Konten dari Pengguna

Kesetaraan Gender: Perjuangan yang Tak Pernah Berhenti di Indonesia

Hanna Rhelaya Y R
Saat ini sebagai mahasiswa di Universitas Pembangunan Jaya, Bintaro
13 Oktober 2024 16:46 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hanna Rhelaya Y R tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kesetaraan gender bukanlah suatu hal instan yang bisa kita dapatkan dengan mudah dan harus terus diperjuangkan. Seperti yang pernah dilakukan oleh RA Kartini sejak tahun 1908. Menurut sejarah, Beliau menyuarakan kesetaraan gender dalam bidang pendidikan saat itu karena pada masa itu, pendidikan hanya diperbolehkan untuk para laki-laki, sedangkan tugas perempuan adalah mengabdi untuk urusan rumah dan keluarga saja. Bahkan Beliau yang sudah memiliki darah bangsawan pada masanya sehingga memiliki nama depan Raden Ajeng (RA) pun masih tidak diperbolehkan untuk sekolah oleh keluarganya sendiri dan masyarakat, betapa kejamnya masyarakat saat itu.
ADVERTISEMENT
Meskipun sulit tetapi para perempuan di Indonesia tidak pernah berhenti untuk memperjuangkan hak hidupnya sebagai manusia yang setara dengan manusia lainnya. Sehingga seiring berjalannya waktu, semakin banyak perempuan yang berani bersuara dan bertindak untuk menegakkan hak mereka. Negara pun perlahan menyadari dan menghargai kesetaraan gender yang selalu disuarakan. Seperti mulai ada Komisi Nasional Perempuan, serta Undang-undang yang sedikit membantu para perempuan untuk merasa aman tinggal di Indonesia seperti Undang-undang khusus tentang Hak Perempuan.
Lantas mengapa para perempuan di Indonesia hingga saat ini masih mengadakan perjuangan khusus untuk menyuarakan kesetaraan gender? Karena kita tetap perlu mengawal peraturan yang sudah dibuat dan kebijakan dari pemerintah, dan yang terpenting adalah karena nyatanya hingga saat ini, kita sebagai perempuan Indonesia masih menemukan banyak pelanggaran hak dan kesenjangan kesempatan yang dialami perempuan sehingga merugikan banyak perempuan, seperti kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, upah lebih rendah, hingga kurangnya akses ke pendidikan dan layanan kesehatan memadai menurut artikel amnesty.id pada 12 Maret 2021. Saat ini perempuan Indonesia masih merasakan diskriminasi yang sengaja dibuat oleh beberapa oknum dalam masyarakat. Beberapa oknum yang merasa terancam dengan adanya gerakan kesetaraan gender ini, karena keserakahan, ego yang tinggi dan kurangnya rasa simpati kepada sesama manusia.
ADVERTISEMENT
Padahal perempuan tidak ingin menguasai seluruh dunia, kita hanya membutuhkan kesetaraan hak dan rasa aman dalam hidup ini tanpa dibedakan menurut gender yang ada.
Seperti dalam sebuah percakapan dalam program Podcast Face To Face yang tayang di kanal YouTube The Leonardo’s yang dibawakan langsung oleh Leonardo Arya atau yang lebih familiar disebut Onad, dan bintang tamu yang diundang yaitu Cinta Laura Khiel, seorang public figure di Indonesia yang selalu menggaungkan isu-isu kepedulian sosial. Cinta berkata “Kesetaraan gender, artinya bukan laki-laki dan perempuan setara dari segi fisik atau lain sebagainya. Kesetaraan Gender adalah perjuangan sebagai perempuan untuk mendapatkan HAK yang sama seperti laki-laki, dan itu sangat make sense. Perempuan adalah manusia, laki-laki adalah manusia. So, sebagai manusia kita seharusnya di mata hukum, di mata masyarakat mempunyai HAK yang sama.”
Kesetaraan gender harus selalu diperjuangkan. Sumber : Hanna Rhelaya Y. R
Perjuangan kesetaraan gender bagi perempuan rasanya tidak pernah usai, tetapi jika kita konsisten menyuarakan hak kita hasilnya pasti akan terlihat. Untuk itu, kita harus selalu menyemangati diri kita sendiri dan para perempuan di luar sana seperti yang dilakukan oleh para public figure maupun influencer wanita seperti Cinta Laura Khiel, Maudy Ayunda, Nazwa Shihab dan masih banyak lagi, yang tidak pernah lelah menyuarakan hak mereka sebagai perempuan sekaligus mewakili suara kita sebagai perempuan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Hanna Rhelaya Y. R, mahasiswa di Universitas Pembangunan Jaya.
Referensi :