Konten dari Pengguna

Oligarki dan Urgensi Money Politic Dalam Kontestasi Pilkada

Haris Mandala Putra
Membaca untuk mengenal! Menulis untuk di kenal! Sarjana Ilmu Pemerintahan dari Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa "APMD" Yogyakarta
30 September 2024 10:06 WIB
·
waktu baca 3 menit
clock
Diperbarui 17 Oktober 2024 16:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Haris Mandala Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Negara dalam cengkaraman oligarki merupakan pepatah yang tepat untuk menggambarkan situasi negara indonesia hari ini. Pilkada yang akan kita sambut nantinya menitip harapan besar bahwa bukan dimenangkan oleh kapital.
ADVERTISEMENT
Dalam artian paling sederhana Pilkada ialah instrument politik yang memiliki makna substantif selain menanam nilai-nilai yang demokratis, juga sebagai kompetisi politik dan atau memiliki posisi yang strategis sebagai cikal-bakal lahirnya pemimpin baru Daerah dengan segala bentuk komitmen serta prinsip-prinsip demokrasi yang dijiwainya sebagai bentuk representasi dari Masyarakat.
Menjelang pelaksanaan Pilkada banyak para pelaku politik berjuang bukan hanya sekadar berjuang untuk kepuasan pribadi sesaat dan atau kepentingan orang lain namun juga berjuang untuk menetapkan peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur yang konfigurasinya dapat menentang siapa yang akan mungkin menang atau kala di masa mendatang.
Sesungguhnya, peraturan-peraturan yang muncul akan sangat menentukan sumber-sumber mana yang secara sah boleh dikerahkan ke dalam arena politik, serta pelaku-pelaku mana yang diperkenankan masuk.
ADVERTISEMENT

Oligarki Sebagai Manifestasi Praktik Money Politic dalam Pilkada

Praktik money politics dan urgensinya dalam kontestasi pilkada. Foto: Didesain Menggunakan Canva.
Dalam berbagai fenomena yang terjadi menjelang pemilihan Kepala Daerah banyak aktor-aktor yang kemudian berperan untuk memenangkan pasangan calon jagoan mereka sendiri, dengan menggunakan berbagai cara yang diakomodasi serta langkah yang mereka ditempuh untuk menaikkan kredibilitas pasangan calon. Dalam hal ini kita kenal sebagai Oligarki.
Oligarki dalam fenomena ini cukup andil dalam setiap kontestasi politik baik kontestasi di arena nasional serta regional. Kecenderungan inilah yang kemudian sudah tidak dapat dihindarkan lagi di negara yang menganut sistem demokrasi.
Mungkin sampai pada detik ini kita masih melihat praktik-praktik yang tidak sesuai koridor atau dapat menciderai prinsip demokrasi, juga merasakan ada beberapa salah kaprah yang terjadi dalam lingkungan Masyarakat terkait bagaimana kemudian memilih pemimpin berdasarkan meritokritas bukan semata karena loyalitas.
ADVERTISEMENT
Kedudukan Oligarki sangat diperhitungan sebagai aktor yang kemudian kiranya dapat menyuplai anggaran baik untuk digunakan di masa kampanye maupun praktik “money politic” yang tujuan utamanya adalah masyarakat.
Hal ini tentunya mempunyai unsur timbal balik yang telah disepakati oleh pihak-pihak terkait (stakeholder), karena dengan adanya unsur kepentingan inilah yang kemudian para aktor oligarki datang sebagai jawaban atas apa yang diinginkan oleh jagoan politik mereka sendiri, hal semacam ini kita sebut politic interest.
Tidak heran jika nanti ada kebijakan-kebijakan Pemerintah Daerah yang kiranya hanya dapat menguntungan elit. Pertanyaanya adalah “masih pantaskah negeri ini manganut sistem demokrasi jika nilai-nilainya sudah dicederai untuk kepentingan pribadi atau sekelompok orang dengan mengatasnamakan kepentingan publik”?
ADVERTISEMENT
Negara dalam cengkaraman oligarki merupakan pepatah yang tepat untuk menggambarkan situasi negara indonesia hari ini. Kecenderungan ini disebabkan oleh faktor yang begitu substantif, seperti yang kita ketahui bersama bahwa pergolakan money politik tidak bisa dipisahkan dari nuansa politik saat ini karena dapat memungkinkan bahwa dengan adanya praktik money politik dapat memudahkan kandidat yang menjadi pasangan calon di kontestasi tersebut untuk mendapatkan voice tanpa harus terjun langsung ke masyarakat.
Tidak hanya demikian perilaku konsumtif masyarakat juga menjadi faktor langgengnya praktik money politik, karena masyarakat mempercayai dan sadar bahwasannya kandidat yang akan mereka pilih belum tentu setelah mereka terpilih akan bisa menjewantahkan sebenarnya apa yang dibutuhkan masyarakat.
Sehingga momentum semacam inilah dijadikan oleh masyarakat sebagai ajang untuk mendapatkan uang mereka, akan tetapi anggapan semacam ini semestinya harus dihilangkan. Karena bagiamanapun juga wakil rakyat yang akan dipilih bukan hanya sekadar bermain dalam nuansa yang elit melainkan dia dipilih untuk menjadi aktor untuk menjawab segala bentuk hambatan serta tantangan terbaru yang ada dalam lingkungan masyarakat. Seharusnya masyarakat harus sadar bahwa calon-calon ini dipilih untuk mewakili hak-hak mereka yang menjadi tanggungjawab penuh pemerintah.
ADVERTISEMENT