Konten dari Pengguna

SDGs Desa: Narasi di Balik No One Left Behind

Haris Mandala Putra
Sarjana Ilmu Pemerintahan Lulusan dari Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa "APMD" Yogyakarta. Sekarang sedang menekuni karya-karya tulisan yang berorientasi pada isu Politik dan Pemerintahan skala Nasional dan Regional.
5 Oktober 2024 10:57 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Haris Mandala Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
18 Program dan Sasaran SDGs Desa, Narasi di balik no one life behind. foto: Dibuat dan diedit menggunakan canva.
zoom-in-whitePerbesar
18 Program dan Sasaran SDGs Desa, Narasi di balik no one life behind. foto: Dibuat dan diedit menggunakan canva.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sustainable Development Goals (SDGs) Desa merupakan konsep pembangunan yang berfokus pada peningkatan kualitas hidup masyarakat desa. Konsep ini mencakup 18 tujuan pembangunan yang terintegrasi dan saling melengkapi. Salah satu pilar utama SDGs Desa adalah keterlibatan masyarakat dan kemitraan lokal.
ADVERTISEMENT
Pembangunan desa yang berkelanjutan tidak dapat terwujud tanpa adanya kolaborasi antara berbagai pihak, termasuk pemerintah desa, masyarakat, sektor swasta, organisasi nirlaba, dan akademisi.
Pemerintah desa memiliki peran penting dalam memfasilitasi dan membangun kemitraan lokal. Kemitraan ini dapat diwujudkan melalui pembentukan forum-forum konsultasi, kelompok kerja, atau mekanisme koordinasi lainnya.
Melalui kemitraan tersebut, setiap pihak dapat berkontribusi sesuai dengan kapasitas dan sumber daya yang dimiliki. Misalnya, masyarakat dapat terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan desa, sektor swasta dapat menyediakan pendanaan atau teknologi, dan organisasi nirlaba dapat memberikan dukungan teknis atau fasilitasi.
Kemitraan lokal sangat penting untuk memastikan bahwa pembangunan desa dilakukan secara partisipatif, transparan, dan akuntabel. Dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, pemerintah desa dapat memperoleh masukan dan dukungan yang luas untuk program-program pembangunannya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kemitraan lokal juga dapat membantu mengatasi tantangan-tantangan yang dihadapi desa, seperti kesenjangan ekonomi, kemiskinan, dan akses terbatas terhadap layanan publik.
Akan tetapi dalam pengimplementasiannya program kebijakan ini membuat desa semakin ditekan dan sibuk dengan urusan-urusan administrasi, perencanaan, pendataan dan lainnya.
Kehadirannya menggeser hakikat pemerintahan sebagai pemberi pelayanan dan proteksi kepada masyarakat desa menjadi pemerintahan yang bercorak pembangunan developmental government yang mempunyai ciri khas yang kemudian di sematkan sebagai cara berpikir, bertindak dan segalanya oleh pemerintah itu semuanya ditentukan oleh pembangunan.
Pemerintah lebih banyak mengurus pembangunan, pekerja proyek ketimbang mengedepankan fungsi utamanya sebagai proteksi dan distribusi kepada masyarakat desa. Kemudian juga pemerintah menjadi pelaku utama pembangunan.

