Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Sinetron di Depan Mata Tak Tampak, Spongebob di Seberang Lautan Tampak
3 Oktober 2019 15:00 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Haris Firmansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di tengah kisruh KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) melawan Spongebob di jagat layar kaca, bioskop tanah air menayangkan film Pretty Boys. Film layar lebar itu menyentil industri televisi yang digambarkan sedang hancur-hancurnya.
ADVERTISEMENT
Di film Pretty Boys, Vincent dan Desta menjadi karakter utama bernama Anugerah dan Rahmat yang punya nama panggung Nugie dan Matthew. Keduanya adalah anak kampung yang merantau ke kota untuk menggapai mimpi sebagai host kenamaan.
Idola mereka adalah Sony Tulung, yaitu host kuis 'Famili Seret Terus' yang jadi tontonan favorit pada masa kecil mereka. Itu loh kuis yang mengadu dua famili yang sama-sama rezekinya seret terus, untuk mendapatkan hadiah yang diharapkan membantu perekonomian keluarga.
Namun, Nugie dan Matthew berhasil menembus dunia televisi pada waktu yang tidak tepat. Mereka harus berdandan seperti perempuan untuk bisa jadi host sebuah talkshow jaminan rating dan sharing. Mau tak mau, Nugie dan Matthew rela melakoninya walaupun hati kecil menolak. Demi impian, rasa malu pun dikesampingkan dulu.
ADVERTISEMENT
Pretty Boys yang jadi debut penyutradaraan Tompi ini coba mengangkat isu kepalsuan di dunia pertelevisian. Karakter yang diperankan oleh Vincent dan Desta adalah contoh kasusnya. Mereka yang aslinya straight harus rela kebanci-bancian demi popularitas. Sebab, saat itu tren industri mengharuskan demikian.
Sebenarnya ini gambaran yang ekstrem. Aktualnya, pertelevisian tanah air sendiri sudah menghilangkan peran pria menyerupai perempuan. Kalau masih berani menampilkan banci, bisa disemprit KPI.
Namun, masalah kepalsuan dan kepura-puraan sebagai jualan sensasi ini masih relevan sampai kini. Contohnya, seorang artis yang gemar melakukan drama setting-an. Dari mulai prosesi lamaran, live pernikahan, sampai gerebek rumah lokasi perselingkuhan istri. Kehidupan pribadi sang artis itu jadi konsumsi publik yang disiarkan di televisi. Bahkan sempat merambah ke kolom trending YouTube.
ADVERTISEMENT
Kenapa artis yang bersangkutan mau-maunya mempertontonkan hal itu? Karena penonton suka dan menguntungkan bagi pihak televisi. Untuk mempertahankan popularitas, oknum artis ini mesti merawat personanya dengan sensasi. Sensasi menimbulkan perbincangan. Perbincangan menaikkan pamornya di dunia selebritas. Sampai akhirnya, dia memperoleh gelar buaya darat, laut, dan udara.
Untuk mempertahankan persona itu, kabar terakhir dia ingin melamar seorang rekan sesama artis yang disiarkan di televisi. Untung saja tidak jadi. Kalau sampai terjadi, KPI harus sibuk lagi. Padahal, belum kelar urusan dengan Gundala dan Spongebob.
Dalam film Pretty Boys, kita akan menemukan gimmick serupa, tapi juga ditunjukkan sisi humanis dari profesi pekerja seni yang penuh sensasi tersebut. Bahwa apa yang ditampilkan di layar kaca tidaklah sama dengan kenyataan di belakang layar. Sama seperti profesi lain, ada kalanya seorang entertainer pun harus merasakan keterpaksaan ketika melakoni sesuatu karena desakan keadaan.
ADVERTISEMENT
Semua itu dilakukan sang artis demi menghibur penonton di rumah. Pihak televisi jelaslah tahu mana yang laku, yaitu penampilan absurd seperti itu. Walaupun harus mengorbankan nilai, sebagai gantinya mereka akan mendapatkan nominal.
Bisa dibilang dunia pertelevisian dihancurkan oleh penontonnya sendiri. Salah siapa acara yang kurang mendidik bisa banyak ditonton sehingga dapat rating dan sharing baik? Acara-acara seperti itu bisa ada karena pemirsanya pun banyak.
Sebagai pemodal, pihak televisi tentu saja mau untung. Urusan edukasi dan moral, bukan porsi mereka. Maka, dibikinlah program-program sampah yang jadi tontonan favorit pemirsa di rumah. Jadi, yang sebenarnya dibutuhkan oleh industri televisi Tanah Air adalah penonton yang bijak.
KPI yang punya kendali untuk meredam pertumbuhan konten berbahaya itu justru sering salah fokus. Dari 14 program siaran yang disanksi KPI, kartun Spongebob bisa kena teguran, tapi sinetron yang menampilkan manusia berantem justru aman-aman saja. Ibarat peribahasa: Sinetron di pelupuk mata tak tampak, Spongebob di seberang lautan tampak.
ADVERTISEMENT
Pihak televisi bisa saja pernah berusaha menayangkan program yang baik, tapi ternyata tidak menguntungkan karena sepi penonton. Contohnya, stasiun televisi swasta yang tempo hari dirumorkan PHK massal karyawan.
Begitu program yang kurang berkualitas ditayangkan, ternyata disukai penonton. Mungkin orang di balik program itu sebenarnya tidak menyukai pekerjaannya, berhubung menghasilkan profit, tetap dijalani dengan setengah hati.
Masih satu tema dengan dilema tersebut, di film Pretty Boys, tokoh Nugie yang diperankan oleh Vincent pun merasakan sebuah tekanan serupa. Hati kecilnya menolak untuk tampil cross gender di televisi. Namun, Nugie harus melakukan tuntutan pekerjaan itu dengan profesional. Hasilnya, dia mendapatkan tempat di dunia hiburan seperti yang dulu dicita-citakan.
Masalahnya, ayahnya Nugie tidak suka putranya jadi 'perempuan' di televisi. Walaupun dari pekerjaan itu Nugie bisa membelikan ayahnya sebuah televisi, sang ayah tidak merasakan kebanggaan menikmati tontonan yang disuguhkan. Yang ada sang ayah lebih memilih nonton YouTube lewat ponsel pintarnya. Dari situlah Nugie mendapatkan pencerahan untuk meninggalkan dunia televisi dan mulai berkarya di YouTube.
ADVERTISEMENT
Dibandingkan industri televisi yang kapitalistik, YouTube seolah jadi solusi indie untuk jiwa yang syarat akan idealisme. Namun, lihatlah, siapa sosok yang paling terkenal di YouTube? Mereka yang suka halu, drama setting-an, clickbait seksis, dan prank-prank nirfaedah.
Setelah ini, mungkin kita mesti menunggu sekuel film Pretty Boys yang mengangkat tema hancurnya dunia YouTube Indonesia.