Konten dari Pengguna

Pemilihan Kepala Daerah 2024: Representasi Rakyat atau Kepentingan Pemodal?

Haris Mandala Putra
Sarjana Ilmu Pemerintahan Lulusan dari Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa "APMD" Yogyakarta. Sekarang sedang menekuni karya-karya tulisan yang berorientasi pada isu Politik, Sosial, dan Pemerintahan dalam skala Nasional, Regional, dan Local.
30 September 2024 16:08 WIB
·
waktu baca 4 menit
clock
Diperbarui 18 Oktober 2024 10:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Haris Mandala Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pilkada 2024: Representasi rakyat atau kepentingan pemodal. Foto: Didesain Menggunakan Canva
zoom-in-whitePerbesar
Pilkada 2024: Representasi rakyat atau kepentingan pemodal. Foto: Didesain Menggunakan Canva
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Uang sebagai sarana untuk melihat bagaimana modal menjadi kekuatan dalam Politik hari ini. Uang berfungsi sebagai alat, tetapi juga bisa digunakan untuk mengendalikan.
ADVERTISEMENT
Hal ini menggambarkan bagaimana modal dapat menjadi faktor utama dalam memahami dinamika politik saat ini.
Dalam konteks pemilu saat ini, terdapat banyak spekulasi dan keyakinan bahwa untuk memperoleh elektabilitas dan kredibilitas di mata masyarakat, seseorang yang ingin mencalonkan diri sebagai pejabat publik atau politisi perlu memiliki modal yang cukup.
Modal tersebut nantinya akan digunakan untuk kebutuhan kampanye serta untuk memperkuat praktik "politik uang," dengan jumlah yang seringkali sangat signifikan bagi para kandidat tersebut.
Fenomena ini sebenarnya telah menjadi budaya dan kerap terjadi setiap kali ada pemilihan umum, karena masyarakat percaya bahwa ukuran layak tidaknya seorang calon sering kali ditentukan oleh latar belakang ekonomi (kekayaan) atau hubungan dengan pejabat sebelumnya.
Sebenarnya, siapa pun dapat mencalonkan diri, tetapi tantangannya adalah apakah mereka dapat membangun kepercayaan di kalangan masyarakat bahwa yang mereka butuhkan sebenarnya adalah kemampuan untuk menyelesaikan masalah, bukan hanya melanggengkan masalah yang ada.
ADVERTISEMENT

Urgensi Modal di Dalam Pilkada

Istilah "Pilkada kapital" sebenarnya merupakan ungkapan yang lebih halus untuk menggambarkan hubungan antara pemilik modal (oligarki) dan praktik politik uang yang terjadi di setiap kontestasi pemilihan umum di negara ini.
Sering kali, setiap momen pemilihan terasa tidak lengkap tanpa adanya praktik politik uang yang menjadi strategi utama untuk menarik suara masyarakat sebagai pemilih.
Tentunya, politik uang membawa dampak negatif bagi pemilu dan penguatan demokrasi di Indonesia. Selain menipu pemilih, kompetisi antara kandidat atau partai politik akan menjadi tidak seimbang.
Partai politik yang memiliki sumber daya finansial lebih besar memiliki peluang lebih tinggi untuk memenangkan pemilu. Selain itu, dukungan finansial dari kerabat dan keluarga juga turut berperan.
Menjamin bahwa praktik semacam ini tidak akan berlanjut sangat sulit bagi kandidat yang memiliki ambisi untuk mendapatkan posisi publik.
ADVERTISEMENT
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa politisi memiliki beragam cara untuk meraih kemenangan dalam pemilu, termasuk memanfaatkan jaringan, mesin politik, dan organisasi untuk menggerakkan dukungan pemilih.
Dalam situasi seperti ini, bagaimana sebenarnya para kandidat memanfaatkan uang, barang, atau sumber daya lainnya? Sejauh mana strategi penggunaan uang dan barang ini dapat ditopang atau digantikan oleh strategi lain, baik yang berbasis program, karisma, atau identitas? Menjawab pertanyaan ini tentu saja bergantung pada perspektif masing-masing, karena tanpa disadari, kita telah lama terpengaruh oleh praktik-praktik semacam ini.
Namun, metode yang digunakan oleh kandidat tidak jauh berbeda dengan yang diterapkan oleh politisi lainnya. Selain dijanjikan dengan berbagai kebijakan, kita sebagai pemilih juga sering kali dipengaruhi melalui iming-iming materi atau barang.
ADVERTISEMENT

