Cerita Disabilitas di Serambi Mekkah: Bisunya Simpati dan Pincangnya Sosialisasi

Harisul Amal
Mahasiswa Jurnalistik UIN Bandung. Ketua Umum Ikatan Pemuda Aceh (IKAPA) Bandung
Konten dari Pengguna
30 Oktober 2020 16:20 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Harisul Amal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seorang disabilitas menyisiri bahu jalan di Jalan T. Panglima Nyak Makam, Kecamatan Ulee Kareng, Kota Banda Aceh, Kamis (3/9/2020). Tata kota yang kurang accessible menjadi permasalahan tersendiri bagi disabilitas di Aceh. Harisul Amal / Jurnalis Warga.
Indepth News Oleh: Harisul Amal
Dengan nada sendu, Hariyan Tuah Miko (21) bercerita tentang bagaimana pandemi COVID-19 menghantam mata pencahariannya. Miko yang bekerja sebagai fotografer lepas terpaksa harus meninggalkan Banda Aceh dan kembali ke kampung halamannya di Takengon, Aceh Tengah. “Dampak dari pandemi ini kan sangat besar. Bagi orang biasa aja sulit, apalagi bagi saya seorang penyandang disabilitas,” tutur Miko yang merupakan seorang penyandang tunadaksa.
ADVERTISEMENT
Tidak bisa beraktivitas secara produktif, Miko akhirnya harus pasrah meninggalkan Banda Aceh tempatnya merantau dan menggantungkan hidup. Mengandalkan profesi fotografer, penghasilan tak menentu menjadi resiko Miko. Penghasilannya dari orderan foto produk, foto hunting dan foto wisuda menghilang satu persatu karena pandemi.
Sebelum pandemi, Miko bisa mendapat rezeki sampai dua juta rupiah. Namun, jika orderan sepi, penghasilan Miko bisa dibawah 500 ribu rupiah. “Biasanya hanya segitu bang, ditambah sekarang pandemi. Mahasiswa wisuda daring, tidak ada orang hunting, nasib saya semakin genting,” tutur Miko,
Cerita lain juga dialami pasangan suami istri penyandang disabilitas tunarungu, Supri (30) dan Ruwaidah (23). Supri berprofesi sebagai tukang parkir. Penghasilan tak menentu menjadi bagian dari kehidupan sehari-harinya. “Apalagi pas pandemi seperti ini, penghasilan makin tak menentu, bang,” kata Supri.
ADVERTISEMENT
Sehari-hari ia bekerja lebih dari 15 jam, mulai pukul 7 pagi hingga 11 malam. Uang yang didapatkan dari jaga parkir kemudian digunakan untuk keperluan sehari-hari. “Misalnya satu hari itu dapat 150 ribu rupiah, bisa jadi ke depan ada hari-hari yang tidak ada uang. Uang langsung habis untuk beli susu, popok anak, dan makan sehari-hari. Kalau sedang sepi terkadang tidak makan,” cerita Supri dibantu penerjemah bahasa isyarat, Muspita, Guru Sekolah Luar Biasa Yayasan Pembina Anak Cacat (YPAC).
Karena penghasilannya tidak stabil, saat ini Supri sedang mencari lowongan pekerjaan lain sebagai cleaning service, menurutnya kerja menjadi tukang parkir penghasilannya sedikit dan tidak menentu, terkadang untuk makan keluarga saja tidak cukup.
ADVERTISEMENT
Hal serupa diutarakan oleh istrinya, Ruwaidah. Ia sehari-hari menjadi ibu rumah tangga. Dirinya juga ingin mendapatkan pekerjaan yang tetap. Ruwaidah mengaku mempunyai keahlian karena sebelumnya pernah bekerja sebagai penjahit, namun selama pandemi ini sudah tidak lagi bekerja. “Saya punya keinginan dan mau bekerja,” ujarnya melalui penerjemah bahasa isyarat.
