Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Pengaruh Kematangan pada Proses Belajar menurut Teori Behavioristik
28 Oktober 2024 12:31 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Hanna Zahra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kematangan adalah kondisi kesiapan, baik fisik maupun mental, yang dicapai seseorang melalui proses pertumbuhan dan perkembangan. Kematangan ini memungkinkan individu untuk menjalani berbagai aktivitas dengan lebih efektif, termasuk dalam hal pembelajaran. Kematangan memiliki beberapa ciri utama, antara lain:
1. Fokus perhatian anak: Anak yang telah matang secara mental mampu memberikan perhatian penuh pada suatu aktivitas atau tugas.
2. Durasi perhatian: Semakin matang seorang anak, semakin lama ia dapat mempertahankan perhatian pada tugas yang sedang dikerjakan.
3. Kemajuan dalam pembelajaran: Seiring dengan kematangan, anak menunjukkan perkembangan yang signifikan saat diberikan pembelajaran atau pelatihan tertentu.
Teori-Teori Belajar
Dalam dunia pendidikan, teori belajar menjadi landasan dalam memahami bagaimana individu belajar dan berkembang. Dua teori utama yang akan dibahas adalah teori belajar behavioristik dan teori belajar humanistik.
1. Teori Belajar Behavioristik
Teori belajar behavioristik menekankan bahwa belajar terjadi jika ada perubahan yang terlihat dalam perilaku seseorang. Teori ini mengamati interaksi antara stimulus (rangsangan) dan respon (reaksi terhadap rangsangan tersebut). Behaviorisme menyoroti pembelajaran sebagai proses mekanis yang dapat diukur, dengan dua pendekatan utama yaitu kondisioning dan connectionism.
Teori Connectionism (Thorndike)
Thorndike menyatakan bahwa belajar merupakan proses membentuk koneksi antara stimulus dan respon melalui uji coba dan kesalahan (trial-and-error learning). Seseorang belajar dengan mengulangi tindakan yang menghasilkan hasil positif dan menghindari tindakan yang menyebabkan hasil negatif.
Teori Kondisioning (Pembiasaan)
Ivan Pavlov: Mengembangkan teori kondisioning klasik melalui eksperimen pada anjing yang menghasilkan air liur sebagai respons terhadap suara bel setelah dihubungkan dengan pemberian makanan. Ini menunjukkan bahwa tingkah laku bisa diubah dengan pembiasaan.
John B. Watson: Meneliti refleks dan respons emosional manusia, seperti rasa takut, cinta, dan marah. Watson percaya bahwa semua perilaku, termasuk emosi dasar, bisa dikondisikan.
Guthrie: Menawarkan beberapa metode untuk mengubah perilaku, antara lain:
1. Metode reaksi berlawanan: Menggantikan perilaku lama dengan perilaku baru yang berlawanan.
2. Metode kebosanan: Mengurangi perilaku dengan membuat individu jenuh melakukannya.
3. Metode perubahan lingkungan: Mengubah situasi eksternal untuk menghilangkan stimulus yang menyebabkan perilaku.
2. Teori Belajar Humanistik
Teori belajar humanistik menempatkan manusia sebagai pusat pembelajaran, dengan fokus pada pemenuhan kebutuhan individu dan pencapaian potensi diri. Pendekatan ini lebih memanusiakan proses pembelajaran dan menekankan pentingnya peranan peserta didik dalam menentukan arah pembelajarannya. Dua tokoh utama dalam teori ini adalah Abraham Maslow dan Carl Rogers.
Teori Kebutuhan (Abraham Maslow)
Maslow mengembangkan hierarki kebutuhan manusia, yang menggambarkan bahwa seseorang harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar terlebih dahulu sebelum mencapai tingkat pengembangan diri yang lebih tinggi. Kebutuhan tersebut adalah:
1. Kebutuhan fisiologis (makan, minum, tidur)
2. Kebutuhan keamanan (rasa aman dan terlindungi)
3. Kebutuhan cinta dan rasa memiliki (interaksi sosial dan kasih sayang)
4. Kebutuhan harga diri (pengakuan dan penghargaan)
5. Kebutuhan aktualisasi diri (mencapai potensi penuh)
Teori Pembelajaran Berpusat pada Peserta Didik (Carl Rogers)
Rogers menekankan bahwa setiap individu memiliki potensi untuk belajar dan berkembang jika diberikan lingkungan yang mendukung. Menurut Rogers, pembelajaran yang efektif terjadi ketika peserta didik merasa dihargai, memiliki otonomi, dan diberikan kebebasan untuk mengeksplorasi. Dengan demikian, peran guru lebih sebagai fasilitator yang membantu siswa mencapai tujuan belajarnya sendiri, bukan sekadar pemberi informasi.
Tambahan Konsep:
Teori belajar humanistik memiliki pandangan holistik terhadap individu, yaitu bahwa pembelajaran tidak hanya berfokus pada aspek kognitif, tetapi juga pada aspek emosional dan sosial. Pendekatan ini sangat penting dalam pendidikan modern, di mana pembelajaran dianggap sebagai proses yang melibatkan seluruh diri manusia—pikiran, emosi, dan hubungan dengan orang lain. Dalam lingkungan pendidikan yang humanistik, peserta didik tidak hanya belajar pengetahuan atau keterampilan, tetapi juga bagaimana memahami diri mereka sendiri, mengembangkan rasa empati, dan memperkuat hubungan interpersonal.
Sementara itu, teori behavioristik lebih cocok diterapkan pada pembelajaran yang mengandalkan repetisi dan pembiasaan, seperti dalam pembelajaran bahasa atau keterampilan motorik dasar. Namun, pendekatan ini sering dianggap kurang fleksibel dalam memahami aspek emosional dan motivasional yang kompleks dari proses belajar.
Dengan demikian, baik teori behavioristik maupun humanistik memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Kedua teori tersebut bisa saling melengkapi tergantung pada konteks pembelajaran dan tujuan pendidikan yang ingin dicapai.
ADVERTISEMENT