Kemenangan Berbasis Meritokrasi atau Didukung Oleh Pemilik Modal

Berbeda cara, berbeda hasil. Ini adalah hal yang sering kita saksikan ketika ada kandidat yang mencalonkan diri semata-mata untuk memenuhi ambisi pribadi atau kelompok, dibandingkan dengan kandidat yang memiliki tanggung jawab untuk menjawab tantangan masyarakat.
Perbedaan ini sebenarnya cukup mudah dikenali. Ketika politisi mengeluarkan kebijakan yang tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat, kita sebagai sasaran kebijakan dari pemerintah dapat menilai bahwa ada masalah dengan integritas mereka.
Kepercayaan publik terhadap seorang pejabat akan menurun jika mereka melakukan tindakan yang tidak mewakili rakyat atau berorientasi pada kepentingan umum.
Kebijakan yang kontradiktif dan paradoksal akan terus muncul selama ambisi pribadi tetap menguasai. Seleksi alam akan memberikan warna pada setiap situasi politik yang dihadapi oleh para pejabat dan politisi, menciptakan ketidakstabilan yang bertentangan dengan prinsip kesejahteraan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kemampuan dan meritokrasi seorang kandidat sangat penting bagi masyarakat, karena kemampuan untuk menganalisis masalah adalah kunci utama yang harus dimiliki oleh politisi. Dengan kemampuan tersebut, segala urusan pemerintahan, termasuk ekonomi, sosial, dan politik, dapat diselesaikan melalui optimalisasi kinerja pemerintahan.
Warna dan suasana politik bagi seseorang yang berkuasa karena kepentingan pribadi dan memperkuat politik uang akan menyebabkan masyarakat merasakan ketidakpuasan terhadap kinerja pejabat tersebut dengan seiring berjalannya waktu. “Kapal yang berada di tengah laut, dipimpin oleh nahkoda baru setelah pergantian nahkoda sebelumnya, akan mengalami goncangan karena kurangnya keahlian nahkoda baru dalam menganalisis situasi yang terjadi.”
Istilah ini mencerminkan betapa pentingnya mengutamakan meritokrasi daripada loyalitas.
Kita sering menemukan kandidat yang memiliki kapasitas baik untuk memimpin. Namun, dalam beberapa situasi, mereka harus menggunakan modal sebagai mekanisme pendukung untuk memperlancar dinamika politik demi mendapatkan elektabilitas atau suara untuk meningkatkan peluang kemenangan dalam kontestasi politik tersebut.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, politik uang tetap tidak dapat dibenarkan. Karena ada beberapa indikasi yang dapat merusak prinsip dan nilai-nilai demokrasi.
Ada juga faktor lain, seperti keterlibatan oligarki atau kapitalis dalam kontestasi politik, yang sangat mempengaruhi situasi menjelang pemilihan. Para aktor ini dianggap sebagai dukungan bagi kandidat dalam menyediakan anggaran untuk kepentingan politik mereka.
Keberadaan oligarki dan keterlibatannya dalam politik tentu membawa dampak buruk bagi masyarakat, karena kebijakan yang dikeluarkan cenderung berpihak pada kepentingan dan keuntungan pribadi mereka.
Kita juga mengetahui bahwa salah satu karakteristik kapitalis adalah eksploitasi, yang berdampak pada kehidupan masyarakat. Saat ini, diyakini bahwa demokrasi Indonesia masih berada dalam kendali oligarki.