Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.1
Konten dari Pengguna
5 Tahun Menghilang, Kodok Merah Muncul Lagi di Gunung Salak saat COVID-19
5 Juni 2020 14:22 WIB
Tulisan dari Harley B Sastha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Jadi, selama pandemi COVID-19, petugas tetap bertugas seperti biasa. Melakukan pengawasan kawasan dan monitoring. Kemarin, tanggal 3 Juni, saat tim survey Kehati melakukan monitoring di bagian sisi timur Gunung Salak, jelang tengah malam, pertama kalinya, setelah 5 tahun, Kodok Merah, kembali muncul,” cerita Kepala Balai TNGHS Ahmad Munawir, pada pagi hari, Jumat (5/6).
ADVERTISEMENT
Kemunculan satwa langka dari jenis amfibi tersebut tentu menjadi kabar yang sangat menggembirakan, di tengah-tengah situasi pandemi COVID-19 yang masih terjadi.
Nah, untuk kamu ketahui hingga saat ini, seluruh kawasan konservasi di Indonesia, seperti Taman Nasional (TN), Taman Wisata Alam (TWA) dan Suaka Margawatwa (SM), sejak awal bulan Maret 2020, di tutup untuk umum, khususnya kunjungan wisata alam. Termasuk TN Gunung Halimun Salak (TNGHS). Hal tersebut dilakukan untuk memutus mata rantai dan menghindari munculnya cluster baru penyebaran Pandemi COVID-19.
Pada masa penutupan yang sudah berlangsung hampir tiga bulan, ternyata membawa dampak positif yang cukup signifikan dengan aktivitas dan perilaku satwa di kawasan-kawasan tersebut. Juga, munculnya satwa-satwa ditempat yang selama ini sebelumnya ramai oleh aktivitas manusia.
ADVERTISEMENT
Salah satunya, sebagaimana yang diceritakan oleh Munawir. Kemunculan Kodok Merah (Leptophryne cruentata), pada Rabu (3/6), pukul 23.00 WIB. Begitu melihatnya, tim kemudian memastikan ciri dan karakteristiknya. Pola warna kulit pada tubuhnya berupa bintik yang dominan berwarna merah seperti darah, menjadi salah satu bukti, kalau amfibi tersebut jenis Kodok Merah atau Bleeding toad.
Kepastian spesies Kodok Merah (Leptophryne creuntata), Tschudi, (1838) berdasarkan bentuk morfologinya sebagaimana yang dideskripsikan oleh T. Iskandar dalam bukunya ‘Amfibi Jawa Bali’ halaman 42, yang menyebutkan, bahwa warna Kodok Merah: hitam dengan bercak merah dan kuning dengan dua macam bentuk. Pertama terdiri dari individu-individu dengan tanda jam pasir, pinggiran merah dan kuning di tengah-tengah hitam. Jenis kedua terdiri dari individu-individu dengan bercak kuning tersebar di seluruh warna hitam. Bagian bawah berwarna kemerahan atau ke kuningan.
Menurut cerita Munawir, ditengah Pandemi COVID-19, aktivitas pengelolaan kawasan di TNGHS, tetap dilaksanakan. Walaupun dilakukan secara terbatas dan hanya dengan tujuan tertentu.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, monitoring satwa liar dan habitatnya tetap dilakukan dengan mengikuti protokol Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan ‘New Normal’. Setidaknya, sejak ditutup pada awal Maret lalu, berdasarkan pengamatan lapangan, beberapa jenis satwa liar terlihat pada lokasi-lokasi Objek Daya Tarik Wisata Alam (ODTWA) di kawasan TNGHS. Diantarnya: Macan Tutul di Blok Loji, Owa Jawa di Blok Sukamantri, kelahiran Elang Jawa di Blok Betung Lega dan terakhir, beberapa hari lalu, perjumpaan Kodok Merah di Blok sisi timur Gunung Salak.
“Sebelumnya satwa-satwa ini sangat sulit dijumpai di area-area tersebut dikarenakan adanya kunjungan dan aktifitas pengunjung di wilayah tersebut yang cukup tinggi,” kata Munawir.
Sebenarnya, berdasarkan catatan terakhir, Kodok Merah, dijumpai ditempat yang sama pada 2015. Lalu, survery intensif yang dilakukan Balai TNGHS, sejak akhir 2018, belum menunjukkan hasil yang positif. Itulah karenanya, perjumpaan Kodok Merah kali ini, menjadi sangat penting bagi pengelolaan kawasan TNGHS.
ADVERTISEMENT
Untuk sebaran utama Kodok Merah (Leptophryne cruentata), dari hasil penelitian, habitatnya berada di TN Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan TN Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Namun, catatan perjumpaan di kawasan TNGHS hingga saat ini, belum cukup banyak.
