Cerita Mengerikan ‘Kiamat 1815’ Erupsi Gunung Tambora 10-11 April 1815

Harley B Sastha
Book Author, Travel Writer, Mountaineer, IG-Twitter: harleysastha, Youtube: Harley Sastha
Konten dari Pengguna
10 April 2020 18:13 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Harley B Sastha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Seorang pendaki beridri di gigiran kaldera Tambora. Foto; Harley Sastha
zoom-in-whitePerbesar
Seorang pendaki beridri di gigiran kaldera Tambora. Foto; Harley Sastha
ADVERTISEMENT
Gunung itu bergetar di sekeliling kami; Sementara hujan air bercampur debu turun mendera-dera dari langit
ADVERTISEMENT
Anak-anak menjerit dan menangis, juga ibu-ibu mereka; Sebab percaya dunia telah berubah menjadi abu membara.
Kutipan keping-keping Syair Kerajaan Bima yang ditulis Khatib Lukman, 1830, dan dipublikasikan oleh Chambert-Loit, seorang Orientalis Perancis, 1932. Menggambarkan betapa mengerikannya peristiwa erupsi Gunung Tambora pada 10-11 April 1815. Dunia saat itu seperti kiamat ‘Kiamat 1815’
Ilustrasi Erupsi Gunung Tambora, 10-11 April 1815. Sumber: Youtube 3dstudiomark
Pada 5 April 1815, sang raksasa Gunung Tambora yang saat itu berketinggian sekitar 4.300 meter diatas permukaan laut (mdpl), di jazirah Sanggar, Pulau Sumbawa, mulai bangun setelah berabad-abad tidur panjang. Erupsi awal tersebut mengagetkan banyak orang. Suaranya terdengar jauh hingga Makasar, Maluku, Kalimantan, Sumatra dan Jawa. Mengejutkan berbagai pihak, termasuk Gubernur Jenderal Inggris, Sir Thomas Stamford Raffles, yang menduga kalau itu suara meriam serangan mendadak musuh.
ADVERTISEMENT
Namun, itu baru geliat awal. Letusan maha dahsyat terjadi 5 hari kemudian. Pada 10 April 1815, Gunung Tambora menggelegar hebat. Bumi sumbawa bergetar hebat. Masyarakat mengiranya telah terjadi kiamat. Semua berlarian tidak tentu arah ingin menyelamatkan diri masing-masing.
Diceritakan, saat itu, 10 April 1815, malam sekitar jam tujuh malam, di Pulau Sumbawa, ketika orang-orang sudah berkumpul bersama keluarganya di rumahnya masing-masing. Pada waktu sama, letusan paripurna Gunung Tambora terjadi. Tiga tiang api keluar, menyembur keluar dekat puncak gunung. Awalnya seperti terpisah, masing-masing menyala. Kemudian, semakin membesar membumbung tinggi. Lalu menyatu dengan udara seolah ingin merobek langit.
Salah satu bagian dalam dinding di dasar kaldera Tambora yang masing mengeluarkan asap gas solfatara, sebagai salah satu bukti Gunung Tambora yang masih aktif hingga kini. Foto. Tim Jelajah Tambora 2015 + Harley Sastha
Suasananya sangat mengerikan, berbahaya dan membingungkan. Dalam sekejap, tubuh gunung-gunung di wilayah Sanggar berubah menjadi aliran api ke segala arah, seperti gulungan api yang sangat cair. Demikian kesaksian Raja Sanggar dan berapa gelintir lainnya – sedikit orang yang selamat dari letusan Gunung Tambora - kepada Letnan Owens Philips, anggota tentara kerjaan Inggris, yang tiba di Bima pada 18 April 1815. Letnan Philips ditugaskan Raffless untuk memeriksa dampak dari erupsi. Hal tersebut sebagaimana ditulis oleh Bernice The Jong Boers dalam bukunya ‘Mount Tambora in 1815: a Vocanic Eruption in Indonesia And its Aftermath.
ADVERTISEMENT
Amukan Gunung Tambora yang menghancurkan tubuhnya sendiri berlangsung tanpa henti. Hutan yang lebat dan rumah-rumah semua tumbang lahap api. Batu apung – beberapa berukuran kacang walnut dan sebagian lagi seukuran dua kali lipat kepalan tinju tangan manusia dewasa – terus menghujani desa-desa di semenanjung Sanggar.
