Konten dari Pengguna

Krisis Komunikasi: Ancaman Tersembunyi di Balik Krisis Harga Pangan

Hariz A'Rifa'i
Sarjana Pendidikan Matematika UIN Raden Intan Lampung, Magister Ilmu Komunikasi Universitas Lampung
20 Februari 2024 17:46 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hariz A'Rifa'i tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi krisis komunikasi : ancaman tersembunyi di balik krisis harga pangan. sumber (pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi krisis komunikasi : ancaman tersembunyi di balik krisis harga pangan. sumber (pixabay)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Penanganan krisis merupakan keharusan mutlak yang harus dikuasai oleh pemerintah, baik dalam hal strategi maupun pelaksanaan di lapangan. Sebuah langkah yang salah dalam menangani krisis dapat berdampak pada hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, bahkan dapat menyebabkan perpecahan (disintegrasi) sebuah negara.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanan suatu pemerintahan, sebuah negara seringkali dihadapkan pada berbagai macam persoalan serta kondisi krisis, seperti krisis ekonomi, stabilitas keamanan, kesehatan, krisis pangan dan kondisi krisis lainnya yang memiliki potensi untuk menghancurkan kondisi suatu negara.
Kenaikan harga bahan pokok telah menjadi sorotan utama sejak sebelum dan setelah Pemilu 2024. Di tengah gejolak politik yang memanas, kekhawatiran masyarakat terhadap lonjakan harga bahan pokok menjadi salah satu perhatian utama yang harus ditangani oleh pemerintah.
Sejumlah bahan pokok mengalami lonjakan harga yang signifikan, termasuk beras, bawang merah, bawang putih, minyak goreng, cabai, daging ayam, dan beberapa bahan pokok lainnya. Beberapa di antaranya bahkan telah melampaui harga eceran tertinggi (HET).
Harga beras premium naik drastis dari Rp 335.000 menjadi Rp 410.000 per 25 kg, sementara beras medium naik dari Rp 310.000 menjadi Rp 385.000 per 25 kg. Harga eceran beras medium juga melonjak dari Rp.10.000 – Rp.12.000 menjadi Rp. 17.000 per kg. Selain itu, harga ayam juga naik dari Rp 30 ribu menjadi Rp 36 ribu. Hal ini menandakan urgensi perlunya intervensi dan langkah konkret dari pemerintah untuk mengatasi situasi ini.
ADVERTISEMENT
Dua pernyataan dari pejabat terkemuka, Erik Thohir dan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, menghadapi kenaikan harga bahan pokok memunculkan perbandingan menarik. Erik Thohir menyoroti kompleksitas situasi, menyatakan bahwa kenaikan harga beras adalah bagian dari keseimbangan pasar yang rumit, di mana kepentingan petani dan konsumen saling terkait. Dia menegaskan bahwa fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan di seluruh dunia sebagai hasil dari meningkatnya harga pangan global.
"Nah ini kan kayak ayam sama telur, petani ya senang tapi harga pasaran naik. Harga pasaran turun petani ya terinjak. Ini equilibrium saja yang kita mainkan supaya semuanya bisa mendapatkan kesempatan untuk lebih sejahtera. Semua negara perlu beras, harga beras melonjak enggak cuma di Indonesia, tapi di seluruh dunia memang harga pangan sedang meningkat," ujar Erick saat memantau pasokan beras di Ramayana Klender, Senin (12/2/2024).
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengemukakan perspektif serupa ketika menghadapi kenaikan harga cabai beberapa bulan sebelumnya. Dia menggarisbawahi bahwa ketika harga cabai naik, petani sebagai produsen akan mendapatkan keuntungan. "Kalau harga cabai mahal, petani untung," ucap Zulhas. Pasar Palapa Pekanbaru, Riau, Jumat (15/9/2023).
