Begini Perjalanan Sejarah 10 Agustus sebagai Hari Konservasi Alam Nasional

Harley B Sastha
Book Author, Travel Writer, Mountaineer, IG-Twitter: harleysastha, Youtube: Harley Sastha
Konten dari Pengguna
10 Agustus 2022 15:56 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Harley B Sastha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pantai Karang Sewu, Taman Nasional Bali Barat (2016). Foto: Harley Sastha.
zoom-in-whitePerbesar
Pantai Karang Sewu, Taman Nasional Bali Barat (2016). Foto: Harley Sastha.
ADVERTISEMENT
Tahukah kamu, kalau hari ini, 10 Agustus, sejak 13 tahun lalu diperingati sebagai Hari Konservasi Alam Nasional yang kemudian disingkat menjadi HKAN loh. Ini ditetapkan oleh Presiden RI kala itu, Soesilo Bambang Yudhoyono melalui Keppres No.22 tahun 2009.
ADVERTISEMENT
Sejak diperingati untuk pertama kalinya hingga kini, berbagai rangkaian kegiatan ‘berbau’ konservasi dengan tema yang berbeda diusung setiap tahunnya. Sebagaimana HKAN 2022 yang jatuh pada Rabu (10/082022), mengambil tema “Amertha Taksu Abhinaya” yang bermakna ”Memulihkan Alam Untuk Masyarakat Sejahtera”.
Nah, momen HKAN itu sendiri sebenarnya mempunyai tujuan sebagai alarm atau pengingat untuk kita semua, mengenai pentingnya menjaga konservasi alam untuk kesejahteraan masyarakat. Selain itu, HKAN juga mengajak seluruh elemen masyarakat untuk ikut berperan aktif dalam menyelamatkan ekosistem alam agar terus berkelanjutan.
Intinya sih, bagaimana menjadikan konservasi menjadi bagian dari life style atau gaya hidup dan budaya kita sehari-hari. Banyak banget loh yang bisa kita lakukan untuk mendukungnya. Seperti di antaranya: mengurangi sampah plastik dengan selalu membawa botol air minum sendiri atau tumbler, kantong belanja atau tote bagi, selalu membuang sampah pada tempat yang seharusnya, menerapkan prinsip Leave No Trace atau etika dalam melakukan kegiatan di luar ruang atau wisata alam dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Sejarah Hari Konservasi Alam Nasional
Walaupun baru mulai diperingati pada 10 Agustus 2009, sebenarnya, sejarah perjalan konservasi alam di Indonesia, sudah panjang banget. Sudah lebih dari 100 tahun. Sebagaimana dilansir dari catatan sejarah Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), sudah dimulai sejak masa pemerintahan Hindia Belanda. Dan, sejarah ini, tidak bisa lepas dari nama Dr. Sijfert Hendrik Koorders (1863 – 1919).
Ilmuwan peranakan Belanda yang lahir di Bandung tersebut, merupakan pendiri dan ketua pertama Perkumpulan Perlindungan Alam Hindia Belanda (Netherlandsch Indische Vereenigin tot Natuurbescherming) – semacam organisasi pecinta alam yang mempelopori dan mengusulkan kawasan-kawasan dan jenis-jenis flora fauna tertentu, pembuatan peraturan-peraturandan berbagai tulisan dari hasil penelitian tentang perlindungan alam (jenis satwa dan tumbuhan). Salah satu tujuannya: menggugah Pemerintah Hindia Belanda yang selalu menitikberatkan pengelolaan hutan hanya untuk kepentingan ekonomi belaka.
ADVERTISEMENT
Berdiri pada 22 Juli 1912, Netherlandsh Indische Vereeniging Tot Natuur Bescherming, mempunyai tugas pokok dan fungsi: melindungi alam Indonesia dari kerusakan. Dengan para pecinta alam lainnya yang terhimpun dalam organisasinya tersebut, Kooders menerbitkan publikasi-publikasi terkait keindahan dan pentingnya pelestarian flora dan fauna di Hindia-Belanda.
Melalui organisasinya juga, Kooders mengusulkan 12 lokasi untuk ditetapkan sebagai Cagar Alam yaitu beberapa danau di Banten, Pulau Krakatau, dan Pulau Panaitan, laut Pasir Bromo, Pulau Nusa Barung, Semenanjung Purwo dan Kawah Ijen.