Menurut ketua umum Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Aceh, Hamdaniel Hanafiah, pandemi COVID-19 berdampak bagi banyak disabilitas di Aceh. Pengaruh yang dihadapi para penyandang disabilitas sangat signifikan, bahkan banyak yang kehilangan mata pencaharian.
Seperti tunanetra yang nyaris 90 persen penyandangnya bekerja sebagai juru pijat, pandemi berdampak tidak ada pasien lagi karena tidak ada yang berani datang ke klinik pijat mereka. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka hanya makan apa yang ada di rumah dan menggunakan tabungan yang tersisa.
ADVERTISEMENT
“Bukan kehilangan pekerjaan lagi, memang hancur. Karna kita kan rata-rata itu buruh harian lepas. Saya selalu menyampaikan itu, kita buruh harian lepas, kalau pemerintah bilang jangan keluar rumah, di rumah aja makan yang bergizi. Sementara kalau mereka gak ngasih ya bagaimana kami mau makan. Kita buka posko aja gak ada yang lirik kepada kita,” ungkap pria yang juga penyandang tunanetra ini saat dihubungi via daring, Selasa (6/10/2020).
Dampak yang terjadi akibat berbagai kesulitan yang dialami para penyandang disabilitas menurut Hamdaniel adalah akhirnya mereka banyak turun ke jalan untuk mengemis. Bagaimanapun mereka butuh makan, hal itu justru membuat mereka lebih rentan terpapar COVID-19. “Bagaimanapun gak mungkin berdiam diri di rumah nanti malah mati kelaparan. Jadi oleh pemerintah kadang mereka ditangkap Satpol PP. Sementara solusinya gak ada, gak bisa seperti itu dong,” serunya.
ADVERTISEMENT
Dengan berbagai permasalahan yang dialami oleh para penyandang disabilitas selama pandemi, lantas bagaimana dengan pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam protokol pencegahan COVID-19 di Aceh?
Hamdaniel selaku ketua PPDI Aceh mengeluhkan sampai saat ini tidak adanya sosialisasi khusus yang dilakukan oleh pemerintah terkait bahaya dan penanggulangan COVID-19 secara inklusif. Menurut Hamdaniel seharusnya ada cara yang berbeda dalam sosialisasi protokol COVID-19 ini, khususnya untuk tuna rungu dan tuna grahita yang jika tidak dijelaskan dengan menggunakan bahasa isyarat atau cara-cara khusus mereka akan kesulitan untuk mengerti.
Pada awal pandemi mulai merebak PPDI Aceh telah membuka posko di sekretariat mereka yang berada di Lamlagang kota Banda Aceh sejak April 2020. Selain untuk menerima bantuan, mereka juga menerima sosialisasi atau apapun informasi terkait wabah COVID-19. Namun, menurut Hamdaniel mereka tidak menerima sosialisasi apapun dari pemerintah secara inklusif kepada mereka.
ADVERTISEMENT
“Tapi kalau dari pihak lain itu ada, misalnya dari Unsyiah Fakultas Kimia. Mereka bahkan membuatkan hand sanitizer lalu membagikan kepada kami di posko sekitar 87 botol yang waktu itu diantar mahasiswa. Tapi kalau dari pemerintah tidak, padahal forumnya sudah ada kan tersedia di kita. Kalau misalnya pemerintah bilang ada sosialisasi, dimana tempatnya? Kok saya gak tahu,” ungkapnya.
Terkait dengan ini, Kementerian Sosial telah mengeluarkan edaran berupa Pedoman Perlindungan Kesehatan dan Psikososial terhadap Disabilitas untuk menjadi rujukan pemerintah dalam pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam protokol pencegahan COVID-19.
Dalam pedoman tersebut, Kementerian Sosial menekankan pentingnya mengembangkan sosialisasi resiko COVID-19 secara inklusif. Karena penyandang disabilitas dengan ragam disabilitasnya termasuk kelompok yang rentan terinfeksi COVID-19.
