Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Asa Narit Maja Aceh Bertahan Digempur Pop Culture
18 Februari 2021 18:03 WIB
Tulisan dari Harisul Amal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
In-depth News oleh: Harisul Amal
BANDA ACEH | Senyum terpancar dari wajah Razali Cut Lani (85) menyambut hangat kedatangan kami di rumah dinas anaknya, Rabu (10/2/2021). Saat itu dia menggunakan sarung dan kemeja batik sambil bersantai di depan televisi. Senyumnya mengartikan kesehatannya dalam keadaan baik, meski berumur nyaris mencapai se-abad namun ingatannya masih kuat dan pengamatannya masih tajam.
ADVERTISEMENT
Kepada kami, dia mengungkapkan keresahannya terhadap westernisasi dan pop culture (budaya populer) yang memapar generasi muda Aceh saat ini, dia melihat hal itu berdampak pada krisisnya identitas para penerus serta perlahan mengikis kearifan lokal. Salah satu yang dia khawatirkan adalah tentang eksistensi Narit Maja yang kini mulai kehilangan tempat di kehidupan sosial masyarakat Aceh.
Narit Maja sendiri merupakan salah satu karya sastra tertua di Aceh, oral litarature ini berkembang dari nilai sosial budaya masyarakat yang mengandung konsep kehidupan dan mengatur cara manusia bertindak, namun dengan cara yang halus.
Pria yang dibesarkan sebelum Indonesia merdeka dan hidup di berbagai rezim yang berkuasa ini telah akrab dengan Narit Maja sejak masih muda, ketika itu dia kerap mendengar hal tersebut baik di rumah maupun di luar, mulai dari nasehat-nasehat oleh orang tuanya, ceramah yang disampaikan tengku (ustaz) di pengajian, hingga syair-syair oleh para seniman.
ADVERTISEMENT
“Pada zaman dahulu, orang Aceh mempercayai Narit Maja memiliki tingkat kebenaran yang dijadikan pedoman nomor tiga setelah Al-Quran dan Hadis, hal itu karena Narit Maja berisi nasehat yang diajarkan oleh orang tua (nenek moyang), sehingga nasehat-nasehat dan pesan di dalamnya dijadikan petunjuk bagi masyarakat pada kehidupan sehari-hari,” kata Razali.
Menurut Razali, belum diketahui pasti kapan dan siapa penemu Narit Maja pertama kali, namun eksistensi seni bertutur ini telah populer sebelum ajaran Islam merasuki masyarakat Aceh, saat itu diyakini telah ada sumber nilai dan sumber hukum yang mengakar, yaitu berupa petuah nenek moyang (kemudian dikenal sebagai Narit Maja).
Narit Maja ini, kata dia, lahir dari pengalaman empiris masyarakat Aceh menjadi produk budaya yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari, lalu menjadi karya sastra yang terekspos secara sosial dan menjadi milik kolektif.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks nilai, Narit Maja diyakini memiliki nilai yang agung dan patut dipertahankan eksistensinya sebagai salah satu sumber local genius. Karena apabila Narit Maja punah, nilai manusiawi yang dianut orang Aceh akan punah bersamanya. Dampaknya ketika suku bangsa kehilangan nilai budayanya, maka akan kehilangan pula jati dirinya.
Sebagai orang yang lahir di generasi tradisionalis (Silent Generation), Narit Maja yang kerap didengar oleh Razali berupa petuah-petuah tentang perjuangan, adat istiadat, dan pendidikan. Lazimnya, orang yang tumbuh dalam generasi ini lebih bijak menjalani hidup, karena mereka telah melewati banyak kejadian besar, mulai dari masa imprealisme, masa perjuangan kemerdekaan, peralihan rezim demi rezim, dan hal-hal besar lainnya yang juga terjadi dalam skala lokal.
ADVERTISEMENT
“Orang-orang tua kita selalu mengingatkan dengan Narit Maja ‘tamarit uroe tangieng u likot, tamarit malam tangieng keu supot (jika berbicara ketika siang harus menoleh ke belakang, berbicara ketika malam harus ingat gelapnya’ maksudnya adalah kita harus selalu berhati-hati dalam bertindak, karena apa pun yang kita buat akan berdampak, semua akibat pasti ada sebabnya,” kata Razali.
Narit Maja tersebut begitu berbekas di benak Razali, hal itu mengajarkannya akan kausalitas sebab akibat, membuatnya selalu berhati-hati dalam bertindak. Sehingga dia pun menurunkan kepada anak-anaknya dengan mengajarkan tentang memaknai hidup secara bijak.