Lima belas tahun kemudian, tepatnya pada 1937, baru kemudian pemerintah Hindia Belanda ikut mendukung usaha gerakan konservasi alam yang dipelopori oleh Kooders dan organisasinya, dengan mendirikan lembaga atau badan yang bernama Natuur Bescherming afseling Ven’s Lands Flantatuin, dengan tugas dan fungsi antara lain: mengawasi cagar alam dan suaka margasatwa.
ADVERTISEMENT
Penetapan Wilayah Konservasi
Berdasarkan Perdirjen KSDAE, Nomor: SK.99/KSDAE/SET.3/KSA.0/4/2022 dan informasi dari Direktorat Perencaan Kawasan Konservasi – KSDAE, saat ini Indonesia mengantongi 568 Kawasan Konservasi (KK): 214 cagar alam (CA); 80 Suaka Margasatwa (SM), 54 Taman Nasional (TN), 39 Taman Hutan Raya (Tahura), 130 Taman Wisata Alam (TWA), 11 Taman Buru (TB) dan 40 Kawasan Suaka Alam (KSA)/Pelestarian Alam (KPA) lainnya, dengan total luas mencapai sekitar 27.407.668,40 Ha.
Danau Segara Anak, Taman Nasional Gunung Rinjani. Foto: Baraka Bumi.
Banyaknya usulan dari berbagai daerah, menyebabkan penetapan kawasan konservasi bersifat dinamis dan terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Baik jumlah maupun luasannya.
Kalau kamu melihat dan membaca undang-undang tentang kehutanan: UU nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, ternyata fungsi hutan dibagi menjadi tiga: fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi.
ADVERTISEMENT
Pemanfaatan hutan untuk kepentingan ekonomi dibatasi hanya boleh dilakukan di kawasan hutan lindung dan hutan produksi. Sedangkan, hutan konservasi hanya diperuntukkan sebagai upaya melestarikan ekosistem flora dan fauna Indonesia.
Tidak sampai di situ, masih berdasarkan undang-undang yang sama, hutan konservasi dibagi lagi berdasarkan jenisnya: hutan suaka alam, hutan pelestarian alam, dan taman buru. Ketiganya diperuntukkan pelestarian ekosistem.
Masih Banyak Tantangan
Taman Wisata Alam Gunung Kelam, Sintang, Kalbar. Foto: BKSDA Kalbar.
Kalau melihat perjalanannya di atas, cukup panjang banget ya. Itu masih sebagian saja loh. Karena, sejatinya bisa berlembar-lembar kertas untuk menuliskan sejarah konservasi alam di Indonesia.
Dalam perjalanannya yang panjang tersebut, konservasi alam masih banyak menemui berbagai tantangan yang harus dihadapi. Seperti di antaranya: perusakan kawasan hutan konservasi, konflik antara satwa dan manusia, kematian satwa liar akibat perburuan, jerat dan perdagangan satwa liar, kebakaran hutan, krisis iklim, sampah, aktivitas wisata alam yang tidak bertanggung jawab dan permasalahan lainnya.
ADVERTISEMENT
Tidak mudah memang untuk menyelesaikan banyaknya tantangan tersebut. Salah satu cara yang mudah dan dapat diterapkan oleh semua orang untuk menghadapinya adalah sesuai dengan tujuan HKAN yang diperingati setiap tahunnya: menjadikan konservasi alam sebagai life style dan budaya kita sehari-hari.
Oh ya, ada hal yang harus diketahui untuk kamu yang senang melakukan aktivitas wisata alam dan berkegiatan luar ruang, dari semua kawasan konservasi, hanya TN, TWA, Tahura dan SM (terbatas), yang boleh dimanfaatkan untuk kegiatan wisata alam.
Coba diingat, apakah kamu pun sudah pernah mengunjungi beberapa di antara kawasan konservasi tersebut. Dan, juga diingat lagi, apakah sudah mengikuti aturan yang berlaku dan ditetapkan oleh pengelola saat mengunjunginya.
Sekelompok wisatawan di Taman Nasional Baluran, Situbondo, Jawa Timur. Foto: Harley Sastha.
Karena, mengikuti dan mematuhi aturan yang berlaku saat berkunjung di kawasan konservasi, juga merupakan bagian dari perilaku dan gaya hidup konservasi loh. Termasuk mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Karena, sebagai bagian dari alam serta kehidupan di muka bumi, sejatinya, kelestarian dan keberlanjutan alam adalah tanggung jawab bersama. Yuk, jadi pejalan yang cerdas, benar, bijak dan bertanggung jawab.
ADVERTISEMENT