Kota Solo: Kota dengan 2 Nama di Jawa Tengah

M Ahsanul Haqqi Riyantama
Mahasiswa Ilmu Sejarah, Universitas Airlangga
Konten dari Pengguna
23 Maret 2021 12:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Ahsanul Haqqi Riyantama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pasar Klewer di Solo Jawa Tengah. Foto: R Rekotomo/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Pasar Klewer di Solo Jawa Tengah. Foto: R Rekotomo/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kota Solo merupakan sebuah kota yang terletak di provinsi Jawa Tengah dan merupakan salah satu kota yang tergolong unik. Keunikan tersebut terletak pada kehadiran penyebutan dua nama yaitu "Surakarta" dan "Solo". Di masa sekarang penyebutan nama Surakarta digunakan dalam situasi formal (pemerintahan), sedangkan nama Solo lebih merujuk pada penyebutan yang dilatarbelakangi aspek kultural kota. Sederhananya, Solo merupakan konteks informal dari kata Surakarta (konteks formal).
ADVERTISEMENT
Solo merupakan kota dengan peninggalan kebudayaan seperti keraton maupun bangunan-bangunan kuno yang masih dapat dijumpai sampai saat ini. Dalam sejarahnya, kota Solo bersama Yogyakarta merupakan bagian pecahan dari Kerajaan Mataram yang dulunya merupakan salah satu kerajaan besar yang ada di Jawa.
Kelahiran dan Perkembangan Kota Solo
Pada periode tahun 1550-1745 merupakan masa awal perkembangan kota Solo. Pembentukan kota Solo pada awalnya dilakukan oleh masyarakat kuli (dalam bahasa Jawa disebut soroh bau yang pimpinannya disebut ki-soloh atau ki-solo atau ki-sala) yang bertempat di Bandar Nusupan. Mereka semua tinggal di bantaran Bengawan Solo, dekat pelabuhan tempat mereka bekerja untuk majikannya yang berada di Kadipaten Pajang (tahun 1530-an). Kehadiran mereka di bantaran Bengawan Solo ini nantinya membentuk pemukiman tepian sungai. Kadipaten Pajang sendiri merupakan penerus dari kerajaan Demak (1500-1546) yang pada perkembangannya menjadi kerajaan Pajang (1568, kerajaan Islam di Jawa setelah kerajaan Demak). Tahun 1582, kerajaan ini berpindah ke Kota Gede dan menjadi kerajaan Mataram. Kebutuhan pokok kerajaan mendapat suplai dari lalu lintas sungai dan bandar yang berada di sepanjang sungai Bengawan Solo. Sungai Bengawan Solo sendiri merupakan rute lalu lintas dari kapal-kapal besar dari pesisir Jawa dan Selat Malaka pada masa itu.
ADVERTISEMENT
Kemudian pada periode tahun 1745-1821 merupakan waktu terjadinya peristiwa besar di Solo dengan masuknya kolonial Belanda dan keraton Mataram. Keraton Mataram yang semula terletak di Kota Gede berpindah sebanyak tiga kali ke Kerta (1601), Plered (1613), dan Kartasura (1677), lalu kembali ke Solo. Perpindahan ini dilatarbelakangi oleh kehancuran istana karena tiga peperangan yang terjadi, yaitu Geger Pacinan (1742), Perang Cakraningrat (1742), dan peperangan Belanda/Paku Buwono II melawan Cakraningrat (1742). Setelah berdiskusi dan melakukan survei maka dipilihlah Desa Sala (kota Solo dahulunya merupakan sebuah desa yang bernama Sala) sebagai lokasi keraton.
