Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Kepercayaan Paling Universal
31 Januari 2023 5:32 WIB
Tulisan dari M Khusnul Khuluq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hari ini, orang-orang dari berbagai belahan planet ini tidak sepakat dalam banyak hal. Apakah dalam soal pandangan politik, agama, tradisi, prinsip hidup, dan banyak hal lain.
ADVERTISEMENT
Namun, mereka semua sepakat dalam soal satu hal. Yaitu dalam hal uang. Seorang Muslim dan Kristen mungkin akan berdebat sengit soal tuhan yang mana yang harus disembah.
Begitu juga soal pandangan politik. Seorang penganut khilafah dan politikus liberal bisa jadi akan saling membuang muka ketika mereka bertemu. Karena perbedaan pandangan politik.
Begitu juga dengan para penganut pasar bebas. Mungkin tidak akan sejalan dengan para penasehat kerajaan-kerajaan pra modern jika mereka bertemu. Banyak hal, yang tidak bisa dipertemukan.
Namun, mereka semua hari ini, sepakat dengan satu hal. Yaitu dalam hal uang. Mereka sepakat bahwa uang diinginkan semua orang. Mereka sepakat bahwa uang bisa ditukar dengan banyak hal.
Pertanyaannya, mengapa kertas berwarna yang tak berharga itu bisa diinginkan banyak orang? Mengapa potongan kertas yang bahkan tak cukup membuat badan hangat pada musim dingin itu diinginkan?
ADVERTISEMENT
Sistem moneter dunia telah melalui perjalanan yang panjang dan melelahkan. Mulai dari barter antara sapi dengan kerang kuwuk hingga transaksi elektronik berbasis data hari ini.
Pada masa pemburu pengumpul, manusia bahkan tak perlu berinteraksi dengan orang-orang di luar kelompoknya. Mereka cukup mampu menghidupi diri mereka sendiri.
Pada masa pemburu pengumpul, satu kelompok punya keterampilan yang cukup untuk menyergap daging segar di padang rumput. Atau mengumpulkan biji-bijian di hutan rimba untuk santapan makan malam mereka.
Namun, penyatuan global membuat manusia harus menemukan cara untuk saling bertukar kebutuhan. Kebutuhan semakin kompleks, dan cara satu-satunya adalah dengan saling tukar.
Pasca revolusi agrikultural, kehidupan menetap menjadi semakin digandrungi. Dan masing-masing wilayah memproduksi barang tertentu untuk kemudian ditukar pada yang lain.
ADVERTISEMENT
Tapi, seiring waktu mereka menyadari, bahwa barter adalah sistem yang sangat merepotkan. Jika menginginkan sesuatu, kita harus menemukan orang yang membutuhkan barang kita untuk ditukar.
Jika menginginkan sepatu, seorang pemilik gandum harus menenteng setengah karung gandum dan menemukan pembuat sepatu untuk kemudian menukarnya.
Dan betapa sialnya, jika ternyata tukang sepatu itu tidak menginginkan gandum. Karena kualitas gandum yang tidak terlalu baik. Atau karena tukang sepatu menginginkan benda lain.
Maka, pemilik gandum harus berkeliling lebih jauh untuk menemukan pembuat sepatu yang menginginkan jenis gandum yang dia miliki. Itu pun jika sepatu yang mereka buat sesuai dengan keinginan pemilik gandum.
Problem seperti itu, membuat kita semua harus berpikir untuk menemukan barang yang disepakati sebagai alat tukar bersama. Benda yang semua orang mau menukarnya. Untuk kemudian ditukar dengan barang lain.
ADVERTISEMENT
Lalu manusia mulai berpikir untuk menggunakan kerang kuwuk di satu tempat sebagai alat tukar. Manik-manik di tempat lain. Kulit binatang, gulungan kain, garam, dan seterusnya. Cara seperti ini cukup efektif untuk menggerakkan ekonomi.
Paling tidak, jika satu wilayah sepakat untuk menggunakan kerang untuk ditukar degan barang-barang tertentu. Lalu, dia percaya bahwa orang lain juga mau menukar barangnya dengan kerang kuwuk itu.