ADVERTISEMENT
Kebijakan pencegahan virus corona tidak serta merta dapat semua diimplementasikan kepada penyandang disabilitas. Sebagian disabilitas tidak dapat menerapkan strategi social distancing atau jaga jarak karena mereka membutuhkan pendamping. Ada pula sebagian disabilitas yang tidak dapat menghindari kontak langsung seperti sentuhan dan meraba karena itu cara disabilitas netra untuk mengetahui kondisi sekitarnya.
Ketika dikonfirmasi, Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Aceh, Taqwallah membenarkan pemerintah Aceh sampai saat ini belum dilakukan secara inklusif, melainkan baru dilakukan secara umum belum menjurus ke hal yang khusus. Namun untuk kesehatan disabilitas sendiri pemerintah telah memperlakukan sebagai kelompok rentan, yang telah disesuaikan dengan buku petunjuk Kemenkes tentang penanggulangan pandemi.
Meskipun begitu, untuk sosialisasi secara umum, pemerintah Aceh telah menerapkan berbagai kebijakan dan sosialisasi untuk penanganan COVID-19 di Aceh. Menurut Taqwallah, masalah utama dalam penanggulangan pandemi harus sekaligus dicari jalan keluar dalam memutuskan rantai penyebaran dengan berbagai cara.
ADVERTISEMENT
Pertama, kepatuhan mengikuti 3 M (Memakai masker, Mencuci Tangan, Menjaga Jarak) dan menghindari 3 T (Tempat Sempit, Tempat Ramai, dan Tempat Berjarak). Kedua, kepatuhan isolasi mandiri kalau sakit atau bergejala. Ketiga, perlindungan terhadap komorbid alias penyakit penyerta, lansia dan kelompok rentan lainnya termasuk disabilitas.
“Pemerintah dalam melaksanakan sosialisasi ketiga strategi penanganan ini dilakukan secara masif untuk semua pihak, jika masih ada keluhan sosialisasi yang masih kurang, kemungkinan yang bersangkutan perlu lebih rajin lagi dalam mengakses berita dan sosialisasi bentuk lainnya dari pemerintah” ungkap Taqwallah, Sabtu (17/10/2020).
Tidak Adanya JBI dalam Informasi dan Sosialisasi COVID-19
Memang, pemerintah Aceh secara aktif telah melakukan berbagai sosialiasi, seperti melakukan siaran keliling melalui pengeras suara di tempat-tempat keramaian, dan juga menggunakan media sosial, berupa video sosialisasi, dan lain lain.
ADVERTISEMENT
Namun sayangnya, dari sekian banyak video yang diproduksi pemerintah Aceh, tidak ada satupun yang menghadirkan Juru Bahasa Isyarat (JBI). Padahal, JBI penting untuk menerjemahkan isi pesan dalam video kedalam bahasa isyarat untuk membantu penyandang tunarungu dalam memahami pesan yang disampaikan.
Jika merujuk pada Pedoman Perlindungan Kesehatan dan Psikososial terhadap Disabilitas yang dibuat Kementerian Sosial, komunikasi pesan terkait pandemi yang disampaikan pemerintah harus dapat diakses penyandang disabilitas.
Ruwaidah selaku penyandang tunarungu mengaku tidak pernah mendapatkan informasi terkait COVID-19 dari pemerintah. Ketidakhadiran JBI dalam sosialisasi yang dibuat pemerintah bisa menjadi salah satu penyebabnya. “Taunya COVID-19 tu dari warkop-warkop dan dari tetangga bahwa covid itu penyakit yang menular. Cara melawannya dengan pakai masker, cuci tangan, gak boleh keluar, duduk di rumah aja, kalau keluar nanti akan tertular,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Menurut Hamdaniel, tidak adanya JBI ini sendiri merupakan salah satu bukti ketidakberpihakan pemerintah Aceh terhadap kebutuhan disabilitas. Ia mengungkapkan JBI sangat penting untuk para penyandang tunarungu dalam memahami informasi yang disampaikan.