Salah satu sudut di dasar kakdera Tambora. Foto: Hrley Sastha
Sekitar dua jam kemudian, sangat banyak abu dan debu terlempar ke lapisan atmosfir. Sehingga, langitpun menjadi sangat gelap. Bagian puncak gunung yang masih mengeluarkan api pun tidak terlihat karenanya.
Kemudian, awan semakin menebal, awan panas berggulunng-gulung turun menyusuri lereng gunung dengan kecepatan yang luar biasa. Sehingga udara disekitarnya menjadi naik diperkirakan hingga ribuan derajat.
Kejadian selanjutnya begitu cepat. Terjadilah pusaran angin yang bertiup sangat kuat. Lalu disusul dengan berjatuhannya debu-debu dari langit seperti hujan deras. Angin puyuh dan puting beliung menghancurkan dan merobek apapun yang dilaluinya. Bangunan rumah, kandang ternak beserta ternak-ternaknya, kuda, manusia dan pohon-pohon besar yang tercerabut sampai akar-akarnya. Semuanya tanpa terkecuali. Sebagian benda-benda tersebut berterbangan terangkat ke udara. Termasuk manusia dan hewan ternak.
Kawasan Dorocanga dengan kuda-kuda dan latar belakang Gunung Tambora. Foto: Harley Sastha
Kawasan desa Sanggar dan desa Koteh serta desa-desa yang berada di semenanjung Sanggar musnah, rata dengan tanah dan lenyap. Desa Tambora yang sangat dekat Gunung Tambora, hilan tertetelang dan tenggelam dalam lautan batu apung, pasir dan debu. Tidak hanya sampai disitu, mereka yang berhasil selamat saat itu, berikutnya harus menghadapi bahaya lanjutannnya yang juga membunuh: gelombang air laut raksasa yang menggulung. Saat itu, sebuah kapal Inggris yang sedang berlayar sedikit jauh di sekitar pesisir selat Flores yang tertutup oleh abu dan berondongan material batu-batu vulkanis, seketika tertperanjat, seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia melihat gelombang tsunami setinggi 4 meter dengan cepat menggulung dan menyapu rumah-rumah, sawah dan ladang yang berada di sepanjang pesisir Sanggar.
ADVERTISEMENT
Semenanjung Sanggar dan sekitarnya benar-benar dibuat porak poranda. Setelah diterjang dari udara, puncak dan perut gunung serta laut, kemudian melesaknya tanah seiring runtuhnya puncak dan dinding kerucut raksasa Gunung Tambora. Secara perlahan-lahan dataran ikut ambles.
Seorang pendaki disekitaran gigiran kaldera Tambora. Foto; Harley Sastha
Saya pun kembali teringat ketika beberapa kali mendaki gunung ini melalui empat penjuru mata angin. Terlebih ketika turun ke dalam dasar kaldera raksasanya, menuju rahim Tambora di kedalaman 1,4 kilometer dari titik tertingginya yang berada pada ketinggian 2.851 meter. Merinding dan mengerikan kalau membayangkannya. Lima tahun yang lalu, April 2015, selama 12 hari mendaki dan turun ke dalam dasar kaldera. Kembali naik kemudian turun melalui jalur yang berbeda. Semuanya untuk coba menyusuri jejak erupsi hebatnya yang terjadi pada dua abad yang lalu.
ADVERTISEMENT
Rasanya sulit membayangkan, jika ada manusia yang bisa selamat dalam bencana alam yang mengerikan seperti itu. Tetapi, Raja Sanggar dan keluarga merupakan segelintir orang yang berhasil selamat dan menjadi saksi peristiwa besar itu kemudian.
Menurut catatan Gillen D’Arcy Wood, Prof. Sastra Inggris dari University 0f Illinois, Urbana-Champaign, salah satu faktor selamatnya Raja Sanggar dan keluarganya, karena diuntungkan oleh topografi Gunung Tambora. Dimana saat erupsi terjadi pada 10 April 1815, aliran magma mengelir ke arah barat laut dan selatan dan angin pasar yang membawa abu vulkanis ke arah Pulau Bali dan Jawa.