Hal ini tentunya membawa pengaruh besar bagi perkembangan kota Solo pada masa mendatang. Belanda dan Mataram yang nemounya kekuatan besar dari masing-masing mereka mengkonsepkan tata kota dalam bentuk nyata. Belanda dengan konseo kota koloni dan kerarin dengan konsep kota kosmologi, ditambah dengan kota tepian sungai yang pernah disusun oleh masyarakat pribumi saling berpadu membentuk kota Solo menjadi khas dan unik. Pada tahun 1755 atas ditandatanganinya perjanjian Giyanti membuat keraton Mataram terpecah menjadi dua kerajaan yaitu Kasunanan (Surakarta) dan Kasultanan (Yogyakarta). Pada 1757 terpecah kembali menjadi tiga kerajaan yaitu Kasunanan (Surakarta), Kasultanan (Yogyakarta), dan Mangkunegaran. Dan pada 1812 terpecah lagi dengan satu kerajaan baru yaitu Pakualaman. Akibatnya, wilayah Solo terpecah menjadi dua yaitu Kasunanan (Surakarta) dan Mangkunegaran yang membuat perkembangan struktur kota di masa berikutnya menjadi dua wilayah yang memiliki konsep kosmologi Jawa.
ADVERTISEMENT
Seiring berjalannya waktu, pada periode tahun 1821-1857 kota Solo mengalami perkembangan menuju kota perkantoran (administrasi dan asuransi) dan perdagangan (toko, gudang, pasar). Kala itu pandangan masyarakat asing (Belanda, Arab, India, Cina) terhadap kota Solo sangat kondusif sebagai wadah kegiatan masing-masing. Adanya bangunan kantor, sekolahan, gereja, dan gudang yang mulai dibangun oleh Belanda menandai hal tersebut yang tentunya dibangun pula pemukiman Eropa. Sementara masyarakat Cina dan India banyak yang membangun toko-toko yang semakin menandai dan menjelaskan bahwa terjadi keamanan dan ketentraman antar masing-masing kelompok.
Kemudian pada periode tahun 1857-1900 terjadi perubahan yang besar dengan ditemukannya teknologi transportasi darat yaitu kereta api. Adanya penemuan ini tentunya mampu mengubah pola lalu lintas yang semula berada di sebagian sungai sebagian di darat beralih secara total menuju ke darat. Sementara itu, sungai-sungai juga mengalami pendangkalan yang menyebabkan sulit dilalui oleh kapal-kapal besar. Tahun 1830 dengan munculnya sistem tanam paksa mengakibatkan gundulnya hutan-hutan di daerah hinterland sehingga membuat tanah-tanah daratan yang longsor dan berguguran mengendap dan mendamaikan sungai. Kota Solo sendiri mudah terjadi banjir karena letaknya yang berada di lembah dan tempuran sungai. Pada periode ini pihak Belanda bersama Kasunanan dan Mangkunegaran mengadakan proyek besar dalam menanggulangi banjir dengan pembuatan kanal, sungai baru, ataupun tanggul.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya pada periode tahun 1900-1945 kota Solo mengalami perubahan dengan menjadi kota dengan utilitas yang modern. Dimulai dengan dibangunnya jaringan listrik (tahun 1902 oleh Solosche Electricities Maatschappij atau S.E.M), jaringan air bersih (tahun 1926 oleh N.V Hoogdruk Waterleiding atau N.V.H.W), jaringan KA dan trem (tahun 1905 oleh Staats Spoorwagen atau S.S dan Nederlandsch Indische Spoorwagen atau N.I.S) serta pembangunan jembatan antar kota melintasi sungai Bengawan Solo yaitu Jembatan Jurug menuju Karanganyar dan Jembatan Bacem menuju Sukoharjo (tahun 1915). Di sisi lain penduduk mulai ramai dan padat dengan adanya fasilitas hiburan dan olahraga yang secara umum baru pertama dibangun di Indonesia kala itu seperti gedung bioskop, gedung pertunjukan, gedung pertemuan, stadion sepakbola, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Periode selanjutnya tahun 1945-2000 merupakan fase perubahan terbesar bagi kota Solo. Merdekanya Indonesia pada tahun 1945 membuat birokrasi tradisional kasunanan Surakarta runtuh dan tergantikan oleh birokrasi yang dibentuk oleh Pemerintah Republik Indonesia. Wilayah Kasunanan kemudian masuk ke dalam wilayah Jawa Tengah dan tidak memiliki kuasa politik atas wilayahnya, namun mendapat wewenang sebatas pengembangan budaya Jawa. Tahun 1948 terjadi peristiwa Clash II yang dikenal dengan politik bumi hangus yang mengakibatkan banyak bangunan di Solo hancur oleh kemarahan Belanda. Tahun 1970-an mulai bermunculan kegiatan dan bangunan industri di sekitar Bengawan Solo, tepatnya di Palur dan sekitarnya yang mengakibatkan pencemaran sungai karena pembuangan limbah industri ke sungai Bengawan Solo. Setelah mengalami urbanisasi dan industrialisasi pada tahun 1980-an, kota Solo mengalami urban sprawl (pencemaran kota) di berbagai sisi kota. Pembangunan perumahan, real estate, komplek hunian baru bermunculan di pinggiran kota Solo, sementara pada pusat kota di daerah CBD berkembang bentuk joglo (perjogloan).
