Kebangkitan Media Sosial bak Pedang Bermata Dua

M Khusnul Khuluq
Mahasiswa Prodi Hukum Islam Program Doktor, Universitas Islam Indonesia
Konten dari Pengguna
30 Januari 2023 10:12 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Khusnul Khuluq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Picture by www.shutterstock.com
zoom-in-whitePerbesar
Picture by www.shutterstock.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Era media sosial membuka tradisi baru bagi kehidupan. Komunikasi dan interaksi bisa dilakukan dengan sangat mudah dan cepat. Kondisi itu memungkinkan bagi seseorang untuk berbagi tiap detail kehidupan untuk diperbincangkan.
ADVERTISEMENT
Suatu komunitas bisa berbincang ke sana-sini meski berada di belahan bumi yang berbeda. Forum-forum dalam jaringan menjamur, meski para anggotanya belum pernah bertatap muka, secara langsung.
Saat ini media sosial banyak sekali jenisnya, mulai dari Facebook, Twitter, Instagram, WhatsApp, Pinterest, YouTube, dan masih banyak lagi.
Bisa juga berbentuk komunitas online, seperti kaskus.co.id, Brainly.co.id, Bersosial.com, Indowebster.com, dan lainnya. Web tersebut memungkinkan para penggunanya dengan sangat mudah berbagi informasi.
Ilustrasi perempuan sedang menulis blog Foto: Shutter Stock
Bisa juga berbentuk situs blog seperti Wordpress.com, Maxmanroe.com, Sugeng.id, Juragancipir.com, dan seterusnya. Saya masih sering menggunakan jenis ini untuk berbagi termasuk juga di situs ini.
Bagi saya, ciri paling umum dari kultur media sosial adalah kecepatan dan kebebasan informasi dan keterhubungan. Sehingga memungkinkan individu untuk berinteraksi dengan cepat, baik bilateral maupun multilateral.
ADVERTISEMENT
Apa dampak dari kultur semacam ini? Di satu sisi, kecepatan dan kebebasan informasi adalah kultur yang sangat baik. Di mana gelombang informasi bisa mengalir cepat, deras, dan bebas.

Media Sosial bak Pedang Bermata Dua

Ilustrasi mendapatkan berita duka dari media sosial. Foto: fizkes/Shutterstock
Namun, dalam kondisi semacam itu, kita harus punya semacam filter untuk menguji keabsahan suatu informasi. Jika tidak, kita akan tenggelam dalam gelombang pasang informasi tersebut.
Kemudian, kebebasan informasi bisa dimanfaatkan untuk menggiring opini publik ke arah tertentu. Yang melakukan bisa siapa saja. Terutama jika punya kepentingan.
Dalam kondisi semacam itu selain kemampuan menguji validitas informasi, kita juga memerlukan daya kritis. Daya kritis itu diperlukan untuk membaca situasi untuk memahami apa yang sebetulnya terjadi.
Kemampuan semacam itu mutlak diperlukan agar kita tidak mudah hanyut dalam penggiringan opini publik dan supaya kita mampu mengerti intrik-intrik yang terselip di balik sebuah isu.
com-Ilustrasi seorang wanita sedang membuat list pengeluarannya Foto: Shutterstock
Kemudian, kebangkitan era media sosial pelan-pelan menggiring kita untuk sibuk dalam pikiran. Kita banyak menemukan orang-orang yang betah berlama-lama di depan layar smartphone.
ADVERTISEMENT
Mereka menikmati aliran deras informasi melalui smartphone di genggaman tangan itu, informasi dari berbagai belahan dunia dapat diakses hanya dengan satu jari. Bisa diibaratkan hal tersebut seperti dunia dalam genggaman.
Apa dampak kultur semacam itu? Cukup berisiko terhanyut dalam layar smartphone. Tenggelam dalam arus media sosial. Tenggelam dalam dunia maya. Waktu dan pikiran banyak tersedot untuk itu.
Karena itu, meski informasi dari berbagai belahan dunia dalam genggaman, kita tetap harus bijak dalam mengakses. Harus punya prioritas dalam mengakses informasi dan juga dalam merespons.
Ilustrasi media sosial. Foto: Shutterstock
Mungkin, itu salah satu tafsiran kalimat “bijak dalam bermedia sosial.” Kita harus punya prioritas, proporsional, dan tidak reaktif terhadap informasi. Itu beberapa kata kunci penting.
Kemudian, apakah kebangkitan media sosial berpengaruh negatif terhadap tradisi literasi? Mungkin iya. Sangat mungkin kultur media sosial berpengaruh negatif terhadap tradisi literasi.
ADVERTISEMENT
Karena dalam kultur era media sosial, informasi yang mengalir kerap kali sepotong-sepotong. Berupa serpihan-serpihan informasi yang tidak tuntas. Itu berbanding terbalik dengan kultur literasi. Di mana suatu ide harus dipahami secara tuntas, dan mengakar. Tidak cukup jika hanya sepotong-sepotong.
Ilustrasi bermain sosial media. Foto: Shutterstock
Karena itu, jika tradisi literasi tidak diperkuat, mungkin akan hanyut dalam gelombang pasang ini. Akibatnya, tradisi literasi melemah seiring bangkitnya era media sosial.
Lalu, apakah kebangkitan media sosial harus dibendung? Bagi saya, kebangkitan media sosial itu seperti pedang bermata dua. Bisa sangat bermanfaat. Bisa juga merugikan. Tergantung bagaimana menggunakan.
Jadi, kita mesti punya cara bagaimana supaya kebangkitan era media sosial itu berdampak positif bagi kita. Jangan sampai justru berdampak tidak baik. Dan pada akhirnya, kita yang menentukan. Apakah kita akan memilih hanyut dalam gelombang pasang informasi atau memanfaatkan itu untuk kemajuan.
ADVERTISEMENT