Mengkritiklah Secara Berimbang seperti Tere Liye

Haris Firmansyah
Penulis buku 'Petualangan Seperempat Abad'.
Konten dari Pengguna
9 Agustus 2019 9:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Haris Firmansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Tere Liye. Foto: Dok: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Tere Liye. Foto: Dok: kumparan
ADVERTISEMENT
Tere Liye mengunggah foto rongsokan bus TransJakarta di page miliknya. Dibubuhi caption tentang kejamnya korupsi. Bagaimana sebuah proyek pengadaan barang dan jasa apabila tidak ditangani dengan becus oleh para profesional, bisa merugikan negara dan menghamburkan uang rakyat. "Singkirkan semua kepentingan politik dari segala proyek pemerintahan," begitu kira-kira imbauan sang penulis.
ADVERTISEMENT
Tender pengadaan barang yang bermasalah, jadilah 'kuburan bus'. Begitu pula dengan bangunan yang mangkrak karena skandal korupsi mega proyek, akhirnya jadi tempat tinggal hantu. Kuburan dan wahana hantu. Sudahlah, korupsi ini nyatanya hanya menyumbang konten paranormal experience untuk para YouTubers horor saja.
Di tulisan itu, Tere Liye menyebutkan kapan terjadinya pengadaan bus hantu tersebut: tahun 2013. Siapa tuh, gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta saat itu? Tahu kan? So, sebagian penggemar Tere Liye langsung bersorak girang: "Hore, Tere Liye berada di pihak kami. Rasakan kau kubu sebelah! Kritik pedas dari penulis cerdas idola kami!"
Tere Liye telah membangunkan ‘makhluk malam’ yang sempat tertidur. Kolam yang semula airnya tenang pun kembali beriak.
ADVERTISEMENT
Ditambah Tere Liye menyebutkan kata 'bangunan' yang bisa merujuk ke proyek Wisma Atlit Hambalang. Berarti, dalam satu tulisan, Tere Liye seolah mengkritisi pemerintahan DKI Jakarta era Jokowi-Ahok dan elite Demokrat yang terlibat korupsi. Double kill. Savage.
Namun, Tere Liye tidak menjelaskan bahwa di era Ahok, pengadaan bus TransJakarta itu diberhentikan setelah terendus bau-bau korupsi. Publik yang tidak kroscek bakalan langsung mengambil kesimpulan jika Jokowi-Ahok turut andil dalam terjadinya tragedi kuburan bus tersebut. Padahal, Pemprov DKI termasuk korban tipu-tipu pejabat Dishub yang nakal. Segelintir pejabat Dishub yang main bus karatan, satu Pemprov DKI kena ‘tetanus’.
Tere Liye memang berhak mengkritik pemerintah. Soalnya Tere Liye termasuk penulis yang menurutnya adalah profesi yang paling taat pajak. Bagaimana tidak, pajak penulis ditarik oleh penerbit sehingga tidak bisa ditutupi. Masih menurut beliau, "Artis, pengusaha, pengacara, wah, itu sih mudah sekali untuk menyembunyikan berapa penghasilan sebenarnya. Penulis tidak bisa."
ADVERTISEMENT
Jadi, penulis adalah profesinya orang-orang jujur dan taat, setidaknya taat pajak.
Sebagai novelis produktif dengan penghasilan fantastis, Tere Liye bisa dibilang menyumbang banyak pemasukan pajak ke kas negara. Jika Tere Liye sampai mogok menerbitkan buku seperti tempo hari, tak terbayangkan Republik(a) ini mau jadi apa karena kehilangan aliran dana dari potongan penghasilan Tere Liye.
Untunglah, Tere Liye membatalkan niatnya yang sempat ingin berhenti menerbitkan buku. So, sudah sepatutnya bangsa ini bersyukur bisa punya Tere Liye. Tere Liye adalah satu di antara seribu. Salah satu penulis yang bertahan di toko buku setelah tsunami digitalisasi. Pertanda bahwa sosoknya diperlukan oleh dunia literasi tanah air.
