Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
SDGs untuk Desa: Narasi di Balik Konsep No One Left Behind
5 Oktober 2024 10:57 WIB
·
waktu baca 8 menitDiperbarui 18 Oktober 2024 13:15 WIB
Tulisan dari Haris Mandala Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sustainable Development Goals (SDGs) Desa adalah suatu pendekatan pembangunan yang menitikberatkan pada peningkatan kualitas hidup masyarakat desa. Pendekatan ini terdiri dari 18 tujuan pembangunan yang saling terintegrasi dan mendukung satu sama lain. Salah satu pilar utama dari SDGs Desa adalah partisipasi masyarakat dan kemitraan di tingkat lokal.
ADVERTISEMENT
Pembangunan desa yang berkelanjutan tidak akan terwujud tanpa kolaborasi antara berbagai pihak, seperti pemerintah desa, masyarakat, sektor swasta, organisasi nirlaba, dan akademisi.
Pemerintah desa memainkan peran krusial dalam memfasilitasi dan mengembangkan kemitraan di tingkat lokal. Kemitraan ini dapat direalisasikan melalui pembentukan forum konsultasi, kelompok kerja, atau mekanisme koordinasi lainnya.
Dengan adanya kemitraan tersebut, setiap pihak dapat memberikan kontribusi sesuai dengan kapasitas dan sumber daya yang dimiliki. Sebagai contoh, masyarakat dapat berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan desa, sektor swasta dapat menyediakan dana atau teknologi, sementara organisasi nirlaba dapat memberikan dukungan teknis atau fasilitasi.
Kemitraan di tingkat lokal sangat penting untuk memastikan bahwa pembangunan desa dilakukan dengan cara yang partisipatif, transparan, dan akuntabel. Dengan melibatkan semua pemangku kepentingan, pemerintah desa dapat mendapatkan masukan dan dukungan yang luas untuk program-program pembangunan yang dilaksanakannya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kemitraan di tingkat lokal juga dapat membantu mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi desa, seperti kesenjangan ekonomi, kemiskinan, dan keterbatasan akses terhadap layanan publik.
Namun, dalam pelaksanaannya, kebijakan program ini seringkali membuat desa semakin terbebani dengan berbagai urusan administratif, perencanaan, pendataan, dan lain-lain.
Kehadiran program ini mengubah esensi pemerintahan dari penyedia layanan dan perlindungan bagi masyarakat desa menjadi pemerintahan yang berfokus pada pembangunan, yang dikenal sebagai developmental government. Pendekatan ini ditandai oleh cara berpikir dan bertindak yang sepenuhnya ditentukan oleh aspek pembangunan.
Akibatnya, pemerintah lebih banyak terlibat dalam urusan pembangunan dan proyek-proyek daripada menekankan fungsi utamanya dalam memberikan perlindungan dan distribusi kepada masyarakat desa. Dengan demikian, pemerintah berperan sebagai pelaku utama dalam pembangunan.
ADVERTISEMENT
Intervensi Kebijakan dan Teknokratisasi di Desa
Pembangunan menjadi ciri khas dari teknokrasi, yang berupaya menangani semua masalah melalui pembangunan. Kehadiran program pembangunan SDGs Desa yang diperkenalkan oleh para teknokrat ini menjadi inti dari pembangunan dengan menghadirkan 18 tujuan yang dianggap mulia, mengusung semboyan "no one left behind" (tidak ada yang tertinggal).
Kehadiran program ini menciptakan kontradiksi yang menjadikan desa sebagai pusat pembangunan, mengubah posisinya dari subjek pembangunan menjadi objek yang menerima, klien, atau bahkan hanya sebagai peserta dalam pembangunan.
Intervensi desa yang paling terasa melalui SDGs Desa adalah bagaimana aturan ini mengikat desa dengan berbagai ukuran dan target yang harus dipenuhi.
Hal ini mencerminkan intervensi dan teknokratisasi terhadap desa. Jadi, ini bukan hanya rekognisi atau subsidiaritas, melainkan campur tangan dari para teknokrat.
ADVERTISEMENT
Dalam perkembangan saat ini, desa dituntut untuk mengadaptasi semua konsep yang terkait dengan aturan tersebut.
Asas fundamental desa adalah memberikan wewenang kepada desa untuk melaksanakan pembangunan berdasarkan hak prakarsa lokal dan mengakui kedudukan desa yang memiliki hak asal-usul, tanpa adanya campur tangan yang dapat mengganggu keselarasan dinamika pengembangan serta pertumbuhan kedaulatan pembangunan desa.