“Saya selalu menasehati tentang betapa pentingnya pendidikan, namun hidup secara bijak juga sangat penting, saya selalu mengingatkan ‘peugah ube buet, peubuet ube na (berbicara sesuai perbuatan, berbuat sesuai kebenaran)’ artinya kita sebagai manusia harus bertindak sesuai dengan kapasitas kita, jangan merasa hebat dan suka membual, bertindaklah sesuai dengan apa yang kita kuasai dan di jalur yang benar ,” katanya.
ADVERTISEMENT
Meskipun Narit Maja merupakan salah satu warisan nenek moyang yang mengandung nilai-nilai luhur, namun sayang hingga saat ini kajian kritis dan holistik tentang hal tersebut masih sangat sedikit sekali. Padahal, kandungan nilai di dalamnya merupakan roh Narit Maja yang membuatnya menempati posisi penting dalam kebudayaan Aceh.
“Secara segmental, terdapat empat nilai mendasar dalam Narit Maja, yaitu nilai religius, filosofis, etis, dan nilai estetis. Hal itu mencerminkan cara pandang bangsa Aceh dalam berkomunikasi dengan tuhan, manusia, dan berkomunikasi dengan lingkungan hidup,” katanya.
Hal senada turut dirasakan oleh Medya Hus (57), meski berbeda satu generasi dengan Razali namun pengalaman yang dialaminya tak jauh berbeda.
Jauh sebelum globalisasi menjamah negeri serambi, Medya Hus muda gemar menghadiri panggung-panggung rakyat untuk mencari hiburan, dia begitu takjub dengan sandiwara yang kerap dilakoni para seniman. Karena selain lucu, banyak pesan moral yang didapatnya.
ADVERTISEMENT
“Dalam pementasan tersebut, para pelakon menyelipkan banyak Narit Maja sebagai bagian dari dialog mereka, sehingga penonton pun tidak merasa digurui, malah menganggap ini bagian dari pertunjukan, kita sangat menikmati dan berkesan, sehingga ketika pulang kata-kata Narit Maja itu terngiang dan kita cari tau makna filosofis di baliknya,” kata Medya.
Seiring waktu, pentas-pentas lokal perlahan berkurang dan ditinggalkan, masyarakat lebih memilih menikmati hiburan dari platform lainnya, seperti film, tayangan televisi, hingga sosial media .
Selain dari pementasan, pria yang lahir di generasi Baby Boomers ini juga kerap mendengar Narit Maja dari lingkungan sekitarnya. Para orang tua, kata Medya, kerap mensyairkan Narit Maja kepada anaknya sejak masih dalam kandungan, menyelipkan dalam dongeng ketika menidurkan anaknya, hingga menjadikan nasehat dalam memperingatkan anaknya ketika nakal.
ADVERTISEMENT
Namun sekarang, hal seperti itu sudah jarang ditemui. Westernisasi membuat para orang tua lebih mempercayai musik klasik dapat mencerdaskan anak dibanding dengan mendengarkan sajak-sajak, bahkan dalam menasehati anak apabila nakal pun orang tua sudah jarang menggunakan Narit Maja.
“Padahal, kalau menggunakan Narit Maja akan lebih berkesan, karena lebih halus dan sarat makna, kalimat yang sedikit namun mengandung makna yang luas. Orang tua pun akan terlihat lebih berwibawa,” katanya.
Beranjak dari keresahan tersebut, Medya Hus pada medio 1990-an kemudian membuat sanggar Seueng Samlako yang bergerak melestarikan sastra Aceh. Bersama sanggarnya, dia pun kemudian dikenal banyak orang karena kerap muncul di tv lokal dan diundang di berbagai acara yang melibatkan prosesi adat.
ADVERTISEMENT
“Kita selalu menyelipkan Narit Maja dalam penampilan kita, karena jika hanya berpantun atau Seumapa itu hanya akan menjadi hiburan, tapi jika ditambah Narit Maja akan ada pesan moralnya,” katanya.
Di komunitasnya itu, Medya tak lagi merekrut orang-orang dari generasi sepantarannya, namun dia lebih berfokus merekrut anak-anak muda dari generasi milenial sebagai upaya agar regenerasi terus berjalan.
Kami turut menemui salah seorang penggiat sastra di sanggar tersebut, Septiawan (31), kepada kami dia bercerita mulai bergabung dalam komunitas itu sejak 2016 saat berusia 26 tahun. Saat itu, dia diajak oleh Medya Hus usai melihat penampilan berpantun Aceh di salah satu acara.