Tak hanya pajak yang disumbangkan oleh Tere Liye kepada bangsa ini, ilmu yang bermanfaat pun beliau berikan kepada para pembacanya secara cuma-cuma. Di page, Tere Liye sering memberikan nasihat tentang kebaikan kepada pembacanya yang rerata masih belia. Beberapa puluh tahun lagi, para ABG yang jadi pembaca Tere Liye akan menjadi pemimpin negeri. Sejatinya, Tere Liye sedang mendidik calon-calon pemimpin dengan bermodalkan page Facebook.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan beberapa selebriti internet yang terindikasi partisan, Tere Liye tidak memihak siapapun. Tere Liye berdiri di tengah-tengah garis keadilan sosial. Maka, Tere Liye mampu melayangkan kritik secara berimbang.
Kalau mau dibandingkan dengan sesama penulis, Tere Liye sama netralnya dengan Raditya Dika. Bedanya, Raditya Dika menjadi netral dengan menghindari pembahasan politik yang sensitif. Sementara Tere Liye membahas politik itu secara eksplisit dengan mengkritik setiap sosok dan golongan yang menurutnya keliru dan perlu dibenahi.
Hal ini dibuktikan oleh Tere Liye melalui tulisannya tentang kursi wakil gubernur Jakarta yang kosong selama nyaris setahun. Tere Liye mengingatkan kepada orang-orang yang semula girang untuk jangan kepedean. Sebab, Tere Liye tidak memihak siapapun.
Lalu Tere Liye merambah ke masalah polusi di Jakarta yang masuk ranking satu kota paling berpolusi di dunia. Selepas menepuk air kolam, pendukung Anies Baswedan pun disentil. Lord Tere Liye memang paling bandel di kelasnya.
ADVERTISEMENT
Kepedulian Tere Liye dengan pemberantasan korupsi pun ditandai oleh sebuah postingan. Di mana beliau mengutip pernyataan Presiden Jokowi terkait kasus penyerangan Novel Baswedan yang belum kelar juga sampai sekarang. Tere Liye jelas membela KPK. Sebab, korupsi adalah musuh bagi penulis yang penghasilannya dipotong pajak dalam jumlah besar. Pun mengawasi penggunaan pajak adalah hak warga negara.
Di setiap akhir tulisan yang berbau politik, Tere Liye tak lupa mencantumkan judul novel bertema politik yang ditulisnya. Novel itu jadi bukti bahwa sejak dulu Tere Liye melek politik. Sekaligus promosi dengan menumpang isu terkini.
Jika selebriti internet lain menulis ditumpangi kepentingan politik, maka Tere Liye sebaliknya: menumpangi isu politik untuk kepentingan menulis. Eits, jangan sekali-kali mendiskreditkan penulis yang promosi bukunya. Siapa lagi kalau bukan penulisnya sendiri yang promosi?
ADVERTISEMENT
Lebih dari perkara jualan buku, Tere Liye benar-benar peduli dengan bangsa ini. Sebagai tokoh yang suaranya didengar, beliau merasa perlu untuk menyampaikan kebenaran tanpa kepentingan politik di belakangnya.
Tere Liye telah menembus sekat-sekat kubu politik. Ia tidak berada di pihak manapun. Ia hanya berpegang teguh pada nilai, bukan kelompok.
Saya jadi ingat sewaktu Tere Liye memutuskan berhenti menerbitkan buku karena perkara pajak yang memberatkan penulis. Beberapa penulis merasa terwakili oleh Tere Liye. Demo ini bukan hanya perjuangan Tere Liye, tapi perjuangan kelompok penulis.
Namun, belum klimaks perjuangan itu mengubah nasib para penulis, Tere Liye menerbitkan buku lagi. Sekali lagi, Tere Liye menunjukkan bahwa dirinya berpegang teguh pada nilai (royalti), bukan kelompok (penulis).
ADVERTISEMENT