Di waktu dan tempat berbeda baru-baru ini Presiden Jokowi lebih memberi ekspresi harapan dan keyakinan bahwa harga akan turun dalam beberapa minggu ke depan, terutama menjelang musim panen. "Nanti dilihat, saya kira akan dalam seminggu dua minggu ini, saya rasa akan sedikit turun (harganya). Sambil nunggu panen kalau panen rayanya datang, pasti sudah (menurun harganya)," kata Jokowi usai meninjau stok beras di Pasar Induk Cipinang, Jakarta Timur, Kamis.(15/02/2024)
ADVERTISEMENT
Kondisi kenaikan harga pokok dapat menyebabkan kepanikan dan masalah di masyarakat dan diprediksi akan berkepanjangan jika tidak ada langkah konkret dari pemerintah, terlebih dalam waktu dekat akan adanya momen bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri. Apabila kondisi ini berlanjut masalah yang lebih besar akan bisa terjadi, kita telah mengalami situasi serupa tahun lalu ketika harga minyak sawit melonjak tinggi, mengakibatkan panik buying dan kelangkaan.
Begitu pula saat masa pandemi COVID-19, terjadi kepanikan terkait kelangkaan alat kesehatan yang kemudian sempat terjadi caos di masyarakat. Oleh karena itu, kemampuan pemerintah dalam mengelola krisis menjadi sangat penting. Komunikasi krisis diperlukan untuk mengatasi potensi kecemasan di masyarakat.
Secara luas, komunikasi krisis merupakan proses pengumpulan, pengolahan, dan penyebaran informasi yang diperlukan untuk mengelola situasi krisis. Secara khusus, komunikasi krisis bertujuan untuk mengubah emosi kecemasan menjadi alat untuk membantu sebuah organisasi atau negara agar anggota atau masyarakatnya dapat bersama-sama menghadapi krisis. Tujuan utama dari komunikasi krisis adalah meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh krisis, membangun kepercayaan publik, menyediakan informasi yang transparan dan jelas, serta mengoordinasikan upaya pemulihan.
ADVERTISEMENT
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit mendefinisikan Komunikasi Risiko Krisis dan Darurat (CERC) yang menggabungkan komunikasi krisis dan komunikasi risiko untuk digunakan selama keadaan darurat. Adapun aspek yang harus diperhatikan dalam penyampaian komunikasi krisis adalah sebagai berikut,
ADVERTISEMENT
Penyampaian Erik Thohir dan Zulkifli Hasan sebagai perwakilan pemerintah terlihat tanpa adanya perencanaan dalam menanggapi permasalahan yang ada, selain point pertama dan kedua, empat aspek yang lainnya hampir sama sekali tak tersebut di mana terasa adanya pengabaian pada aspek empati. Tidak ada ungkapan bagaimana keprihatinan pemerintah terhadap kesulitan yang dialami masyarakat hari ini terlihat jelas pada ekspresi yang muncul pada penyampaian para tokoh tersebut.
Mereka berbicara dengan santai dan tertawa ketika menanggapi pertanyaan wartawan, sepanjang statement yang disampaikan pun tidak terselip rasa empati terhadap kondisi masyarakat yang mengalami kesulitan akibat hal tersebut.
Padahal tanpa komunikasi yang empati yang mengakui adanya emosi yang negatif di tengah masyarakat pemerintah tidak bisa menunjukkan kalau kepentingannya sama dengan kepentingan publik. Presiden Jokowi yang memberi statement paling akhir nyatanya juga tidak memberi point yang lebih baik dari kedua menterinya.
ADVERTISEMENT
Menunjukkan keberpihakan terhadap masyarakat dalam menghadapi krisis akan membantu pemerintah dalam menangani situasi yang ada. Rasa aman dan keyakinan bahwa pemerintah akan segera melakukan penanganan yang terencana dan efektif akan menekan ekspresi dan perilaku masyarakat yang tidak perlu, mengurangi kepanikan yang mungkin timbul.
Namun, situasinya menjadi berbeda pada hari ini, di mana pihak yang bertanggung jawab dalam menangani masalah cenderung meremehkan keadaan krisis yang sedang terjadi. Kenaikan harga bahan pokok dianggap sebagai siklus normal dan dianggap tidak perlu mendapat respons berlebihan, karena diharapkan harga akan turun dengan sendirinya seiring peningkatan pasokan.
Narasi tersebut tidak hanya mengabaikan kesulitan yang sedang dihadapi masyarakat, tetapi juga menyederhanakan tanggung jawab pemerintah dalam menstabilkan harga-harga bahan pokok. Melemparkan permasalahan dan solusi pada kondisi di luar kewenangan hanya terlihat sebagai upaya pembelaan dari pemerintah bahwa mereka tidak bersalah.