Tapi. Bagaimana jika pendatang dari wilayah yang jauh sudah terlanjur membawa beberapa karung kerang kuwuk. Namun, penduduk pribumi tidak menginginkan? Itu juga jadi masalah.
Maka, harus ada alat tukar yang dapat diterima lebih luas. Selain tidak diterima di tempat lain. Kerang kukuw, manik-manik, kulit binatang, gulungan kain, garam, juga susah disimpan.
ADVERTISEMENT
Butuh gudang khusus untuk menjaga barang-barang itu agar tidak rusak. Kita bisa bayangkan, beratap repot para konglomerat pada masa itu, bahkan hanya sekedar untuk menyimpan kekayaan mereka.
Karena itu, selain tidak efektif sebagai alat transaksi, harus ada benda yang dapat diterima lebih luas sebagai alat tukar. Emas misalnya. Benda yang bahkan tidak bisa dimakan.
Supaya tidak susah memastikan berat dan kadar suatu emas, maka dicetaklah emas itu dalam bentuk kepingan. Yang artinya, satu keping koin emas dengan berat tertentu mewakili nilai tertentu.
Karena koin itu dicetak oleh kekuasaan yang punya otoritas. Maka, satu sisi koin itu bergambar wajah seorang raja yang sedang berkuasa. Dan di satu sisi yang lain adalah stempel kerajaan. Yang artinya, uang juga dijamin oleh struktur politik.
ADVERTISEMENT
Gambar wajah raja dan stempel itu mewakili sebuah pesan. Bahwa kami menjamin, di wilayah kami ini, satu keping koin ini bisa dipercaya sebagai alat transaksi. Dan barang siapa memalsukan, akan dihukum.
Sialnya, kemudian semua orang percaya dengan omong kosong itu. Orang-orang saling percaya menggunakan keping emas itu karena sama-sama percaya degan omong kosong raja tentang keping emas itu.
Jadi, uang bukanlah koin atau lembaran berstempel kekuasaan. Tapi, esensi uang berada dalam imajinasi bersama. Yakni berupa kesepakatan bersama untuk percaya pada omong kosong si raja terhadap kepingan logam yang tak bahkan bisa dimakan.
Bualan itu lebih parah lagi ketika cerita soal uang kertas mulai dikisahkan. Di mana uang kertas tidak punya nilai instrinsik sama sekali. Kecuali secarik kertas berlogo negara, tandatangan menteri, dan coretan angka.
ADVERTISEMENT
Orang yang tidak cukup mengerti tentang sistem moneter modern, akan bekerja jungkir balik, siang malam, demi beberapa lebar kertas itu. Yang bahkan tidak bisa menutupi badan, apa lagi mengenyangkan anak mereka.
Kecuali komunitas mereka percaya, bahwa beberapa lembaran berwarna itu bisa ditukar dengan kebutuhan mereka kepada para pedagang di sekitar mereka.
Hari ini, uang juga telah mengalami evolusi. Uang koin dan uang kertas semakin langka. Hari ini, yang kita sebut dengan uang adalah kumpulan angka-angka dalam server para bangkir.
Dalam transaksi, penggunaan uang kertas, apalagi koin mulai surut. Dan beralih kepada transfer data dari server satu bangkir ke bangkir lain. Orang-orang lebih memilih untuk mentransfer angka-angka dari hand phone pintar ke rekening penjual.
ADVERTISEMENT
Itu lebih mudah. Dari pada harus menghitung lembar demi lembar dan memperhatikan angka yang tertera di tiap lembar. Selain itu, lembaran kertas yang berasal dari tangan-tangan orang sebelumnya tidak bisa dijamin steril.
Hari-hari ini, lebih dar 90 persen uang yang beredar di permukaan planet ini, hanya ada dalam server komputer para bangkir. Tidak ada wujud nyatanya. Kecuali kurang dari 10 persen.
Begitu pula transaksi. Transaksi dilakukan cukup dengan transfer data elektronik dari satu server ke server lain. Melalui perangkat pembeli ke perangkat penjual.