Dia pun belajar banyak di komunitas itu, kecintaannya dalam dunia sastra mengantarnya berjumpa banyak seniman dan sahabat yang mempunyai hobi yang sama. Sebagai pria yang lahir di generasi Milenial ini merasa bertanggung jawab meneruskan estafet untuk melanggengkan budaya Aceh agar terus abadi.
ADVERTISEMENT
Banyak tantangan yang dihadapi mereka, terlebih teman-teman sepantarannya banyak yang sudah tak acuh dengan hal tersebut. Kehadiran gadget dan internet semakin memperparah kondisi tersebut, para Milenial disebut telah lalai karena teknologi tersebut telah mengalihkan dunia mereka.
Namun, Medya Hus memiliki pandangan berbeda terhadap hal ini, menurutnya perkembangan teknologi jangan dijadikan alasan terhadap tergerusnya budaya. Banyak negara maju yang dapat memanfaatkan teknologi tanpa menyebabkan budaya mereka terdegradasi.
“Contohnya Jepang, semua tahu mereka itu sangat maju dalam bidang teknologi, meski begitu mereka tetap menjunjung tinggi budaya mereka sendiri, Aceh pun harus bisa begitu, daripada kita anggap ini ancaman lebih baik kita anggapnya tantangan,” katanya.
Penyebab Tergerus dan Kurangnya Peran Pemerintah
Sebagai warisan leluhur yang nyaris punah, bukan tanpa alasan arus budaya luar yang masuk kian cepat menyebabkan sastra lisan ini makin tergerus. Namun sangat klise rasanya jika faktor eksternal menjadi satu-satunya akar permasalahan tergerusnya budaya ini, patut diduga hal ini ternyata juga disebabkan oleh masyarakat Aceh itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Menutur Pakar Kesusastraan Aceh, Khadijah, ada beberapa faktor yang menyebabkan Narit Maja tergerus. Faktor utama yang paling berpengaruh adalah penggunaan bahasa Aceh yang mulai ditinggalkan sebagai bahasa ibu.
Di Banda Aceh yang merupakan ibu kota provinsi, kata dia, orang tua cenderung sudah jarang menggunakan bahasa Aceh dengan anaknya sebagai bahasa komunikasi sehari-hari ketika di rumah. Mereka lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia dalam berinteraksi.
“Ketika ditanya kenapa pakai bahasa Indonesia di rumah, mereka berdalih dengan banyak alasan, mulai dari merasa bahasa Aceh ketinggalan, hingga merasa tidak nyaman dengan bahasa Aceh karena dinilai terlalu kasar. Terlebih karena melihat anak-anak kerap menggunakan kata seperti ‘yak papma’ hingga ‘yak okma’, sehingga mereka merasa tak nyaman untuk mengajarkan bahasa Aceh kepada anaknya,” ungkap Khadijah saat diwawancarai di kediamannya, Sabtu (13/2/2021).
ADVERTISEMENT
Apabila bahasa Aceh semakin berkurang penggunanya, lanjut Khadijah, otomatis nilai-nilai esensial yang terkandung dalam budaya Aceh juga tergerus dan perlahan menghilang. Karena ketika bahasa Aceh tidak lagi menjadi bahasa ibu, maka dalam pergaulan si anak pun dia tidak akan menggunakan bahasa Aceh, meskipun mengetahui beberapa kosa kata, namun tidak fasih.
Sebagaimana salah satu petuah dalam Narit Maja “lagee ue meunan minyeuk, lagee ku meunan aneuk (Sebagaimana kelapa begitulah minyaknya, sebagaimana orang tua begitulah anaknya)” Narit Maja tersebut memiliki makna mirip seperti peribahasa “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”, di mana menggambarkan generasi muda yang tidak mau menggunakan bahasa Aceh karena disebabkan orang tuanya sendiri yang enggan menggunakan bahasa daerah. Akibatnya, Narit Maja ikut tergerus bersamaan dengan tergerusnya penggunaan bahasa Aceh.
ADVERTISEMENT
Selain itu, di sekolah pun tidak terdapat kurikulum tentang bahasa dan sastra Aceh. Dia mengungkapkan saat ini pembelajaran tentang bahasa Aceh hanya ada di jenjang Sekolah Dasar, itu pun hanya mata pelajaran pilihan berupa Muatan Lokal, sedangkan di jenjang selanjutnya tidak diajarkan lagi, berbanding terbalik dengan pelajaran bahasa asing seperti bahasa Inggris dan Arab yang diajarkan hingga SMA bahkan universitas.
