Begini Cerita Mereka Tentang Gunung Semeru yang Dirindu

Harley B Sastha
Book Author, Travel Writer, Mountaineer, IG-Twitter: harleysastha, Youtube: Harley Sastha
Konten dari Pengguna
8 Desember 2020 10:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Harley B Sastha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ranu Kumbolo, salah satu tempat yang menjadi favorit para pendaki. Foto: Harley Sastha (2013)
zoom-in-whitePerbesar
Ranu Kumbolo, salah satu tempat yang menjadi favorit para pendaki. Foto: Harley Sastha (2013)
ADVERTISEMENT
Mendaki melintas bukit
Berjalan letih menahan berat beban
Bertahan di dalam dingin
ADVERTISEMENT
Berselimut kabut Ranu Kumbolo
Menatap jalan setapak
Bertanya-tanya sampai kapankah berakhir
Mereguk nikmat cokelat susu
Menjalin persahabatan dalam hangatnya tenda
Bersama sahabat mencari damai
Mengasah pribadi mengukir cinta
Itulah penggalan bait lagu berjudul Mahameru milik grup band Dewa 19, yang hits tahun 90-an. Saat mendaki Semeru medio tahun tersebut, di sepanjang jalan, saya bersama teman-teman seperjalanan pun mendendangkannya. Liriknya menceritakan gambaran pendakian gunung Semeru dengan keindahan alamnya serta persahabatan yang terbangun di dalamnya.
Semeru yang mempunyai ketinggian 3.676 meter di atas permukaan laut (mdpl), selain menjadi gunung tertinggi di Jawa, juga merupakan satu dari tujuh puncak tertinggi di Indonesia yang mewakili 5 pulau besar dan 2 kepulauan. Sejak lama, kawasan Semeru memang terkenal akan alamnya yang cantik dan mempunyai tempat tersendiri bagi masyarakat sekitarnya dan penganut Hindu.
Trek punggungan berpasir menuju puncak Mahameru terlihat dari Kalimati. Foto: Harley Sastha (2013)
Saya yang pernah mendakinya beberapa kali, selalu dibuat terkesan oleh keelokan lanskap alamnya. Salah satu tempat yang lengkap untuk bertualang. Alam dan budaya menyatu harmoni di sini.
ADVERTISEMENT
Setiap orang yang pernah mendaki Semeru, punya cerita dan kenangannya sendiri-sendiri. Dan, semuanya berharap dapat kembali mendakinya. Namun, sekitar sepekan lalu atau akhir November 2020, Semeru mengalami erupsi. Aktivitas pendakian pun ditutup kembali hingga batas waktu yang belum ditentukan oleh pengelola Balai Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Padahal, baru beberapa waktu sebelumnya dibuka, setelah ditutup karena pandemi COVID-19.
Medina Kamil, eks host program acara petualangan di salah satu stasiun tv, mempunyai cerita dan kenangan sendiri dengan Semeru. Setidaknya, dirinya telah mendakinya hingga lima kali.
“Tahun 2006, pertama kalinya mendaki gunung Semeru. Waktu itu suasananya masih enak banget. Yang, paling gue suka dari Semeru itu, merupakan salah satu gunung yang mempunyai pemandangannya yang bagus banget. Terutama pasti, Ranu Kumbolo yang terkenal indah dan mudah dijangkau. Tidak perlu terlalu lama banget untuk sampai di danau tersebut. Treknya juga tidak terlalu sulit. Jadi, bisa dibilang, untuk melihat keindahan gunung dengan pemandangan danau, savana dan perbukitan yang mudah dijangkau, pilihannya ya Semeru,” cerita Medina melalui sambungan ponsel.
ADVERTISEMENT
Menurut wanita yang juga merupakan salah satu anggota tim Jelajah 54 Taman Nasional Indonesia, semua yang ada di Semeru terlihat bagus. Dirinya pun sampai bingung untuk mengungkapkannya.
“Terlebih sekarang akses untuk ke gunung yang menjadi bagian dari Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, semakin mudah dan jalannya sudah cukup bagus. Kalau dihitung-hitung, sudah 5 kali, gue ke Semeru,” sambungnya.
Menurut pemilik toko peralatan kegiatan luar ruang Gudang Alam, Semeru itu selalu bikin kangen. Namun, sebenarnya, hanya pada pendakiannya yang ke empat, dirinya menginjakkan kaki di titik tertingginya, puncak Mahameru.
“Sebenarnya, tujuan ke Semeru tidak harus mencapai puncaknya. Karena, begitu sampai Ranu Kumbolo dan Oro-oro Ombo saja, untuk gue sudah cukup puas. Waktu itu, pada 2006, gue ikut porter untuk mancing ikan di Ranu Kumbolo, asyik banget. Nah, terakhir gue ke Semeru itu pada 2018. Terasa banget bedanya, lebih ramai. Banyak banget orang, di sepanjang jalur pendakian sampai areal camp di Ranu Kumbolo dan Kalimati. Namun, sayangnya masih ada sebagian pendaki yang tidak peduli dengan lingkungannya. Buang sampah dan pup seenaknya,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
“Sebenarnya, dengan ditutupnya Semeru sementara untuk aktivitas pendakian sekarang ini, gue sih malah senang. Menurut gue, itu selalu punya cara untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Gue menganggap, gunung itu makhluk hidup juga. Mungkin dengan cara erupsi, gunung tersebut sedang memulihkan dirinya. Karena, mungkin dengan alamnya yang sudah kotor, terlalu banyak orang yang naik, tetapi kelakuannya pada alam sembarangan. Jadi, mungkin ini menjadi salah satu cara untuk pengelola untuk benar-benar menerapkan pembatasan aturan dan kuota yang ketat,” sambungnya lagi.
