Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Alasan Pendakian Gunung Tidak Bisa Diselenggarakan Secepatnya di Masa New Normal
16 Juni 2020 22:21 WIB
Tulisan dari Harley B Sastha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Kalau nanti ada pendaki yang kecelakaan di puncak gunung dengan ciri-ciri menunjukkan gejala terpapar COVID-19, bagaimana penanganannya. Akan merepotkan regu penyelamat dan tenaga kesehatan pastinya. Karena, misalnya diharuskan memakai alat pelindung diri (APD) lengkap, sesuai standar pencegahan penyebaran COVID-19, termasuk pakai hazmat. Belum lagi harus menempuh medan pendakian yang tidak mudah. Lalu, berapa banyak tim penyelamat atau petugas yang siap untuk menanganinya.
ADVERTISEMENT
Itu baru satu dari sekian banyak hal yang menjadi pertimbangan, kenapa aktivitas pendakian gunung tidak bisa diselenggarakan secepatnya. Walau bagaimanapun, pendakian gunung merupakan salah satu aktivitas ekstrem. Persiapan fisik, pengetahuan, perlengkapan dan peralatan serta perbekalan, harus benar-benar disiapkan secara matang. Pada masa pandemi seperti saat ini, tentu persiapan akan semakin bertambah dan lebih ketat lagi. Karena, harus mengikuti protokol pencegahan penyebaran COVID-19.
Nah, dalam situasi masa pandemi COVID-19 yang hingga hari ini di Indonesia masih tinggi tingkat penyebarannya, tentu tidak bisa secara gegabah begitu saja diselenggarakan. Prinsipnya harus ada kehati-hatian.
Bayangkan, jika, ada satu saja pengunjung atau pendaki gunung yang diketahui positif, otomatis kawasan dan kampung atau desa-desa di sekitarnya akan langsung dijaga ketat. Kemudian, dilakukan tracing, riwayat aktivitas yang positif COVID-19 tersebut selama di destinasi pendakian. Seperti, dengan siapa saja berinteraksi, sempat beristirahat di basecamp mana, makan serta minum di warung mana dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Sebagai pendaki gunung, tentu keinginan untuk mendaki gunung sangat tinggi. Terlebih, sudah tiga bulan, tidak melakukan pendakian, karena berbagai destinasi wisata alam, termasuk pendakian gunung ditutup, guna mencegah penyebaran COVID-19. Bahkan, termasuk kemping pun tidak bisa.
Tetapi, apakah sebagai pendaki, demi ego pribadi, ingin melepas rindu untuk mendaki gunung, akhirnya tidak mempedulikan kesehatan, keselamatan dan keamanan komunitas masyarakat lokal, staft dan petugas pengelola beserta mitra dan volunteer di destinasi pendakian. Karena kesehatan, keselamatan dan keamanan mereka, semua juga tergantung dari pengunjung atau pendaki. Ingat, masing-masing dari pengunjung atau pendaki dan mereka mempunyai potensi yang sama, saling menulari dan tertular.
Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), penularannya terjadi begitu cepat dan berlangsung secara masif, sejak kemunculannya pertama kali diketahui di Wuhan, China pada akhir tahun 2019. Lalu, menyebar keseluruh dunia, melalui pergerakan manusia dengan segala aktivitasnya.
ADVERTISEMENT
Selama pandemi COVID-19 berlangsung, tatanan kehidupan masyarakat di seluruh dunia pun perubahan, termasuk di Indonesia. Terjadi pada semua aspek dan aktivitas hingga berimplikasi pada perubahan perilaku masyarakat. Semua menjadi terbatas dan dibatasi. Dituntut untuk lebih disiplin. Walau dalam perjalanannya masih banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran.
Tidak terkecuali, adaptasi pola perilaku baru terkait kehati-hatian dalam melakukan kegiatan mendaki gunung oleh masyarakat dan dalam penyelenggaraan kegiatan mendaki gunung oleh pengelola kawasan serta yang harus dilakukan pendaki.
Jangan pernah berpikir, kondisi saat ini akan sama seperti sebelum pandemi COVID-19 terjadi. Semua sangat berbeda. Banyak kebiasaan baru yang sekarang ini harus dijalani. Seperti, kebiasaan memakai masker, mencuci tangan dengan air dan sabun, menjaga jarak, menghindari kontak fisik, tidak dapat melakukan kegiatan yang sifatnya membuat kerumuman dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Tetapi, ada yang menarik disini, penutupan sementara selama tiga bulan, kawasan-kawasan wisata alam yang selama ini ramai dikunjungi manusia, ternyata justru memberi kesempatan kepada alam ruang dan waktu untuk beristirahat memulihkan dirinya secara alami.
Landskap kawasan yang alamnya terlihat menjadi lebih fresh dan segar. Munculnya satwa-satwa liar pada tempat-tempat yang selama ini ramai pengunjung. Seperti, kemunculan beberapa satwa di Taman Nasional (TN) Gunung Halimun Salak: Kodok Merah – satwa langka jenis amfibi – setelah lima tahun tidak terlihat, sekelompok Surili di Bumi Perkemahan (Buper) Sukamantri dan Loji, Macan Tutul di Buper Loji.
Tiga ekor Ajag yang melakukan perburuan mangsa saat pagi hari dan serombongan burung Merak yang nyaris berbaris sebanyak 30-70 ekor secara bersamaan. Beberapa sarang penyu sisik di kawasan TN Kepulauan Seribu. Burung Maleo yang tiap hari ke lokasi peneluran alami di TN Bogani Nani Wartabone. Beberapa beruang madu yang tertangkap kamera trap yang sengaja dipasang di areal wisata kawasan TN Kutai. Dan masih banyak lagi informasi-informasi sejenis. Bahkan, kejadian ini, bukan hanya terjadi di Indonesia, beberapa negara lain di dunia juga melaporkan hal yang sama.
Jadi, sekali lagi, dalam menyikapi ini, baik itu pengelola, maupun pendaki gunung, harus sangat ekstra hati-hati sebelum memutuskan penyelenggaraan pendakian gunung. Pastikan, aspek kesehatan, keamanan dan keselamatan terkait aktivitas pendakian gunung di tengah-tengah gaung ‘New Normal’ yang semakin menggema terpenuhi. Jangan sampai ‘New Normal’ itu menjadi new normal dalam arti menimbulkan epicentrum baru.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, protokol aktivitas pendakian gunung ‘New Normal’ di masa pandemi guna mencegah penyebaran COVID-19 harus sudah siap. Dan, dimengerti, dipahami dan jalani secara disiplin oleh semua pihak yang terlibat dalam aktivitas pendakian. Sebelum semua itu terpenuhi, otomatis penyelenggaraan pendakian gunung pun belum bisa dinyatakan siap.
Seharusnya pandemi COVID-19, dapat mengubah cara pandang para penggiat alam terbuka, termasuk pendaki gunung, dalam melakukan kegiatan di alam terbuka. Menjadi pendaki yang cerdas: disiplin dan berfikir yang dapat menekan ego, menghitung manfaat atau mudharat dan memberi nilai plus untuk alam dan peduli pada masyarakat atau komunitas lokal.
Juga dapat bertanggung jawab yang dalam arti bijak berkegiatan dan meghindari atau meniminalisir dampak negatif terhadap alam dan masyarakat lokal
Saya mengutip ucapan menarik dari Wali Kota Tangerang Airin Rachmidiany, yang dikatakannya beberapa waktu lalu: “Setiap orang, memiliki tanggung jawab kesehatan diri sendiri dan tanggung jawab kesehatan orang lain.”
ADVERTISEMENT