“Bahkan di kampus-kampus yang ada di Aceh seperti Unsyiah dan UIN pun tidak ada prodi tentang bahasa Aceh, sedangkan prodi bahasa asing seperti Inggris dan Arab itu ada. Sangat berbeda dengan di daerah lain, misalnya kampus di daerah Jawa ada prodi Sastra Jawa, kalau di Bandung ada prodi Sastra Sunda, jadi identitas kebudayaan mereka tetap berjaga dan terus berkembang, padahal secara akreditasi kampus kita pun sudah bersaing,” kata Khadijah.
ADVERTISEMENT
“Sebenarnya sudah pernah diajukan membuat prodi Bahasa Aceh, namun dari pihak rektorat Unsyiah saat itu tidak menyetujui, seakan menganggap itu tidak penting, sehingga tidak menjadi prioritas.”
Hal tersebut kemudian diperparah dengan absennya pemerintah dalam membudidayakan bahasa Aceh dalam beberapa aspek. Khadijah menilai pemerintah kurang proaktif dalam melestarikan bahasa Aceh.
Terakhir pada 2014 lalu, sempat diadakan Kongres Bahasa Aceh yang dihadiri oleh para budayawan, akademisi, tokoh masyarakat, hingga Gubernur Aceh saat itu. Banyak rekomendasi yang lahir dalam pertemuan ini, salah satunya terkait pembuatan kurikulum bahasa Aceh.
"Namun sayangnya pertemuan itu hanya berakhir sampai di situ, tidak ada tindak lanjut setelahnya. Bahkan, ketika para akademisi mencoba mengajukan proposal tentang program yang berhubungan dengan hal tersebut pun ditolak, dengan dalih tidak ada dana dan sebagainya," kata Khadijah.
ADVERTISEMENT
Secara garis besar, tergerusnya Narit Maja diduga telah terjadi sejak tiga dekade terakhir, Khadijah yang berasal dari generasi X mengaku sudah mulai jarang mendengar Narit Maja ketika masih muda, begitu juga dengan Septiawan yang berasal dari generasi Milenial. Keduanya baru kembali akrab dengan Narit Maja ketika mulai menggeluti dunia sastra Aceh.
Khadijah yang merupakan seorang akademisi, baru menggeluti sastra tersebut ketika menulis buku mata pelajaran Bahasa Aceh untuk pelajar Sekolah Dasar, dia menemukan banyak hal yang ternyata mulai tergerus di tatanan masyarakat, dia pun meneliti dan menulis dalam buku-bukunya.
Begitupun dengan Septiawan, dia mengaku terakhir mendengar Narit Maja ketika duduk di bangku SMP, meski begitu hal tersebut terus terngiang di pikirannya hingga menjadi seniman. “Ada satu yang paling berkesan yaitu ‘aneuk gajah jak bumoe han deungoe, aneuk tuloe poe meuhayak donya (anak gajah berjalan tidak terdengar hentakannya, sedang anak burung pipit terbang mau guncangkan dunia) artinya kita gak boleh sombong, contohnya orang besar tapi tetap rendah itu sedangkan anak kemarin sore bisa berjalan aja udah merasa besar, itu sangat berkesan bagi saya ketika dijelaskan guru,” kenangnya.
ADVERTISEMENT
Alih-alih menjadi langkah pelestarian Narit Maja, pendidikan juga menjadi tantangan dalam pelaksanaannya. Seperti kata Khadijah, pihak stakeholder sebenarnya peduli namun realisasinya tidak ada.
Tidak adanya dana dalam pelaksanaan, absennya kurikulum pendidikan Bahasa Aceh yang berkelanjutan, serta permasalahan yang terjadi di internal pengurus MAA kemudian menjadi tantangan tersendiri dalam pelestariannya.
Akhirnya, seniman dan pihak lain yang peduli terhadap Narit Maja harus berjuang melestarikannya. Sebagaimana Medya Hus mendirikan Sanggar Seueng Samlakoe akibat tergerusnya kepedulian berbagai pihak terhadap kesenian dan adat Aceh.
Yang Bisa Dilakukan Agar Narit Maja Dapat Kembali Eksis
Narit Maja adalah bagian dari sebuah identitas kebudayaan yang dinilai penting dijaga agar tetap eksis dan populer. Medya Hus bersama sanggar Seueng Samlako mencoba merawatnya selama dua dekade terakhir, selain menggaet media massa seperti Aceh TV dan TVRI Aceh, dia juga memanfaatkan teknologi sebagai salah satu platformnya untuk menghidupkan sastra ini.
