Konten dari Pengguna

Urgensi Kritisisme dalam Studi Hukum

M Khusnul Khuluq
Mahasiswa Prodi Hukum Islam Program Doktor, Universitas Islam Indonesia
2 Maret 2023 19:56 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Khusnul Khuluq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi hukum. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hukum. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Malam itu, saya mengikuti kelas inspirasi dalam sebuah acara. Kebetulan, yang menjadi pembicara malam dalam kelas itu adalah Rocky Gerung. Sudah dapat ditebak ke mana arah pembicaraannya. Hampir empat jam saya mengikuti kelas situ. Saya menunggu apa yang baru dari Rocky.
ADVERTISEMENT
Para peserta kelas itu adalah para praktisi hukum. Sehari-hari mereka bergelut dengan persoalan hukum. Dalam kelas itu, Rocky menjelaskan persoalan hukum dengan pendekatan kritis. Yaitu perlunya kritisisme dalam studi hukum. Saya dapat melihat bahwa itu mengaduk-aduk pikiran para peserta.
Sudah maklum, bahwa gaya bicara satu orang ini lugas, kritis dan pastinya filosofis. Bagi yang kurang akrab dengan filsafat, itu akan terasa sedikit berat. Tapi, bagi penggemar filsafat, itu justru menarik. Banyak hal yang Rocky sampaikan di kelas itu.
Beberapa di antaranya yang sempat saya garis bawahi adalah pentingnya pendekatan kritis. Secara akademik, dalam studi hukum, pendekatan itu disebut the critical legal studies. Meski dia tidak menyebutkan kata itu. Ini adalah pembacaan terhadap hukum dengan pendekatan kritis.
ADVERTISEMENT
The critical legal studies adalah suatu aliran hukum yang dipengaruhi oleh filsafat posmodern seperti Jacques Derrida, Michel Foucault, dan seterusnya. Juga neo marxisme. Metode yang digunakan tentu adalah metode-metode filsafat seperti dekonstruksi dan semacamnya.
Di kelas itu, Rocky sempat menyinggung tentang hermeneutics of suspicion. Yaitu pembacaan hukum dengan menempatkan kecurigaan. Bahwa hukum bukan semata bunyi pasal, namun ada hal-hal tersembunyi di balik teks hukum. Ini adalah aplikasi dari pendekatan kritis.
Kemudian, sempat disinggung juga soal pendekatan feminis. Ini adalah pembacaan hukum dengan pendekatan feminisme. Ada yang menempatkan pendekatan feminisme ini adalah varian dari the critical legal studies, karena sama-sama menggunakan kritisisme sebagai perangkatnya.
Kedua, pendekatan itu sama-sama menempatkan kritisisme dalam membaca hukum. Dari situ, kita dapat mengetahui persoalan di balik teks hukum. Misalnya, bahwa suatu hukum digunakan sebagai alat untuk meneguhkan kekuasaan. Hukum digunakan untuk kepentingan para pemodal. Begitu juga hukum digunakan untuk menindas kelompok tertentu dan seterusnya.
ADVERTISEMENT
Pendekatan kritisisme dalam membaca hukum menghasilkan kesimpulan-kesimpulan semacam itu. Ini sangat berbeda dengan pembacaan hukum secara normatif. Yaitu dengan cukup memahami norma yang ada dalam sebuah regulasi. Pembacaan hukum secara normatif mungkin tidak banyak ditemukan masalah. Namun dengan pendekatan kritisisme, mungkin akan ditemukan banyak masalah dalam sebuah regulasi.
Kemudian, salah satu yang Rocky sampaikan juga dalam kelas itu adalah “negara yang paling beradab adalah negara yang tidak ada hukum.” Saya sepakat dengan itu. Bahwa semakin banyak hukum yang dibuat, apa lagi jika hukumnya tendensius, maka akan semakin menurunkan kualitas demokrasi sebuah negara.
Dengan tidak adanya hukum yang membatasi, seorang warga negara bisa bebas berdiskusi tentang suatu isu dengan kepala negara. Termasuk juga memberi kritik jika kebijakan yang dibuat ngawur. Namun, jika dibatasi dengan hukum, maka percakapan semacam itu tidak dapat dilakukan. Ini ilustrasi bahwa hukum justru membuat kualitas demokrasi menurun.
ADVERTISEMENT
Dari kelas yang hampir empat jam lamanya itu, sebetulnya bermuara pada satu hal. Bahwa peradaban hukum kita justru semakin mundur. Gejala-gejala itu tampak misalnya dengan adanya KUHP baru yang dalam beberapa isu tidak sejalan dengan semangat demokrasi. Atau regulasi tentang cipta kerja yang tidak relevan dengan keadilan sosial. Dan regulasi-regulasi semacam itu.
Jujur, saya lebih senang membaca hukum dalam perspektif the critical legal studies. Yaitu perspektif kritis. Selain menarik, itu juga memungkinkan kita untuk mengungkap problem hukum secara mendalam. Saya berharap para penstudi hukum juga mulai membaca hukum secara kritis dari pada normatif.
Saya berharap para praktisi hukum mulai menggunakan perspektif kritis ini dalam membaca hukum. Begitu juga para akademisi. Berbagai fakultas hukum di Universitas bukan hanya mempelajari hukum sebagai norma. Namun juga harus mampu membaca intrik di balik hukum. Barang dengan membudayakan tradisi kritisisme dalam berhukum, kita mampu memajukan peradaban hukum kita. []
ADVERTISEMENT