ADVERTISEMENT
Di akhir 1980-an pemerintah mencanangkan program Paket November 1988 yang mengakibatkan menjamurnya bank-bank swasta di kota Solo. Lalu pencanangan program Paket Juli 1993 (eksploitasi wisata) membuat banyak bangunan hotel bermunculan melengkapi perkantoran serta perdagangan. Tahun 1998 setelah kerusuhan massal yang melanda akibat adanya reformasi membuat bangunan-bangunan hangus dan hancur akibat kerusuhan. Sehingga banyak model rumah di kota Solo berarsitektur layaknya benteng atau bangunan dengan wajah tertutup dengan tembok massif atau berjendela kaca dengan teralis besi.
Keadaan Sosial Masyarakat kota Solo
Bentuk awal kota merupakan lingkungan sosial sederhana dengan masyarakat agraris tradisional dengan nilai-nilai serta kepercayaan yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini kemudian mengalami pergeseran ketika menjadi ibu kota kerajaan Jawa dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Maka terbentuklah lingkungan masyarakat menuju sosial budaya keraton yang terdapat klasifikasi sosial di dalamnya. Dalam klasifikasi tersebut ada golongan raja dan kerabatnya, bangsawan, priyayi ngaluhur, abdi dalem, dan rakyat biasa yang kecil kemungkinan mengalami mobilitas sosial secara vertikal. Kemudian ketika kedatangan Kolonial Belanda pada 1800 semua mengalami perubahan akibat campur tangan yang dilakukan. Bahkan kekuasaan raja berada di bawah pengawasan dadi pemerintak Kolonial Belanda. Klasifikasi sosial dalam masyarakat pun mengalami pergeseran, di mana etnis Asia pendatang menjadi lebih tinggi kedudukannya daripada pribumi akibat dukungan penjajah. Pengaruh etnis yang kemudian mendominasi bidang ekonomi dan perdagangan ini juga mempengaruhi kehidupan masyarakat kota, mulai dari gaya hidup, perilaku, juga bahasa. Meski begitu, kharisma kratin tetap dihormati dalam kehidupan yang semakin kompleks. Lalu pada era pasca kemerdekaan terjadi heterogenitas dalam masyarakat warisan kolonial, namun klasifikasi perlahan mulai melemah. Hal ini terjadi karena adanya kebangkitan rasa nasionalisme dan kebangsaan yang kuat, sehingga masyarakat menghormati persamaan dan derajat hak serta kewajiban dalam negara merdeka. Klasifikasi yang ada hingga saat ini hanyalah pada pribumi dan pendatang, hanya perbedaan asal mereka.
ADVERTISEMENT
Referensi :
Qomarun, dan Budi Prayitno. 2007. Morfologi Kota Solo (Tahun 1500-2000). Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 35 No. 1.
Kusumastuti. 2016. Proses dan Bentuk "Mewujudnya" Kota Solo Berdasarkan Teori City Shaped Spiro Kostoe. Region Vol. 1 No. 1.
Zaida, Suci Nur Aini, dan Nurhayati H. S. Arifin. 2020. Surakarta: Perkembangan Kota Sebagai Akibat Pengaruh Perubahan Sosial pada Bekas Ibukota Kerajaa di Jawa. Jurnal Lanskap Indonesia Vol. 2 No. 2.
Prasadana, Muhammad Anggie Farizqi, dan Hendri Gunawan. 2019. Keruntuhan Birokrasi Tradisional di Kasunanan Surakarta. Handep Vol. 2 No. 2.