ADVERTISEMENT
Namun, pada saat yang sama, masyarakat tidak hanya mempertimbangkan siapa yang salah, melainkan juga solusi cepat apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk membantu mengatasi kesulitan yang mereka hadapi.
Dampak dari komunikasi krisis yang salah tercermin dari penanganan awal pandemi COVID-19 di Indonesia sekitar tiga tahun yang lalu. Pada awal tahun 2020, hampir semua pemangku kepentingan memberikan respons yang ringan dan terkesan meremehkan seriusnya pandemi ini. Contohnya, Menteri Kesehatan saat itu, Terawan, menyatakan, "Di era keterbukaan ini tidak ada yang ditutup-tutupi. Perkara Indonesia itu tidak ada (corona), itu berkat Yang Maha Kuasa dan percaya itu doa kita semua, kita enggak mengharapkan untuk ada," di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, pada Selasa (11/2/2020).
ADVERTISEMENT
Selain itu, terdapat berbagai tanggapan lain dari para menteri dan bahkan Presiden Jokowi, yang saat itu menganggap COVID-19 hanya sebagai flu biasa, dengan keyakinan bahwa udara panas di Indonesia membuat virus COVID-19 tidak dapat bertahan hidup, serta banyak pernyataan lainnya. Namun, belakangan Presiden Jokowi mengakui bahwa pemerintah tidak mengungkapkan kondisi sebenarnya kepada publik demi menghindari kepanikan.
Dampak dari komunikasi yang tidak tepat dalam menangani krisis pada saat itu menyebabkan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap penerapan protokol kesehatan rendah pada awal masa pandemi. Meskipun pencegahan kepanikan menjadi alasan, upaya tersebut tidak berhasil terkendali ketika virus mulai menyebar secara masif dan menimbulkan banyak korban jiwa. Terjadilah kepanikan yang luar biasa di masyarakat. Harga bahan pokok meningkat, alat-alat kesehatan habis dibeli karena panik belanja, bahkan terjadi kekacauan di masyarakat dalam merebut stok masker.
ADVERTISEMENT
Jika pemerintah memperhatikan aspek-aspek komunikasi krisis sejak awal, rasa kebersamaan dan empati masyarakat terhadap kondisi yang ada akan dapat menghasilkan kerja sama yang baik antara masyarakat dan pemerintah tanpa menyebabkan kekacauan. Hal tersebut dapat dilihat pada masa akhir pandemi ketika masyarakat yang sudah teredukasi dengan baik berjuang bersama melalui pandemi.
Banyak kisah haru yang kita saksikan, seperti saling berbagi antar masyarakat, aksi solidaritas membantu korban, dan banyak hal lainnya. Ini membuktikan bahwa jika pemerintah memberikan informasi yang tepat selama krisis, kondisi tersebut dapat dihadapi dengan lebih baik.
Dalam menanggapi kenaikan harga bahan pokok, pemerintah perlu memperbaiki strategi komunikasinya. Komunikasi yang efektif dan empatik menjadi kunci dalam mengelola situasi krisis seperti ini, penyampaian informasi yang akurat, transparan, dan mengedepankan kepentingan serta kebutuhan masyarakat dengan pesan-pesan yang mencerminkan empati dan perhatian terhadap kesulitan yang dihadapi oleh rakyat, serta memberikan jaminan bahwa langkah-langkah konkret sedang diambil untuk mengatasi masalah tersebut.
ADVERTISEMENT
Komunikasi yang efektif, empatik, dan transparan akan membantu membangun kepercayaan masyarakat dan mengurangi ketegangan serta kekhawatiran yang ada di tengah krisis yang melanda.
Sebagai perenungan, pemerintah seharusnya lebih berhati-hati dan memperbaiki komunikasi publiknya dalam menyampaikan setiap kebijakan dan menangani masalah yang ada. Penting bagi pemerintah untuk menghasilkan informasi yang akan disampaikan secara matang agar setiap pernyataan spontan yang muncul nantinya dapat diakomodasi oleh publikasi informasi resmi dari pemerintah.