Bahkan, jika kita bongkar server-server itu, kita tidak menemukan kepingang koin apapun. Jadi, kekayaan disimpan dalam bentuk data elektronik.
Pada era sekarang ini, tampak aneh jika orang-orang berkeliling ke pusat pembelanjaan sambil memanggul satu karung kerang kuwuk untuk ditukar dengan berbagai fashion, atau mainan anak-anak.
ADVERTISEMENT
Mereka lebih memilih membawa ponsel pintar yang bisa mengakses data elektronik yang mereka simpan di server-server para bangkir. Dan sialnya, para penjual itu bersedia menukar dagangan merek, dengan angka-angka elektronik itu.
Jadi, salah satu ciri uang adalah kemampuannya untuk mengkonversi apa saja dan diterima secara universal. Apapun bentuknya. Meski bentuknya lembaran kertas atau hanya data-data elektronik.
Itu bisa terjadi karena orang-orang percaya dengan cerita tentang uang. Bahwa data-data elektronik itu bisa ditukar dengan apa saja. Meski bentuknya hanya angka-angka dalam server komputer.
Jadi, apa yang kita sebut sebagai uang bukanlah realitas material. Dia adalah realitas psikologis. Lebih jujur lagi, adalah realitas imajinatif. Uang bekerja karena orang-orang percaya pada omong kosong imajinasi kolektif mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Kepercayaan kolektif itu sangat berguna. Terutama untuk memangkas pekerjaan-pekerjaan yang sangat melelahkan seperti mengangkut kerang kuwuk atau menyiapkan gudang untuk menyimpan kulit binatang. Dalam sistem ekonomi barter. Itu kemajuan yang luar biasa.
Hari ini, hampir semua orang di planet ini percaya dengan cerita omong kosong tentang uang yang imajinatif itu. Sehingga, dapat dikatakan bahwa uang adalah bentuk toleransi palung universal. Karena dipercayai secara universal.
Seorang Muslim dan seorang Kristen, mungkin tidak sepaham dalam soal siapa tuhan yang harusnya mereka sembah. Namun, mereka bisa sepakat soal uang. Buktinya, mereka dapat melakukan jual beli. Gembong teroris, mungkin tidak akan sepaham dengan para aktifis perdamaian. Tapi, mereka bisa sepakat dalam soal uang.
Seorang ateis, dengan seorang religius dari kalangan monoteisme, mungkin akan berdebat dengan sengit dalam soal penting atau tidaknya agama. Tapi, mereka tidak akan berdebat soal kepercayaan tentang uang.
ADVERTISEMENT
Memang, banyak hal yang tidak bisa dikonversi dengan uang. Misalnya tentang kehormatan, kasih sayang, dan seterusnya. Tapi, pelan-pelan, uang menerobos sekat-sekat itu. Banyak orang mulai dapat membeli kehormatan.
Dalam keadaan terpepet, bukan tidak mungkin orang tua menjual anaknya sebagai budak. Seorang perempuan paruh baya, juga dapat menjual kehormatan demi uang. Para tokoh adat, juga mulai menjual tanah-tanah adat pada orang asing.
Jika semua entitas punya sisi gelap. Maka, itu adalah sisi gelap dari imajinasi tentang uang. Para filsuf, pemikir, dan orang-orang sufi sering mengingatkan kita, bahwa uang adalah sumber kejahatan.
Itu bisa dimaklumi. Bertapa banyak kejahatan yang dimulai dan berujung pada uang. Mulai dari korupsi, pembunuhan, perampokan, begal, dan seterusnya. Perkara-perkara semacam itu sering kali karena motif uang.
ADVERTISEMENT
Jadi, uang adalah kepercayaan tentang omong kosong imajinatif. Apapun bentuknya. Apakah itu kerang, manik-manik, kepingan emas, kertas berwarna, atau data angka-angka dalam server para bankir.
Hari ini, kepercayaan itu menjadi kepercayaan paling universal di planet ini. Melebih agama atau ideologi apapun. Sebagai sebuah kepercayaan, dia punya sisi cemerlang, namun juga punya sisi gelap. []