Konten dari Pengguna

Mewarisi Luka: Mengungkap Hubungan antara Pengasuhan Orang Tua dan Trauma

Hanum Muti Salshabila
Saya adalah mahasiswa aktif Universitas Muhammadiyah Jakarta.
29 Januari 2025 11:09 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hanum Muti Salshabila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sumber gambar : Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber gambar : Dokumen Pribadi
Pendidikan dimulai sejak masih dalam kandungan hingga masa tua, orang tua memegang kekuasaan penuh atas pendidikan bagi anak-anaknya sebelum memasuki ke jenjang sekolah.
ADVERTISEMENT
Orang tua harus bisa mendidik anaknya agar menjadi anak yang berkarakter dan memiliki perilaku baik sopan dan santun. Akan tetapi setiap orang tua jelas terlahir dari latar belakang yang berbeda-beda, dengan generasi yang berbeda-beda pula.

PENGASUHAN ORANG TUA

Anak yang lahir dari orang tua yang memiliki pola asuh otoriter akan memiliki pengaruh negatif. Pola asuh otoriter merupakan pola asuh yang mendasarkan pada aturan yang berlaku dan memaksa anak untuk bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan keinginan orang tua. Anak dituntut untuk selalu menuruti apa keinginan orang tua. Pola asuh otoriter yaitu suatu perilaku membatasi dan menghukum yang menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orang tua serta menghormati pekerjaan dan usaha orang tua (Santrock, 2007:167).
ADVERTISEMENT
Anak yang dibesarkan dalam sistem pola asuh otoriter sering kali mengalami dampak yang mendalam, seperti trauma emosional dan psikologis. Keterbatasan dalam berkomunikasi, ketakutan terhadap hukuman, dan kekurangan kasih sayang dapat membentuk perasaan rendah diri dan ketidakmampuan untuk mengungkapkan perasaan dengan bebas. Namun, meskipun tumbuh dalam situasi yang penuh tekanan, anak tersebut seringkali belajar untuk mengenali kebutuhan emosional dan psikologis yang tak terpenuhi dari pola asuh tersebut.
Ketika mereka menjadi orang tua, kesadaran akan trauma ini bisa mendorong mereka untuk memberikan perlakuan yang sangat berbeda kepada anak-anak mereka. Namun, dalam usaha untuk melindungi anak-anak dari pengalaman yang sama, sering kali mereka malah terjebak dalam kebiasaan yang berlebihan, seperti memanjakan anak, mengabaikan pentingnya waktu berkualitas bersama, atau melabeli anak dengan narasi-narasi negatif.
ADVERTISEMENT
Terkadang, rasa takut akan kekeliruan yang sama membuat mereka menjadi terlalu melindungi atau bahkan memaksakan tuntutan yang berat kepada anak, tanpa menyadari bahwa ini juga bisa membentuk ketegangan dan stres yang serupa. Selain itu, hal tersebut juga dapat menimbulkan karakteristik anak yang cenderung berpotensi membentuk Generasi-Z yang sering disebut dengan istilah Strawberry Generation.

TRAUMA POLA ASUH

Dari pengalaman pola asuh yang dirasakan Generasi Z, sebagian mereka memiliki prinsip untuk mengakhiri sebuah runtutan "Bad Habits" dari garis keturunannya, salah satunya seperti warisan mengenai pola asuh yang menimbulkan trauma. Sebagian memilih untuk Childfree, untuk menghindari lingkaran setan yang diwarisi oleh keluarganya, yaitu pengalaman traumatis seperti kekerasan dalam rumah tangga, pola asuh yang otoriter, atau keluarga yang broken home dapat mempengaruhi keputusan seseorang untuk memilih hidup tanpa anak. Sehingga, memilih Childfree menjadi cara agar dapat membangun kehidupan yang lebih baik dan bebas dari bayang-bayang trauma masa lalu.
ADVERTISEMENT
Pola asuh orang tua dapat memberikan dampak yang mendalam bagi anak, termasuk trauma emosional dan psikologis, serta kesulitan dalam mengekspresikan diri. Pengalaman ini sering kali membentuk rasa rendah diri dan ketidakmampuan anak untuk berkomunikasi dengan bebas. Meskipun anak-anak yang tumbuh dalam pola asuh otoriter mungkin berusaha menghindari hal tersebut saat mereka menjadi orang tua, terkadang mereka terjebak dalam pola pengasuhan yang berlebihan atau terlalu melindungi, yang dapat menimbulkan dampak stres dan ketegangan serupa.