Ilustrasi suasana kepanikan yang terjadi pada masyarakat saat Gunung Tambora menggelegar dahsyat,, April 1815. Sumber: smithsonnianmag.com
Jadi, Raja Sanggar dan keluarga, dengan menggunakan kuda-kudanya menjauhi laut melalui jalan darat menuju arah selatan. Mereka menyusuri jalan sempit antara Koteh dan Dompu, yang merupakan satu-satunya jalur yang terhindar dari banjir lava. Bayangkan, mereka melakukan pelarian diantara sungai-sungai yang dipenuhi lava menyala dan meletup-letup setinggi hingga 5 meter. Dan berhasil selamat dan menceritakan dengan baik semua gambaran peristiwa mahadahsyat tersebut kepada Letnan Philips.
ADVERTISEMENT
Menurut catatan Raffless, berdasarkan laporan dari para saksi mata pejabat residen berbagai wilayah kekuasannya masing-masing, letusan pada 10 April 1815, terdengar hingga Cirebon hingga bagian timur. Bumi dan laut saat itu berkali-kali bergetar. Kemudian menjadi gelap dan turun hujan abu. Salah satu yang mengalaminya Solo dan Rembang. Pulau Bali, Sulawesi dan Maluku dilaporkan juga mengalami hal yang sama.
Kesaksian
Gelegar Gunung Tambora, tidak berhenti di tanggal 10 April 1815. Terus bergemuruh mengeluarkan suara keras melontarkan isi rahimnya, semua material vulkanisnya. Hingga keesokan harinya pada 11 April 1815, terjadi ledakan yang lebih dahsyat lagi. Sepanjang hari pada tanggal tersebut hingga malam hari, semua benar-benar gelap gulita. Suasana tersebut berlangsung hingga esok harinya. Begitu gelap dan tebalnya abu, dilaporkan di wilayah Solo pada pukul 4 sore, benda-benda yang jaraknya sekitar 250 meter sama sekali tidak dapat terlihat. Tidak berbeda jauh dengan yang terjadi di Gresik dan wilayah timur lainnya. Abu vulkanis setebal 8 inchi dilaporkan terjadi di Banyuwangi.
Salah satu sudut gigiran kaldera Tambora. Foto: Harley Sastha
Gunung Tambora benar-benar telah menghancurkan dirinya sendiri. Satu pertiga tinggi tubuhnya hilang dan sekaligus memuntahkan isi perutnya. Kemudian menyisakan tingginya yang hanya mencapai 2.851 dan lubang kaldera raksasa berdiameter lebih dari 7 kilometer dan kedalaman 1,4 kilometer dari titik tertingginya di gigiran kaldera. Terlihat seperti bekas dihantam baru meteor besar.
ADVERTISEMENT
Letusan Gunung Tambora 10-11 April 1815, kekuatannya mencapai 171 ribu kali dari kekuatan bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima pada Agustus 1945 dan tujuh dari delapan skala Volcanic Explosivity Index. Memuntahkan batuan dan abu hingga lebih 150 kilometer kubik. Melambungkan debu aeorosol ke angkasa hingga lapisan stratosfer. Terjangan abu dan hujan pasir serta batu yang dilontarkannya mempunyai kecepatan hingga 60 kilometer per jam dan menghasilkan suhu panas sampai 800 derajat celcius.
Maryor M. H. Court, Residen Pulau Bangka suratnya melaporkan, pagi hari pada 11 April 1815, terdengar letusan silih berganti di Minto, Bangka. Terdengar seperti suara tembakan meriam. Sedangkan ada laporan lain George Zimmer yang mendapat cerita dari seorang perempuan berusia 80 tahun pada 1874. Perempuan tua tersebut mengatakan, bahwa ia mendengar suara yang mengerikan pada tahun 1815. Menurutnya, saat itu bumi bergoyang dan semua orang terlihat ketakutan. Mereka berpikir langit saat itu akan runtuh. Kemudian disusul dengan turunnya hujan abu.