“Saya bertanya-tanya apakah pemerintah tidak berpikir bagaimana cara menyampaikan informasi yang penting ini kepada teman-teman tunarungu? Mereka kan harus tau kebutuhannya apa. Mereka mengandalkan media sosial tapi tidak ada JBI, lantas apa mau harapkan dari siaran keliling menggunakan pengeras suara yang menghimbau bilang jaga jarak, pake masker, cuci tangan, dan lain lain. Mereka kan gak bisa dengar, harusnya media sosial itu dapat dimaksimalkan dengan baik,” terang Hamdaniel.
Menanggapi hal tersebut Sekda Aceh, Taqwallah berdalih karena saat ini mereka kekurangan sumber daya manusia (SDM) juru bahasa isyarat. Menurutnya, meskipun JBI penting namun tidak semua disabilitas menggunakan tenaga tersebut. Hingga saat ini mereka belum menggunakan tenaga JBI karena sosialisasi untuk disabilitas yang dilakukan masih terbatas kepada ketua-ketua yayasan disabilitas saja.
ADVERTISEMENT
Senada dengan Taqwallah, Kepala Bidang Rehabilitasi Dinas Sosial Provinsi Aceh, Isnandar mengungkapkan memang saat ini mereka belum melibatkan JBI dalam proses sosialisasi. Namun, untuk membantu disabilitas tunarungu mereka telah mempunyai yang namanya pendamping disabilitas dan juga tenaga kerja sosial kecamatan (TKSK) yang ada di setiap kecamatan.
“Namun yang jadi kendala adalah kita kekurangan pendamping disabilitas, kita hanya punya 9 orang di Aceh, makanya menjadi kendala. Idealnya harus ada minimal 22 orang pendamping disabilitas. Jadi, ada di setiap kabupaten dan kota di Aceh,” tutur Isnandar di ruang kerjanya, Rabu (21/10/2020).
Sejauh ini menurut Isnandar, cara mereka menyosialisasikan adalah melalui ketua-ketua yayasan sekalian dengan pemberian bantuan sembako. Diharapkan nantinya ketua tersebut bisa menyampaikan kepada para anggotanya.
ADVERTISEMENT
“Paling cara sosialisasinya ketika kita kasih sembako. Pake ini ya masker. Atau misal tuna rungu-wicara, dia kan gak bisa dengar, kan perlu JBI. Kita sampaikan ke orang tuanya atau keluarganya, atau pendamping disitu yang bisa bahasa isyarat,” ujarnya.
Ketika ditanya apakah ada rencana untuk menyediakan JBI dalam komunikasi publik oleh pemerintah, Isnandar mengatakan untuk saat ini belum ada. Karena tenaga JBI yang ada sedikit, maka lebih difokuskan untuk Sekolah Luar Biasa (SLB) karena anak tuna rungu di sekolah juga membutuhkan. Kalau untuk publik saat ini programnya belum ada. Namun, Isnandar tak menampik apabila nanti memang dibutuhkan, kedepannya akan coba diadakan.
Menurut pemerhati pelayanan publik dari Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan (KOMPAK)-LANDASAN, Afrizal Abdul Rasyid, kehadiran JBI ini sangat penting dalam komunikasi pesan pemerintah kepada publik. Pada hakikatnya, lanjut Afrizal, dalam penyampaian informasi itu antara penyampai dan penerima pesan bisa memahami, kalau misalnya tidak ada JBI otomatis para penyandang disabilitas tunarungu tidak akan bisa paham, meskipun sosialisasi yang disampaikan begitu bagusnya.
ADVERTISEMENT
Afrizal menegaskan persoalan ini sebenarnya adalah suatu hal yang harus dijamin pemerintah. Mengenai ketersediaan SDM pekerja sosial profesional, termasuk dalam hal ini JBI, ia menilai perlu tim yang cukup sehingga membantu segala kebutuhan-kebutuhan disabilitas, misalnya dalam urusan pengurusan berkas-berkas penting seperti KTP, KK, dan sebagainya. Maupun urusan kesehatan misalnya berobat ke puskesmas. Sehingga, tutur Afrizal, dalam hal-hal menyangkut pelayanan publik disabilitas dapat dilayani dengan baik.