Dia merambah dunia maya seperti Facebook, Instagram, Youtube, hingga Tiktok untuk menayangkan Narit Maja dan sastra Aceh lainnya. “Alhamdulillah responnya positif, masyarakat cukup menikmati, bahkan orang-orang Aceh yang berada di luar negeri selalu menunggu konten kita, rasa rindu mereka kepada tanah kelahiran sedikitnya terobati,” katanya.
ADVERTISEMENT
Namun tidak cukup sampai di situ, menurut Medya Hus pemerintah juga harus mengambil peran dalam hal ini. Caranya adalah dengan melakukan pembiasaan dan memarakkan penggunaan Narit Maja untuk menyampaikan pesan.
Seperti dalam hal membuat pamphlet/baliho harus digalakkan menggunakan Narit Maja, sehingga orang tertarik mencari tahu apa maksud di baliknya. Selain itu juga dalam pidato-pidato para pejabat dan tokoh masyarakat sebaiknya juga menggunakan Narit Maja, karena selain mengakrabkan kembali masyarakat dengan sastra tersebut, pejabat pun akan terlihat berwibawa karena pesan yang disampaikan mendalam.
“Banyak Narit Maja yang bisa digunakan oleh pemerintah, seperti menyampaikan pesan-pesan kesatuan, kebersamaan, perdamaian, dan sebagainya. Misalnya Narit Maja ‘musem timu dong pukat, musem barat pula lada. Meukasaree sampoe pakat, lampoh jeurat ta peugala (musim timur kita melaut, musim barat kita berladang, kalau sudah bersatu, lahan kuburan kita gadaikan)’ jadi itu motto orang Aceh, kekuatan kesatuan. Jika sudah satu paham, ladang yang ada bisa kita gadaikan,” katanya.
ADVERTISEMENT
Apabila telah menjadi kebiasaan, kata Medya, maka Narit Maja akan kembali hidup sebagai bagian dari kehidupan masyarakat. Dia mencontohkan dengan daerah Meulaboh dengan kesenian Rapai Gelengnya, menurutnya karena basis Rapai Geleng kuat anak-anak di sana menaruh perhatian yang lebih dan menganggap itu hal yang keren. Hal serupa juga di dataran Gayo dengan kesenian tangannya, Didong.
Kemudian juga dalam penyuratan-penyuratan, menurutnya juga bisa dicantumkan Narit Maja yang selaras untuk meluaskan dan sebagai sarana edukasi. “Kalau masyarakat biasa, kalau tahu beberapa Narit Maja jangan malu untuk mengatakan. Biasakanlah penggunaannya,” katanya.
Sementara itu, Khadijah menilai pemerintah harus memasukkan bahasa Aceh sebagai bagian dari kurikulum pendidikan, menurutnya cara merawat kebudayaan melalui pendidikan formal akan membuat kebudayaan tersebut tetap dapat hidup dan melahirkan regenerasi baru.
ADVERTISEMENT
Cara lainnya yang bisa dilakukan, lanjut Khadijah, adalah dengan memarakkan perlombaan. Karena dengan dibuat lomba akan menarik anak muda, secara tidak langsung akan membuat mereka mencari tahu apa itu Narit Maja dan bagaimana penggunaannya.
“Contohnya buat lomba drama, pidato, atau film pendek. Nanti di persyaratannya kita atur harus menggunakan minimal lima Narit Maja, seperti itu. Saya sendiri ketika mengajar sastra sering menugaskan mahasiswa memasukkan Narit Maja dalam konteks drama, awalnya mereka kewalahan karena merasa sulit untuk memasukkannya ke naskah drama, namun itu biasa karena proses pembelajaran, itu akan lebih mudah ketika Narit Maja ini kembali familiar di kalangan masyarakat,” kata dosen sastra di UIN Ar-Ranirry ini.
Dia juga mengajak masyaratkan melestarikan Narit Maja melalui media sosial sebab jangkuannya yang luas dan cepat. Dia pun mengarahkan mahasiswa agar lebih banyak lagi meneliti tentang Narit Maja. Sehingga menstimulus kepedulian mahasiswa dan hadirnya referensi yang valid untuk bahan edukasi Narit Maja.
ADVERTISEMENT
Penulis: Harisul Amal*
Kru Liput: Awla Rajul
*Penulis merupakan peserta terpilih dalam fellowship "Merajut Indonesia Melalui Aksara Nusantara" oleh Pandi dan UNESCO