Gas dan asap sulfatara di salah sadut dinding di dasar kaldera Tambora. Menunjukkan Gunung Tambora masih aktif hingga kini. Foto: Harley Sastha
Sebuah kapal penjelajah bernama Benares, melakukan perjalanan pada 13 April 1815 dari Makasar dan tiba di Sumbawa pada 18 April 1815. Sang komandan menceritakan, kapalnya mendekati pantai Sumbawa, mereka melihat begitu banyak batu apung berwarna hitam arang dengan ketebalan mencapai beberapa inchi mengambang memenuhi laut. Tidak hanya itu, terlihat juga batang-batang kayu besar seperti bekas terbakar mengambang. Karena banyaknya, sehingga menyulitkan kapal Benares untuk memasuki teluk Bima. Namun, saat kapan berhasil berlabuh, mereka melihat kapal dari Ternate yang sudah beberapa bulan berada di Bima. Beberapa kapal besar dan kecil lainnya terlihat telah tersapu dan terdampar jauh dari garis pantai akibat tersapu angin dan gelombang tsunami.
ADVERTISEMENT
Saat kapal Benares berlayar menuju Gunung Tambora, mereka melihat di lereng gunung masih terlihat mengalir merah menyala. Sebagian lainnya sudah mengalir menuju pantai dan tiba laut.
Namun, saat kapal Benares masih di Makasar, sebelum 13 April 1815, menurut komandannya, para pelaut mendengar suara ledakan yang sangat keras. Seperti suara tembakan yang dilontarkan dari dari tiga sampai empat senjata. Jauh lebih keras dari suara ledakan sebelumnya. Itulah karenanya, mereka memutuskan untuk berlayar menuju arah selatan untuk mengecek suara ledakan tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam pelayaran tersebut, mereka melihat langit gelap dan suram. Saking gelapnya, hingga mereka tidak dapat membedakan antara kapal dan garis pantai. Kemudian, abu vulkanis mulai berjatuhan di geladak kapal. Menurutnya, saat itu suasana terlihat sangat gelap. Ia mengatakan belum pernah melihat gelap yang seperti itu sebelumnya. Bahkan untuk melihat tangan didepan mata sekalipun tidak dapat.
ADVERTISEMENT
Letnan Philips saat tiba sangat terkejut melihat apa yang terjadi. Menurut catatannya yang ditulisnya pada 23 April 1815, di Bima, ia orang-orang yang shok dan kebingungan karena melihat rumah-rumah dan perkampungan yang sangat hancur. Terlihat sungguh mengerikan.
Menurut catatan yang ditulis oleh oleh William K. Klingaman dan Nicholas P. Klingaman pada bukunya Year Without Summer, diceritakan, dua puluh empat jam setelah Gunung Tambora meletus, awan abu telah meluas hingga meliputi area seluas Australia. Kemudian, selama beberapa hari berikutnya sebagian besar awan abu melayang di atas pulau-pulau di barat dan barat laut Gunung Tambora. Ketika awan abu akhirnya pergi, desa-desa dalam jarak 32 kilometer dari gunung terlihat tertutup abu vukanis setebal hampir empat puluh inchi.
Kaldera Gunung Tambora. Foto: Harley Sastha
Dari banyaknya letusan, menurut Raffless, letusan pada 10 April 1815, sangat hebat terus menerus dan menggetarkan. Sedangkan, pada malam, 11 April 1815, letusan lanjutan dan paling mengerikan. Jadi, menurutnya, 10-11 April 1815, menjadi letusan yang paling dahsyat yang terjadi pada Gunung Tambora.
ADVERTISEMENT
Adalah waktu tengah malam; Meletuplah bunyi seperti meriam.Habislah terkejut sekalian alam; Serasa dunia bagaikan karam.
Waktu subuh fajar merekah; Diturunkanlah Allah bala celaka.Sekalian orang habislah duka; Bertangis-tangisan segala mereka.
Bunyi bahananya sangat berjabuh; Ditempuh air timpa habu.Berteriak memanggil anak dan ibu; Disangkanya dunia menjadi kelabu.
(Kutipan keping-keping Syair Kerajaan Bima, Khatib Lukman, 1830).
Kenangan mengerikan peristiwa 10-11 April 1815, hingga kini masih tersimpan dalam ingatan masyarakat, menjadi cerita turun menurun. Mereka menyebutnya zaman hujan au. Atau hujan abu. Tidak heran, hingga kini perkampungan dan rumah-rumah penduduk berdiri jauh dari lereng Gunung Tambora.