Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Pendidikan atau Diskriminasi? Refleksi atas Hukuman karena Belum Bayar SPP
28 April 2025 12:14 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Hany Anggraeny tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di tengah semangat mewujudkan pendidikan yang inklusif dan ramah anak, muncul kasus yang menyentak hati. Pada awal Januari 2025, publik Indonesia dikejutkan oleh sebuah video viral di sosial media yang memperlihatkan seorang siswa SD di Medan, Sumatera Utara, kasus hukuman karena belum bayar SPP di sebuah sekolah dasar menimbulkan kekhawatiran besar. Tindakan ini memperlihatkan bahwa diskriminasi dalam pendidikan masih nyata terjadi di lapangan.
ADVERTISEMENT
Kronologi Kejadian
Menurut keterangan ibu dari siswa tersebut, anaknya dihukum duduk di lantai dari pukul 08:00 hingga 13:00 WIB pada tanggal 6 dan 7 Januari 2025. Ibu dari siswa tersebut menjelaskan bahwa tunggakan SPP terjadi karena dana Program Indonesia Pintar (PIP) yang diharapkan belum cair pada akhir tahun 2024. Kondisi ekonomi keluarga yang sulit membuat mereka kesulitan membayar SPP tepat waktu.
Dampak Psikologis dan Sosial Bagi Anak
Bagi anak usia sekolah dasar, perasaan diterima dan dihargai sangatlah penting. Hukuman duduk di lantai secara terbuka bisa menimbulkan rasa malu, rendah diri, bahkan trauma bersekolah. Dalam jangka panjang, hal ini bisa memengaruhi motivasi belajar dan kepercayaan dirinya.
Secara sosial, tindakan ini berpotensi menumbuhkan stigma di antara siswa lain. Anak yang dihukum bisa dikucilkan atau diberi label negatif, sementara anak-anak lain belajar bahwa status ekonomi bisa memengaruhi posisi mereka di kelas.
ADVERTISEMENT
Dimensi Etika dan Hukum dalam Pendidikan
Pendidikan di Indonesia seharusnya berlandasar asas nondiskriminasi dan menghormati hak anak. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa anak berhak mendapat pendidikan dan pengajaran dalam suasana yang menyenangkan, aman, dan tidak diskriminatif.
Selain itu, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Perkemendikbud) tentang sekolah ramah anak juga menekankan pentingnya menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan manusiawi.
Jika ditinjau dari sudut etika, guru sebagai pendidik seharusnya menjadi sosok pembimbing, bukan penghukum. Ketika guru menggunakan status ekonomi sebagai alasan untuk memberikan perlakuan berbeda, maka pendidikan kehilangan esensinya sebagai alat pemerataan sosial.
Reaksi Publik dan Tindakan Lanjutan
Kasus ini memicu kemarahan publik dan mendapat perhatian dari berbagai pihak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengencam tindakan tersebut sebagai pelanggaran hak anak dan mencoreng dunia pendidikan. Dinas Pendidikan Kota Medan segera melakukan investigasi dan memberikan sanksi kepada guru yang bersangkutan dengan memberhentikannya sementara dari tugas mengajar.
ADVERTISEMENT
Solusi dan Langkah Ke Depan
Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukkan antara lain:
Selain itu, penting juga untuk membuka jalur komunikasi antara sekolah dan orang tua. Apabila ada keterlambatan SPP, seharusnya dibahas secara personal dengan orang tua, bukan lewat anak yang masih kecil dan belum mengerti keadaan keuangan orang tua.
Pendidikan adalah hak, bukan privilese. Ketika seorang anak dipermalukan karena tidak mampu membayar SPP, maka yang tercoreng bukan hanya institusi sekolah, melainkan nilai-nilai dasar pendidikan itu sendiri. Guru, sekolah, dan pemerintah perlu berbenah dan berkomitmen untuk menjadikan sekolah sebagai tempat yang aman dan adil bagi semua anak tanpa terkecuali.
ADVERTISEMENT