Namun, tumpang tindih aturan yang berusaha mengendalikan desa mengakibatkan asas tersebut tidak lagi sejalan dengan konsep kehidupan berdesa, karena kecenderungan desa sebagai pusat pembangunan melalui nawacita yang membangun Indonesia dari pinggiran.
Problematika pembangunan yang terburu-buru membuat desa kehilangan identitas dan mengalami kesenjangan dalam kapasitas. Seringkali, desa kekurangan sumber daya manusia dan keahlian teknis untuk mengelola proyek pembangunan yang kompleks.
ADVERTISEMENT
Tantangan lainnya adalah koordinasi antarpemangku kepentingan. Kemitraan yang efektif memerlukan keterlibatan semua pihak, mulai dari pemerintah desa hingga kelompok masyarakat dan sektor swasta. Kurangnya koordinasi dapat menyebabkan duplikasi upaya dan pemborosan sumber daya.
Desa seharusnya tidak hanya menjadi penerima manfaat dari program-program pemerintah, tetapi juga memiliki kapasitas untuk memberikan manfaat bagi masyarakat.
Ini adalah dampak dari aturan yang mengikat desa, yang bertujuan agar desa dapat hidup tanpa keterbelakangan.
Namun, hal ini justru membuat desa bergantung pada aspek-aspek yang sangat normatif, sehingga desa tidak lagi mampu mempertimbangkan dan menafsirkan kebutuhan berdasarkan hak asal-usul dan wewenang yang kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
10 Salah Kaprah Membangun Desa dalam Pelaksanaan UU Desa
Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komite I DPD RI bersama Pakar Desa yang diadakan pada Selasa lalu (16/3) dengan agenda penyempurnaan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD "APMD") Yogyakarta, Dr. Sutoro Eko Yunanto, menguraikan 10 kesalahpahaman yang terjadi dalam pelaksanaan UU Desa selama ini.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, misi besar UU Desa menyatakan bahwa dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, desa telah mengalami berbagai perkembangan bentuk yang memerlukan perlindungan dan pemberdayaan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis.
Hal ini bertujuan untuk menciptakan fondasi yang solid dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.
Namun, Sutoro Eko menjelaskan bahwa bukannya mengejar misi besar UU Desa tersebut, justru terjadi 10 kesalahpahaman dalam pelaksanaannya.
Kesalahpahaman pertama, adalah negara justru melakukan reduksi dan distorsi terhadap UU Desa, mengubahnya menjadi proyek dana desa. Sutoro Eko menyatakan bahwa UU Desa tidak mengamanatkan adanya turunan PP mengenai Dana Desa. Namun, negara, melalui Kementerian Keuangan sebagai penguasa rezim keuangan, menerbitkan PP No. 60/2014 tentang Dana Desa.
ADVERTISEMENT
“PP tersebut mereduksi UU Desa dan menciptakan ‘proyek dana desa’. Dana desa tidak lagi dipahami sebagai sumber penerimaan yang merupakan hak, kewenangan, kewajiban, dan tanggung jawab desa, tetapi menjadi program pemerintah.
Akibatnya, berbagai pihak kemudian melihat, memperdebatkan, menumpang, dan memanfaatkan dana desa,” kata Sutoro Eko, yang pernah menjadi salah satu anggota Tim Ahli dalam pembentukan UU Desa.
Kesalahpahaman kedua adalah, bukannya menangani desa melalui konsolidasi satu pintu, desa justru menjadi arena persaingan lembaga yang terfragmentasi.
“Urusan desa terbagi antara dua kementerian, yaitu Kemendagri dan Kemendesa, yang membuat keadaan menjadi rumit. Kemendagri, Kemendesa, Kemenkeu, BAPPENAS, Kemenko Polhukam, dan Kemenko PMK tidak terkoordinasi dengan baik, karena memiliki jalur koordinasi dan perspektif yang berbeda. Setiap kementerian, seperti Kemendagri, Kemendesa, dan BAPPENAS, memiliki tipologi perkembangan desa dan indeks yang berbeda-beda. BPKP, dengan perangkat SISKEUDESA-nya, tidak hanya berfungsi untuk melakukan pengawasan, tetapi juga berperan dalam pengaturan, perintah, dan pelarangan terhadap desa. Kehadiran Polri dan Kejaksaan dalam pengawasan menambah kompleksitas dan ketakutan, serta berdampak pada pengurangan substansi,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Sutoro berpendapat bahwa Kemendagri lebih fokus pada pemerintahan desa, sementara Kemendesa lebih mengutamakan pembangunan desa. BAPPENAS lebih condong pada pembangunan perdesaan. Kementerian sektoral cenderung lebih memperhatikan masyarakat desa dibandingkan desa itu sendiri.
