Konten dari Pengguna

Keadilan untuk Ponsel Xiaomi yang Dituduh Bisa Sebarkan Virus Corona

Haris Firmansyah
Penulis buku 'Petualangan Seperempat Abad'.
3 Februari 2020 14:41 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Haris Firmansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Ponsel menyebarkan virus Corona. Foto: Dok: Maulana Saputra/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Ponsel menyebarkan virus Corona. Foto: Dok: Maulana Saputra/kumparan.
ADVERTISEMENT
Saat ini, virus Corona jadi momok dunia. Virus yang berasal dari Wuhan, China itu dikabarkan telah menyebar ke berbagai negara. Namun, begitu sampai di Indonesia, virus berbahaya ini justru jadi bahan lelucon belaka.
ADVERTISEMENT
Seorang stand up comedian bernama Coki Pardede membuat dark joke tentang Virus Corona yang disangkut-pautkan dengan angpao Imlek di Negeri China. Tak hanya nirempati, lelucon seperti itu sama sekali tidak lucu.
Persoalan ini menjadi ironi karena Coki sendiri adalah hakim MLI (Majelis Lucu Indonesia) yang biasa menghakimi selera humor orang lain. Namun, saat dirinya sendiri melucu, malah meresahkan masyarakat.
Sesaat setelah mendapatkan penghakiman warganet sebagai vigilante di dunia siber, Coki akhirnya minta maaf. Alasannya mengeluarkan dark joke seperti itu karena dirinya merasa hampa.
Andai Coki bisa mengkritik Coki, mungkin bunyi kalimatnya sebagai berikut (lengkap dengan nada-nada khasnya):
“Anda ini sepertinya sedang depresi. Eh, bukannya konsultasi ke ahli psikologi, Anda justru bikin cuitan di Twitter yang bikin orang emosi. Anda ini bagaimana sih? Anda kan public figure, harusnya Anda menjaga attitude di ruang publik dong. Kecuali kalau Anda pemilik akun twitter yang followers-nya tiga biji.”
ADVERTISEMENT
Lalu Tretan Muslim menimpali, “Hiya hiya hiya.”
Belum reda amarah warganet dengan lelucon Coki, muncul hoaks yang tidak kalah konyolnya. Tersebar kabar bohong bahwa virus Corona menyebar dari ponsel Xiaomi. Jadi, bagi pengguna hape merek tersebut disarankan untuk membuangnya, daripada nyawa yang terbuang.
Pencipta hoaks ini tidak hanya membuat hoaks, tapi juga melakukan penistaan gawai. Yang benar saja, virus itu hanya bisa menyebar melalui makhluk hidup, bukan benda mati. Apalagi disebarkan melalui server dan dikeluarkan via speaker. Ramashok.
Pertanyaannya, kenapa harus Xiaomi lagi yang kena sasaran tembak? Kita harus perjuangkan keadilan untuk Xiaomi. Sebab Xiaomi ini telah berjasa membantu banyak penggunanya yang ingin gawai dengan spek mumpuni tapi harganya terjangkau.
ADVERTISEMENT
Jauh sebelum ini, jagat internet sempat dikeruhkan dengan cuitan candaan seperti ini:
“Pacar lu pakai kartu 3, hape Xiaomi, dan motor Beat? Tinggalin aja. Kelihatan banget miskinnya.”
Banyak warganet yang terpelatuk dengan candaan sensitif tersebut. Di Indonesia, ketiga brand itu bisa laku karena alasan ekonomis. Rakyat suka dengan barang yang harganya ramah kantong. Otomatis penggunanya membludak. Bayangkan, triple majority begitu saja masih bisa diserang.
Dengan memukul rata bahwa pengguna kartu 3, hape Xiaomi, dan motor Beat sebagai warga kelas kedua, secara tak langsung sedang melakukan glorifikasi brand kelas pertama pemuncak klasemen sosial, sebutlah kartu Simpati, hape iPhone, dan motor Nmax.
Kartu boleh Telkomsel yang harga paketannya mahal, tapi kalau nggak ada yang benar-benar simpati, untuk siapa kuota-kuota itu? Apakah nomor cantik itu hanya untuk menerima SMS penipuan, alih-alih chat gebetan?
ADVERTISEMENT
Xiaomi, hapenya rakyat kecil, lantas apakah penggunanya tak layak dicinta? Sementara ada seorang pria di China menyatakan cinta dengan puluhan iPhone disusun menjadi bentuk hati sebagai manifestasi kalimat ‘I love you’, justru ditolak mentah-mentah oleh sang pujaan hati. Padahal cowok yang nembak itu bela-belain jual ginjal demi beli sebagian iPhone yang melimpah tersebut.
Kesimpulannya: kemewahan dan berlebih-lebihan tidak menjamin kesuksesan cinta, yang niscaya hanyalah mubazir belaka.
Jika cinta masih memandang materi, apa namanya kalau bukan mengabaikan hal primer, yaitu cinta itu sendiri, demi sesuatu yang kurang prinsipil seperti merek?
Jangan terlalu terpaku pada gengsi yang disekat pakai merek-merek tertentu. Ada beberapa orang yang tidak ambil pusing dengan persoalan gengsi karena fokus mereka hanya kepada fungsi.
ADVERTISEMENT
Sebaiknya, candaan materialistis seperti ini mulai dikurangi. Jangan sampai makin viral dan membentuk perilaku bullying di akar rumput. Di dunia serba digital seperti saat ini, hoaks bisa jadi jokes, lalu jokes di internet, misalnya berbentuk meme, bisa membentuk budaya di masyarakat sehari-hari.
Jika diskriminasi kelas ini sampai ke dunia anak-anak, bisa tambah ambyar. Bayangkan saja, ada anak SD yang diantar oleh orang tuanya ke sekolah pakai motor Beat. Ditambah bapaknya tampak menggenggam HP Xiaomi untuk menelepon. Lalu anak itu dirundung oleh teman-teman sekelasnya karena ikut-ikutan bercandaan di internet.
“Bapak lo naik motor Beat, hapenya Xiaomi! Awas, ketularan virus Corona! Jauhin, jauhin!”
Sepulang sekolah, anak SD dari orang tua pengguna motor Beat dan hape Xiaomi itu bisa nangis-nangis di rumah.
ADVERTISEMENT
“Motor Bapak ganti Kawasaki Ninja, kek. Kalau hapenya masih Xiaomi, jangan dikeluarin pas di gerbang sekolah. Aku malu dibully temen sekelas.”
Sudah saatnya bagi pengguna hape Xiaomi, kartu Tri, dan motor Beat untuk bangkit dan melawan. Ingat, kita mayoritas. Konon, mayoritas tidak bisa dikalahkan di negeri ini.
Atau malah tetap bisa kalah kalau lawannya adalah uang dan kekuasaan? Namun, uang dan kekuasaan pun tak selamanya bisa membeli kesehatan.