Perbedaan Kodok Merah di TNGHS dan TNGGP dengan Kodok Merah di TNGC dan Gunung Slamet
Menariknya, Kodok Merah juga dijumpai di TN Gunung Ciremai (TNGC), Jawa Barat dan Gunung Slamet, Jawa Tengah. Namun, ternyata di kedua kawasan ini, merupakan dari sub spesies yang berbeda.
Menurut Amir Hamidy, peneliti taksonomi herpetologi di Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Spesies baru kodok yang berhasil diungkap di kawasan Gunung Ciremai, nama latinnya Leptophryne javanica.
Hamidy yang merupakan penulis utama studi Riset soal Leptophryne javanica yang terbit dalam jurnal Zootaxa edisi 26 Juli 2018 berjudul ‘Detection of Cryptic taxa in the genus Leptophryne (Fitzinger, 1843) (Amphibia; Bufonidae) and the description of a new speCies from Java, Indonesia’, mengatakan pada Leptophryne javanica, bintil pada tubuhnya dominan berwarna kuning.
ADVERTISEMENT
Kodok Merah. Penamaannya merujuk kepada bentuk morfologi, seperti penjelasan dalam buku Amphibi Jawa Bali, yang ditulis T. Iskandar.
Dikutip dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), melalui artikel ZOOTAXA nomor 4450 (4): 427-444, LIPI memberikan hasil pengujian labotarium terhadap genetik, suara dan morfologi, bahwa kodok merah yang di TNGC adalah spesies baru yang berbeda dengan kodok merah yang ada di TNGHS dan TNGGP. Spesies yang ada di gunung Ciremai sama dengan yang ada di Gunung Slamet. Spesies baru tersebut di namakan Leptophryne javanica sp
Jadi, walaupun namanya sama-sama Kodok Merah, tetapi, yang hidup di TNGHS dan TNGGP berbeda dengan yang di TNGC dan Gunung Slamet.
Dampak Positif Penutupan Kawasan Konservasi pada Masa Pandemi COVID-19
ADVERTISEMENT
Kembali pada cerita Munawir, melalui perjumpaan Kodok Merah dan beberapa perjumpaan satwa liar lainnya di kawasan TNGHS, menunjukkan hal positif bagi kelestarian populasi satwa liar.
“Walaupun, kami belum dapat menyimpulkan secara pasti bahwa kemunculan beberapa satwa liar yang langka dan endemik di area-areal yang biasanya sulit untuk ditemukan merupakan dampak positif dari penutupan objek wisata di TNGHS,” kata Munawir.
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan selama hampir tiga bulan penutupan kawasan di masa pandemi COVID-19, menurut Munawir, hal tersebut dapat menjadi catatan penting.
“Sebelumnya, kan selama ini yang rutin ditutup setiap tahun pada waktu tertentu, hanya jalur pendakian. Ke depan, sepertinya destinasi wisata alam lain, selain pendakian, juga perlu dilakukan penutupan. Agar alam mempunyai waktu untuk beristirahat dan recovery,” sambung Munawir.
Berkurangnya atau bahkan dapat dikatakan benar-benar terhentinya aktivitas manusia pada tempat-tempat tersebut, membuat satwa-satwa merasa lebih nyaman. Sehingga menurut instingnya, mereka pun kembali, seolah merasakan kebebasannya, tanpa rasa takut atau terusik.
ADVERTISEMENT
“Kami juga ingin menyampaikan, bahwa Pandemi COVID-19, bukanlah halangan, untuk kami terus bekerja. Melakukan penjagaan kawasan dan monitoring satwa liar di habitatnya, hasilnya kami berhasil mencatat satwa-satwa langka yang biasanya sulit dijumpai. Selanjutnya, dalam menghadapi kondisi ‘New Normal’, Balai TNGHS tengah menyusun prosedur kunjungan dengan harapan aktivitas ekowisata dan kelestarian satwa liar dapat berjalan beriringan,” tutup Munawir.
Kodok dari family Bufonidae ini merupakan satu-satunya satwa pada kelas amfibi yang dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi.
Sedangkan, menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN), Kodok Merah masuk dalam status sangat terancam punah (critically endangered). Artinya, satu tingkat di bawah punah (extinct di the wild).
ADVERTISEMENT
Nah, gimana sobat Kumparan, semakin bangga dong tentunya. Bukan hanya alamnya saja yang memiliki bentang dan lanskap yang ajaib dan memesona, tetapi keanekaragaman hayati yang ada di dalam taman nasional juga begitu kaya. Jadi, yuk jaga bersama keberadaan dan kelestariannya. Lakukan aktivitas di dalamnya dengan baik, benar dan bijak. Jangan menerabas batas-batas pelestarian alam.