kata naga dalam isi cerita legenda Selat Bali menggambarkan mahkluk yang bisa memberikan uang dan emas serta memiliki kekuatan super yang bisa mengelurkan api untuk melindungi dirinya dari serangan orang jahat. Jadi sifat dari Naga ini berkarakter baik, dan suka menolong orang.
ADVERTISEMENT
Mitos yang terdapat dalam legenda danau ini adalah naga yang bisa mendidik anaknya untuk memiliki karakter baik, dengan hal ini ayahnya memisahkan diri dari anaknya dengan tongkatnya, Sidhimantra membuat garis yang memisahkan ia dengan anaknya. Maksudnya agar si anak terus belajar tentang kehidupan maupun kesakitan dari Naga Basukih. Dari garis itu, tiba-tiba mengelurkan air semakin deras. Akhirnya, Gunung Agung dan sekitarnya terpisah oleh genangan air yang berubah menjadi sebuah selat. Selat itu dinamai dengan selat Bali. Selat ini memisahkan Pulau Bali (daerah di sekitar Gunung Agung) dengan pulau Jawa.