Di sisi lain, Kemenkeu sebenarnya lebih memfokuskan perhatian pada program penanggulangan kemiskinan di desa yang dikelola secara terpusat.
Salah kaprah ketiga, alih–alih melayani penetapan pertama desa adat yaitu pada 15 Januari 2014 sampai dengan 15 Januari 2015, negara malah membiarkan bahkan menghambatnya.
Salah kaprah keempat, negara lebih banyak mengatur dari pada mengurus desa. Negara lebih banyak mengawasi ketimbang membina desa.
Salah kaprah kelima, alih–alih melakukan rekognisi dengan mengakui, menghormati dan mempercayai, negara malah melakukan pengendalian dan pengaturan dengan birokratisasi dan regulasi.
ADVERTISEMENT
Salah Kaprah Keenam, Sutoro melanjutkan, alih–alih melembagakan dan menjalankan pendekatan kombinasi “desa membangun” dan “membangun desa”, negara malah menggunakan pembangunan–yang dipikirkan sendiri–untuk memerintah dan mengendalikan desa.
“Contoh terkemuka yang salah kaprah adalah SDGs Desa yang digunakan untuk memerintah dan mengendalikan desa”, ujar Sutoro.
Salah kaprah ketujuh, alih–alih melembagakan dan melayani pembentukan sistem dan formasi desa baru, pendekatan proyek dana desa dan pembangunan desa menjadi utama yang dikelola secara teknokratis untuk menghasilkan lebih banyak proyek.
“Karena sekadar proyek dana desa, maka teknokrasi pasti mengikuti, bahkan menjadi paling utama, ketimbang demokrasi. Teknis mendahului politik. RAB mendahului APBDes. Siskudes adalah sebuah perangkat teknokratis yang membunuh hakekat. Ada banyak proyek mengikuti, yaitu desa wisata, desa digital, smart village, data, indeks, dan lain–lain yang semua menarget desa. akhirnya desa menjadi locus perburuan data untuk pertunjukan output”, ungkap Sutoro.
ADVERTISEMENT
Salah kaprah kedelapan, adalah alih–alih memperkuat kedaulatan uang rakyat, malah mengalami distorsi menjadi keselamatan uang negara melalui taktik anti-korupsi, moralisasi, dan kriminalisasi.
Menurut Sutoro, sejak zaman kolonial, supradesa dan teknokrat menuding bahkan menghakimi bahwa orang desa itu bodoh, malas dan suka mencuri atau clemer.
“Kalau desa sulit berubah, kata aliran anti-desa ini, karena SDM yang rendah, dengan tiga ciri itu”, jelasnya.
Dalam salah kaprah ini, spirit anti-korupsi yang anti-politik bahkan mengalahkan spirit politik demokrasi. Ia disertai ancaman, aturan, perangkat yang rigid untuk kesemalatan uang.
“Kalian hati-hati pegang dana desa, penjara menunggu kalian, ini saya kutip ungkapan dari seorang bupati. Para gubernur dan bupati/walikota saja banyak yang masuk penjara, apalagi kepala desa, kata seorang professor. Dana desa tidak akan efektif karena hanya dirampas oleh elite lokal, kata seorang peneliti ahli”, Sutoro Eko Menjelaskan.
ADVERTISEMENT
Salah kaprah kesembilan, alih–alih memperkuat desa menjadi subjek yang emansipatoris, negara malah memaksa dan memperalat desa menjadi objek dengan pendekatan instruksi, target, dan perangkat untuk pertunjukan bahwa target objeknya berhasil, maka yang dilakukan adalah menumpuangi desa-desa yang sukses seperti Panggungharjo dan Ponggok. Padahal kedua desa ini sudah mulai hebat sebelum ada UU Desa.
Salah kaprah kesepuluh, alih–alih melayani desa dan memberkuasakan desa, pendampingan desa menjadi pekerjaan yang mendampingi proyek dana desa dan SDGs, memburu data, dan melayani menteri.
Dengan sepuluh salah kaprah itu, Sutoro Eko mengambil kesimpulan bahwa UU Desa belum dilaksanakan, kecuali pelaksanaan proyek dana desa dengan diikuti sederet proyek, administrasi, aturan, dan perangkat yang mengatur, mengendalikan, memperlalat, dan menarget desa.
ADVERTISEMENT