Desa dalam intervensi kebijakan dan teknokratisasi

Pembangunan menjadi sebuah ciri khas teknokrasi, yang memukul atau menjawab semua permasalahan dengan pembangunan. Kehadiran program pembangunan SDGs Desa yang dibawa oleh para teknokrat ini menjadi substansi utama pembangunan dengan menghadirkan 18 tujuan yang dianggap mulia dengan semboyan no one left behind (tidak ada satupun tertinggal di belakang).
ADVERTISEMENT
Kehadiran program ini menjadi kontradiksi yang menjadikan desa sebagai lokus dari pembangunan yang mengubah posisi desa sebagai subjek dari pembangunan menjadi objek pembangunan sebagai, penerima, klien, atau bahkan partisipasi pembangunan.
Intervensi desa yang paling sangat dirasakan melalui SDGs desa adalah bagaimana aturan ini menjerat desa karena semuanya punya ukuran dan juga punya target.
Hal ini yang disebut intervensi dan teknokratisasi terhadap Desa. Jadi hal tersebut bukan rekognisi bukan juga subsidiaritas akan tetapi ini merupakan bentuk campur tangan dari teknokrat.
Dalam perkembanganya desa hari ini dituntut untuk menarasikan semua konsep yang berkaitan dengan aturan tersebut.
Asas fundamental desa yaitu dengan memberikan wewenang terhadap desa untuk melakukan pembangunan berdasarkan hak prakarsa lokal, dan juga mengakui akan kedudukan desa yang mempunyai hak asal-usul tanpa adanya campur tangan dan lain sebagainya yang berpotensi mengganggu keselarasan dinamisasi pengembangan serta pertumbuhan kedaulatan Pembangunan desa.
ADVERTISEMENT
Kemudian dengan tumpang tindih aturan yang coba mengendalikan desa dari berbagai hal yang menjadikan asas tersebut sudah tidak lagi selaras dengan konsep kehidupan berdesa, karena kecendrungan desa sebagai pusat pembangunan melalui nawacita membangun Indonesia dari pinggiran.
Problematik pembangunan yang terburu-buru membuat desa kehilangan identitas dan juga kesenjangan terhadap kapasitas. Desa sampai pada hari seringkali kekurangan sumber daya manusia dan keahlian teknis untuk mengendalikan dan mengelola proyek Pembangunan yang kompeks.
Tantangan lain adalah koordinasi antarpemangku kepentingan. Kemitraan yang efektif membutuhkan keterlibatan semua pihak terkait, mulai dari pemerintah desa hingga kelompok masyarakat dan sektor swasta. Kurangnya koordinasi dapat menyebabkan duplikasi upaya dan pemborosan sumber daya.
Serta menjadikan desa tidak semata menjadi penerima manfaat program-program pemerintah, melainkan mempunyai kapasitas pemberi manfaat bagi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Itu merupakan dampak dari aturan-aturan yang menjerat desa yang menginginkan desa hidup tanpa keterbelakangan, tetapi hal ini membuat desa bergantung pada aspek-aspek yang sangat normatif, sehingga desa sudah tidak lagi mampu mempertimbangkan dan menafsirkan kebutuhan desa berdasarkan hak asal-usul serta wewenang desa yang sudah dimuat dalam Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang desa.