Menurutnya, ini menjadi salah satu kelemahan pemerintah Aceh, dalam isu-isu tertentu terkadang sering terlewat, tidak dipikirkan secara serius. Sehingga berdampak seperti ini, ketika terjadi pandemi begini pemerintah kewalahan karena SDM yang dimiliki hanya 9 orang untuk se-provinsi yang terdiri dari 23 kabupaten/ kota.
ADVERTISEMENT
“Ini persoalan ketidakseriusan pemerintah Aceh dalam pemenuhan hak penyandang disabilitas di tengah pandemi ini. Padahal, kita punya anggaran yang besar. Apa salahnya sih merekrut tenaga profesional untuk disabilitas ini. Itu tugas mereka pun jelas sekali sebenarnya kan, misalnya ketika mereka (disabilitas) tidak paham dengan situasi ini, ketika kebutuhan mereka tidak terpenuhi, baik itu pelayanan kesehatan, pendidikan, ekonomi atau sektor lain. Tenaga ini nanti yang terjun melakukan komunikasi memberi informasi maupun melakukan advokasi untuk kebutuhan-kebutuhan tersebut,” ungkap pria asal Meulaboh ini.
Pedoman Perlindungan Kesehatan dan Psikososial terhadap Disabilitas oleh Kementerian Sosial
Polemik Bantuan Pemerintah untuk Disabilitas
Sebagai bentuk perhatian kepada disabilitas dan masyarakat yang terkena dampak ekonomi, Sekda Aceh Taqwallah mengatakan pemerintah sedang menjalankan program untuk dampak ekonomi dengan dua program yang mengikuti dari pemerintah pusat.
ADVERTISEMENT
Pertama, memberi bantuan 2,4 juta rupiah kepada pelaku usaha kecil. Taqwallah mengungkapkan Aceh mengambil kebijakan yang diberi nama Bantuan Pemerintah bagi Pelaku Usaha Mikro (BPUM). Pemerintah Aceh lewat Dinas Usaha Kecil Mikro (UKM) Aceh sudah mengusulkan sebanyak 163.884 UKM untuk memperoleh bantuan tersebut.
Kedua, memberi subsidi upah bagi pekerja. Untuk masyarakat yang terdampak karena pengurangan tenaga kerja. Taqwallah mengatakan, pemerintah juga melaksanakan program Bantuan Subsidi Upah (BUP) selama empat bulan. Setiap bulan sebanyak 600 ribu rupiah untuk jumlah penerima yang diusulkan sebanyak 49.822 orang dan sudah direalisasikan sebanyak 46.348 atau 94,32 persen.
“Disabilitas juga mendapatkan kesempatan yang sama, maka dari itu sebaiknya organisasi disabilitas agar sering melakukan komunikasi dengan Dinas Sosial Aceh untuk memanfaatkan secara makismal semua program pemerintah ini,” serunya.
ADVERTISEMENT
Sejurus dengan Taqwallah, Isnandar juga menjelaskan bahwa Dinas Sosial telah membagikan bantuan kepada disabilitas yang telah terdata oleh mereka ataupun dari pengajuan-pengajuan dari yayasan. Menurutnya, setiap disabilitas yang mengajukan itu akan diupayakan bisa dibantu. Apabila masih ada yang belum dapat, mereka mempersilahkan untuk mengajukan kepada Dinas Sosial, nanti akan di cek apakah sudah menerima atau belum, kalau belum nanti akan diberi berupa sembako.
Isnandar memberi contoh seperti bantuan kepada komunitas penyandang tunanetra yang rata-rata dulunya bekerja sebagai tukang pijat. Selama COVID-19 mereka kehilangan mata pencaharian karena orang tidak berani datang untuk pijat.
