Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
16 Ramadhan 1446 HMinggu, 16 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Makan Gratis untuk Mahasiswa: Solusi Kesejahteraan atau Beban Anggaran?
9 Maret 2025 12:40 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Happinoza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada Januari 2025, pemerintah Indonesia resmi meluncurkan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai bagian dari upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, termasuk mahasiswa. Program ini dirancang untuk menyediakan makanan bergizi bagi kelompok yang membutuhkan, dengan target mencapai 83 juta penerima manfaat, termasuk mahasiswa, anak-anak sekolah, dan ibu hamil. Tahap awal program ini dimulai dengan 570.000 individu di lebih dari 20 provinsi (Reuters, 2025).
ADVERTISEMENT
Bagi mahasiswa, terutama yang berasal dari keluarga ekonomi menengah ke bawah, pemenuhan kebutuhan gizi sering kali menjadi tantangan. Dengan adanya MBG, mahasiswa diharapkan dapat memperoleh asupan nutrisi yang cukup sehingga bisa lebih fokus dalam kegiatan akademik tanpa harus terbebani oleh masalah finansial. Program serupa, seperti "Mari Makan" di Kota Bandung, telah menunjukkan efektivitasnya dalam membantu mahasiswa dan pekerja informal, termasuk pengemudi ojek online (Kompas, 2025).
Meskipun memiliki tujuan baik, pelaksanaan MBG menghadapi beberapa tantangan. Beberapa mahasiswa menyuarakan pendapat bahwa selain pemenuhan gizi, peningkatan fasilitas akademik juga perlu menjadi perhatian agar kesejahteraan mahasiswa semakin optimal (Wikipedia, 2025). Selain itu, alokasi anggaran yang besar—mencapai 71 triliun rupiah untuk tahap awal—menimbulkan kekhawatiran terkait keberlanjutan fiskal program ini (Reuters, 2025).
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, tantangan administrasi juga menjadi hambatan dalam distribusi MBG. Beberapa mahasiswa mengeluhkan keterbatasan pilihan makanan, kurangnya variasi gizi, serta kendala birokrasi dalam mengakses program ini. Keberhasilan MBG bergantung pada efektivitas sistem distribusi serta koordinasi antara pemerintah pusat dan institusi pendidikan.
Keputusan pemerintah untuk mengalokasikan anggaran besar pada MBG memicu perdebatan mengenai prioritas kebijakan. Diperlukan keseimbangan dalam alokasi dana agar kebijakan ini tidak mengorbankan sektor pendidikan yang juga berperan penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia (Financial Times, 2025). Saat ini, Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara lain, dan alokasi anggaran perguruan tinggi juga tidak merata—94% untuk perguruan tinggi negeri dan hanya 6% untuk perguruan tinggi swasta (DPR RI, 2025).
ADVERTISEMENT
Para pengamat kebijakan menekankan bahwa kesejahteraan mahasiswa harus mencakup lebih dari sekadar pemenuhan kebutuhan pangan. Pendidikan berkualitas dengan akses yang lebih luas juga harus menjadi prioritas agar mahasiswa tidak hanya terbantu dalam jangka pendek, tetapi juga memiliki prospek masa depan yang lebih baik.
Kesimpulan:
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) memiliki potensi besar dalam meningkatkan kesejahteraan mahasiswa dengan menyediakan asupan gizi yang memadai. Namun, tantangan dalam implementasi serta dampaknya terhadap sektor pendidikan perlu diperhatikan lebih lanjut. Pemerintah harus mengevaluasi kembali prioritas kebijakan dan memastikan bahwa program ini sejalan dengan upaya peningkatan akses dan kualitas pendidikan tinggi.
Sinergi antara kebijakan pangan dan pendidikan perlu dijaga agar mahasiswa Indonesia tidak hanya mendapatkan manfaat jangka pendek, tetapi juga memiliki akses terhadap pendidikan yang lebih baik untuk masa depan yang lebih cerah.