10 Salah Kaprah Membangun Desa dalam Pelaksanaan UU Desa

Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komite I DPD RI bersama Pakar Desa dengan Agenda Penyempurnaan UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa yang digelar pada Selasa lalu (16/3), Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STMPD APMD) Yogyakarta, Dr. Sutoro Eko Yunanto menjelaskan tentang 10 salah kaprah dalam pelaksanaan UU Desa selama ini.
Menurutnya, dalam misi agung UU Desa menyebutkan bahwa dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, terang Sutoro Eko, alih–alih mengejar misi agung UU Desa tersebut, malah terjadi 10 salah kaprah dalam pelaksanaan UU Desa.
Salah kaprah pertama, yaitu negara malah melakukan reduksi dan distorsi UU Desa menjadi proyek dana desa. Sutoro Eo menyatakan, UU Desa tidak memandatkan ada turunan PP Dana Desa. Tetapi negara, melalui Kemenkeu, penguasa rezim keuangan, membikin PP No. 60/2014 tentang dana desa.
“PP itu yang mereduksi UU Desa dan menghadirkan “proyek dana desa”. Dana desa bukan lagi dimaknai sebagai sumber penerimaan desa yang menjadi hak, kewenangan, kewajiban dan tanggung jawab desa, melainkan menjadi program pemerintah. Yang terjadi adalah berbagai pihak kemudian melihat, meributkan, menumpangi, dan memanfaatkan dana desa” ujar Sutoro Eko yang pernah menjadi salah satu Tim Ahli pembentukan UU Desa.
ADVERTISEMENT
Salah kaprah kedua, alih–alih menangani desa dengan konsolidasi satu pintu, desa malah menjadi arena kontestasi kelembagaan yang terfragmentasi.
“Urusan desa dibelah dua Kementerian yaitu Kemendagri dan Kemendesa yang membikin ribet. Kemendagri, Kemendesa, Kemenkeu, BAPPENAS, Kemenko Polhukam, dan Kemenko PMK, tidak terkonsolidasi dengan baik, karena jalur koordinasi yang berbeda dan cara pandang yang berbeda. Kemendagri, Kemendesa, BAPPENAS masing–masing memiliki tipologi perkembangan desa dan indeks yang berbeda. BPKP yang memiliki perangkat SISKEUDESA tidak hanya berperan melakukan pengawasan, tetapi juga ikut mengatur, memerintah dan melarang desa. Kehadiran Polri dan Kejaksaan terlibat dalam binwas menambah kerumitan dan ketakutan, serta berimplikasi minimalisasi substansi”, jelasnya.
Sutoro menilai, Kemendagri suka pada pemerintahan desa. Kemendesa suka pada pembangunan desa. BAPPENAS lebih suka pembangunan perdesaan. Kementerian sektoral lebih suka pada masyarakat desa ketimbang desa. sedangkan Kemenkeu sebenarnya lebih suka pada program penanggulangan kemiskinan di desa yang terkendali dari atas.
ADVERTISEMENT
Salah kaprah ketiga, alih–alih melayani penetapan pertama desa adat yaitu pada 15 Januari 2014 sampai dengan 15 Januari 2015, negara malah membiarkan bahkan menghambatnya.
Salah kaprah keempat, negara lebih banyak mengatur dari pada mengurus desa. Negara lebih banyak mengawasi ketimbang membina desa.
Salah kaprah kelima, alih–alih melakukan rekognisi dengan mengakui, menghormati dan mempercayai, negara malah melakukan pengendalian dan pengaturan dengan birokratisasi dan regulasi.
Salah Kaprah Keenam, Sutoro melanjutkan, alih–alih melembagakan dan menjalankan pendekatan kombinasi “desa membangun” dan “membangun desa”, negara malah menggunakan pembangunan–yang dipikirkan sendiri–untuk memerintah dan mengendalikan desa.
“Contoh terkemuka yang salah kaprah adalah SDGs Desa yang digunakan untuk memerintah dan mengendalikan desa”, ujar Sutoro.
Salah kaprah ketujuh, alih–alih melembagakan dan melayani pembentukan sistem dan formasi desa baru, pendekatan proyek dana desa dan pembangunan desa menjadi utama yang dikelola secara teknokratis untuk menghasilkan lebih banyak proyek.
ADVERTISEMENT
“Karena sekadar proyek dana desa, maka teknokrasi pasti mengikuti, bahkan menjadi paling utama, ketimbang demokrasi. Teknis mendahului politik. RAB mendahului APBDes. Siskudes adalah sebuah perangkat teknokratis yang membunuh hakekat. Ada banyak proyek mengikuti, yaitu desa wisata, desa digital, smart village, data, indeks, dan lain–lain yang semua menarget desa. akhirnya desa menjadi locus perburuan data untuk pertunjukan output”, ungkap Sutoro.
Salah kaprah kedelapan, adalah alih–alih memperkuat kedaulatan uang rakyat, malah mengalami distorsi menjadi keselamatan uang negara melalui taktik anti-korupsi, moralisasi, dan kriminalisasi.
Menurut Sutoro, sejak zaman kolonial, supradesa dan teknokrat menuding bahkan menghakimi bahwa orang desa itu bodoh, malas dan suka mencuri atau clemer.
“Kalau desa sulit berubah, kata aliran anti-desa ini, karena SDM yang rendah, dengan tiga ciri itu”, jelasnya.
ADVERTISEMENT
Dalam salah kaprah ini, spirit anti-korupsi yang anti-politik bahkan mengalahkan spirit politik demokrasi. Ia disertai ancaman, aturan, perangkat yang rigid untuk kesemalatan uang.
“Kalian hati-hati pegang dana desa, penjara menunggu kalian, ini saya kutip ungkapan dari seorang bupati. Para gubernur dan bupati/walikota saja banyak yang masuk penjara, apalagi kepala desa, kata seorang professor. Dana desa tidak akan efektif karena hanya dirampas oleh elite lokal, kata seorang peneliti ahli”, Sutoro Eko Menjelaskan.
Salah kaprah kesembilan, alih–alih memperkuat desa menjadi subjek yang emansipatoris, negara malah memaksa dan memperalat desa menjadi objek dengan pendekatan instruksi, target, dan perangkat untuk pertunjukan bahwa target objeknya berhasil, maka yang dilakukan adalah menumpuangi desa-desa yang sukses seperti Panggungharjo dan Ponggok. Padahal kedua desa ini sudah mulai hebat sebelum ada UU Desa.
ADVERTISEMENT
Salah kaprah kesepuluh, alih–alih melayani desa dan memberkuasakan desa, pendampingan desa menjadi pekerjaan yang mendampingi proyek dana desa dan SDGs, memburu data, dan melayani menteri.
Dengan sepuluh salah kaprah itu, Sutoro Eko mengambil kesimpulan bahwa UU Desa belum dilaksanakan, kecuali pelaksanaan proyek dana desa dengan diikuti sederet proyek, administrasi, aturan, dan perangkat yang mengatur, mengendalikan, memperlalat, dan menarget desa.