Salah satu pesona dari landskap alam Semeru. Foto: Harley Sastha (2013)
Sementara itu, dalam Group WhatsApp Bigadventure Family, beberapa anggotanya menceritakan sedikit kenangan menarik dan harapannya untuk Semeru. Seperti Ade Surya Fadhilah yang mengatakan dua bulan setelah turun dari Semeru, dirinya putus dengan pacarnya. Sedangkan, Hermansyah, mempunyai kenangan, pertemauan dengan pendaki dari Malaysia, saat turun dari puncak Mahameru.
ADVERTISEMENT
Selain kenangan, Hermansyah juga mempunyai harapan dengan peristiwa erupsinya Semeru. Menurutnya, di balik bencana erupsi ada berkah sangat besar. Salah satunya tanah yang akan semakin subur dan bahan mineral yang keluar dari perut bumi.
“Yang terpenting, semoga saudara kita yang terdampak diberi kesabaran dan keselamatan,” begitu pesan Hermansyah.
Salah satu sudur Ranu Kumbolo yang jadi tempat favorit para pendaki. Foto: Harley Sastha (2013)
Sedangkan Tuti Haryantini, punya cerita menarik saat mendaki Semeru bersama putranya, pada tahun 2010. Menurutnya, anaknya yang bernama Muhammad Fadhil, saat itu usianya 10 tahun. Dan Semeru menjadi gunung kedua yang didakinya, setelah gunung Salak.
“Bahagia rasanya saat mendaki Semeru berdua dengan anak saya dan teman-teman yang lain. Menyenangkannya, Fadhil, terlihat happy, karena dirinya merasa inilah petualangannya dia. Mulai perjalanannya dari Jakarta hingga Desa Ranu Pane. Lalu, trekking sampai Ranu Kumbolo. Pengalaman yang cukup berat, saat kita mulai mendaki dari Kalimati sampai puncak Mahameru. Karena harus dimulai saat pagi dini hari, sekitar pukul empat. Perjalanan selama lima jam dengan medan yang terjal dan berpasir serta suhu dingin, menjadi perjuangan sendiri untuk Fadhil. Tertatih-tatih dan terkadang Fadhil nangis. Namun, dia tetap ingin melanjutkan pendakian. Hingga akhirnya, setelah lima jam, kita tiba di puncak, tepat sekitar pukul sembilan pagi,” cerita wanita yang juga akrab dipanggil TJ.
ADVERTISEMENT
Menurut wanita berambut pendek yang sudah hobi mendaki gunung sejak muda ini, walaupun terkadang ada rasa marah, emosi dan lainnya, akhirnya tetap sampai di puncak Mahameru. Dan, Fadhil pun merasakan sangat happy. Terlihat jelas dari senyumannya, saat memegang bendera merah putih bersama-sama.
Tuti Jail saat berada di gunung. Foto: https://www.instagram.com/tuti_jail/
“Jadi, itu salah satu saat-saat yang paling membahagiakan saya, karena, melihat anak saya, sampai di puncak gunung Semeru. Kebahagiaan yang tidak bisa terbayarkan. Saya dapat menginjakkan kaki di puncak Mahameru bersama putra saya. Perjalan turun pun tidak kalah beratnya untuk saya, yang saat itu sudah memasuki usia 48 tahun dan Fadhil 10 tahun. Dan akhirnya sampai kembali di Ranu Kumbolo. Begitu berartinya pendakian Semeru ini, membuat cerita pendakian ini terbawa terus hingga setahun,” sambungnya.
ADVERTISEMENT
Melihat kondisi Semeru sekarang, Tuti berharap tidak terjadi erupsi yang lebih besar lagi hingga dapat memaksa orang-orang yang ada di sekitarnya untuk mengungsi. Cukup erupsi kecil saja, sehingga tetap aman. Karena, lingkungan Semeru itu sangat indah. Khususnya kawasan Ranu Kumbolo. Menurutnya, kalau ada kesempatan, akan kembali mendaki ke sana. Ia juga berharap, para pendaki dapat menjaga kebersihan dan kelestarian Semeru. Sehingga, semua orang dapat menikmatinya.
Kita semua berharap, erupsi semeru yang terjadi saat ini, tidak berlangsung lama dan hanya geliatnya sesaat. Jadi, biarkan saja Semeru demikian dulu. Karena, setelahnya tanah sekitar kawasan Semeru akan menjadi lebih subur sebagai media bertani masyarakat sekitarnya yang telah beratus tahun merasakan keberkahan tersebut.
Para pendaki saat menanti matahari terbit di puncak Mahameru. Foto: Harley Sastha (2013).