Konten dari Pengguna

Stigma dalam Kehidupan Pribadi

Hamida Hanum
Mahasiswa D3 penerbitan (jurnalistik) di Politeknik Negeri Jakarta.
9 Juli 2024 7:47 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hamida Hanum tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
label atau simbol | freerangestock.com
zoom-in-whitePerbesar
label atau simbol | freerangestock.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam perhelatan Pilkada DKI Jakarta 2017, Ahok mengalami kekalahan yang penuh dengan hiruk-pikuk politik dan sosial. Kekalahan ini tidak hanya mempengaruhi posisinya sebagai calon gubernur, tetapi juga menyentuh dimensi yang lebih dalam dari masyarakat kita: stigma. Dalam refleksi ini, saya ingin menggali lebih jauh tentang bagaimana stigma dapat membentuk, membatasi, dan bahkan menghancurkan hidup seseorang, termasuk dalam konteks pengalaman pribadi saya.
ADVERTISEMENT
Stigma adalah label yang ditempelkan pada seseorang atau kelompok, seringkali berdasarkan prasangka dan misinformasi. Dalam kasus Ahok, stigma "penista agama" menjadi beban yang tak terelakkan. Fitnah yang terus menerus diulang-ulang mengubah persepsi publik hingga kebenaran menjadi kabur. Sebagai seorang yang pernah merasakan pahitnya stigma, saya dapat memahami bagaimana dampak psikologis dan sosial dari stigma ini.
Beberapa tahun lalu, saya mengalami situasi yang membuat saya merasa terasing dari lingkungan saya sendiri. Sebuah rumor menyebar cepat, menuduh saya melakukan sesuatu yang tidak pernah saya lakukan. Seperti halnya Ahok, saya merasakan bagaimana fitnah dapat mempengaruhi pandangan orang lain terhadap saya. Teman-teman mulai menjauh, dan percakapan sehari-hari penuh dengan bisik-bisik yang meragukan integritas saya. Dalam situasi ini, stigma menjadi alat yang ampuh untuk menghancurkan reputasi seseorang.
ADVERTISEMENT
Stigma juga memiliki kekuatan untuk mengubah dinamika hubungan sosial. Saya melihat bagaimana pertemanan yang telah terjalin lama bisa runtuh hanya karena sebuah stigma. Dalam konteks yang lebih luas, masyarakat yang seharusnya bersatu malah terpecah-belah karena prasangka dan fitnah. Keadaan ini mengingatkan kita akan pentingnya kejujuran dan keadilan dalam berinteraksi satu sama lain. Tanpa kedua nilai ini, kita rentan terhadap manipulasi dan propaganda.
Namun, di tengah segala kesulitan, ada pelajaran berharga yang bisa diambil. Stigma mengajarkan saya tentang ketahanan dan pentingnya integritas pribadi. Seperti halnya Ahok yang tetap berdiri teguh meskipun difitnah dan diadili secara tidak adil, saya belajar untuk tetap konsisten dengan prinsip dan nilai yang saya yakini. Dalam proses ini, dukungan dari orang-orang yang benar-benar mengenal dan memahami kita menjadi sangat penting.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, perjuangan melawan stigma adalah perjuangan untuk kebenaran dan keadilan. Kita harus berani melawan fitnah dan prasangka, serta memperjuangkan nilai-nilai kejujuran dalam kehidupan kita. Seperti yang diungkapkan oleh Goenawan Mohamad, mengakui ketidakadilan adalah langkah awal menuju perubahan. Kita tidak bisa membiarkan kebenaran kalah di tengah era "pasca-kebenaran" ini.
Mengatasi stigma bukanlah tugas yang mudah, tetapi dengan keberanian dan integritas, kita bisa melewati tantangan ini. Dalam setiap langkah, kita perlu mengingat bahwa kebenaran akan selalu menemukan jalannya, meskipun terkadang harus melalui jalan yang berliku. Ahok mungkin kalah dalam Pilkada, tetapi perjuangannya melawan stigma memberikan inspirasi bagi kita semua untuk tetap teguh pada prinsip dan nilai-nilai kebenaran.
#artikel essai #Goenawan Mohamad #stigma
ADVERTISEMENT