“Nah itu kita kasih bantuan ni, meskipun gak semua. Ada beberapa disabilitas yang kita kasih bantuan, sebanyak 40 orang. Untuk tahun ini, kita kasih bantuan alat pekerja dan nanti dapat alat komunikasi juga. Nah tapi terbatas, karena dana terbatas dan sudah di refocusing. Ada kita kasih perhatian, salah satunya itu biar enggak mengemis. Tapi begitu kita kasih bantuan kalau masih mengemis berarti yang bermasalah itu mentalnya. Mereka mikirnya dalam sejam dia dapat 120 ribu rupiah, itu logikanya,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan yang disampaikan pemerintah, Miko justru mengeluhkan tidak adanya bantuan yang ditujukan secara khusus untuk disabilitas, bantuan yang dibagi pemerintah hanya untuk orang secara umum. Menurut Miko seharusnya ada bantuan spesifik untuk disabilitas, ia berharap pemerintah dapat memberi perhatian lebih dan menjadikan prioritas karena penyandang disabilitas termasuk kelompok rentan.
Ia melihat, bantuan yang dikhususkan untuk disabilitas hanya terbatas bagi disabilitas di kota Banda Aceh, tetapi di daerah lain tidak ada. Ia menduga ketidakmerataan tersebut terjadi karena pemerintah provinsi tidak mempunyai data yang kongkret terkait disabilitas yang tersebar di daerah-daerah, dan juga ia menduga hal itu terjadi karena program tersebut hanya diinisiasi pemerintah kota bukan oleh pemerintah provinsi.
ADVERTISEMENT
“Di Banda Aceh ada kok daerah lain tidak, kalau saja bantuan seperti ini yang menginisiasinya pemerintah provinsi kan semua bisa dijangkau, tidak hanya disabilitas yang di ibu kota provinsi saja tetapi juga di kabupaten-kabupaten. Misal dari pemerintah provinsi saja tidak ada inisiatif, apalagi di daerah seperti tempat saya di Takengon. Kalo di daerah saya, yang saya rasakan sendiri belum ada bantuan yang diberikan secara khusus kepada disabilitas,” keluhnya.
Miko berharap agar pemerintah mendata ulang disabilitas hingga ke kampung-kampung sehingga mempunyai data yang jelas, karena di situasi seperti ini disabilitas membutuhkan bantuan dan penanganan khusus, terlebih untuk saat pandemi ini disabilitas yang kebanyakan berupa buruh harian menjadi tambah kesulitan untuk bekerja.
ADVERTISEMENT
Saat dikonfimasi terkait hal ini, Isnandar membenarkan hal tersebut bahwa saat ini hanya pemko Banda Aceh yang responsif cepat mengajukan bantuan secara khusus kepada komunitas disabilitas, untuk di daerah lain belum.
“Itu kan juga berdasarkan usulan mereka, mereka usulkan ke dewan. Ada dewan yang bersimpati, inilah dananya untuk dianggarkan. Hanya Banda Aceh, yang lain belum. Ada beberapa juga yang dananya sudah di refocusing makanya kita gak bisa kasih bantu. Iya (alasan bantuan tidak merata ke daerah), itulah anggaran yg tersedia cuma segitu. Yang lain belum diusulkan. Karena anggaran untuk disabilitas ini mungkin masih jadi prioritas yang kesekian,” aku Isnandar.
Menanggapi hal ini, Afrizal Abdul Rasyid memandang polemik ketidakmerataan seperti ini bisa terjadi karena kebijakan yang dibuat bukan oleh pemerintah provinsi. Pada akhirnya yang bergerak hanya pemerintah kota/ kabupaten yang memiliki kepedulian dan paham terhadap disabilitas dan tergerak hatinya untuk membantu.
ADVERTISEMENT
“Makanya yang penting ini ketika berbicara pandemi, yang bergerak dan menginisiasi itu pemerintah provinsi, sehingga semuanya bisa sama pergerakannya. Karena itu, saya bilang provinsi dalam hal penanganan pandemi di Aceh tidak ada sama sekali penanganan secara substansial, hanya ada urusan seremonial,” pungkasnya.
Penulis: Harisul Amal*
Kru Liput: Awla Rajul
*Penulis merupakan peserta terpilih dari "Program Jurnalisme Pelayanan Publik" oleh Kementerian PAN-RB dan Deutsche Gesellschaft fr Internationale Zusammen arbeit (GIZ) Jerman.