Cerita Orang Eropa Pertama yang Mendaki Merbabu pada 1785

Harley B Sastha
Book Author, Travel Writer, Mountaineer, IG-Twitter: harleysastha, Youtube: Harley Sastha
Konten dari Pengguna
8 Mei 2020 23:21 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Harley B Sastha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bentang dan landskap alam Gunung Merbabu, terkenal sangan memesona. Salah satuny seperti terlihat ini. Foto: Harley Sastha
zoom-in-whitePerbesar
Bentang dan landskap alam Gunung Merbabu, terkenal sangan memesona. Salah satuny seperti terlihat ini. Foto: Harley Sastha
ADVERTISEMENT
Pada 21 Oktober 1785 atau ratusan tahun sebelum Gunung Merbabu ditetapkan sebagai taman nasional, seorang naturalist dan ilmuwan Hindia-Belanda, Francois van Boekhold, diceritakan telah mencapai Kopeng, sisi utara Gunung Merbabu.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Boekhold, berangkat dari Salatiga, dengan menunggang kuda dan sampai Kopeng, sore hari, sekitar jam 5 sore. Pada pukul 8 malam, suhu disana menurutnya, sudah terasa sangat dingin. Hingga dapat menembus pakaian hangatnya yang berbahan wol, dan tidak mungkin baginya untuk berdiam diri tanpa api sebagai penghangat.
Pada sebuah gubug, menurut Boekhold, terlihat seorang Jawa sedang duduk di gubuk dekat perapian. Malam itu juga, Dia memeriksa bagian utara-timur atau tenggara gunung, yang menurutnya terlihat bagus dan mengagumkan.
Demikian diceritakan Francois van Boekhold, dalam catatanya Relaas van een togt den Brandenden Berg op Java (Cerita Perjalanan ke Gunung Api di Jawa), yang diterbitkan oleh Verhandelengin van het Bataviaasch Genootschap den Kunsten en Weternschappen atau Perkumpulan Masyarakat Untuk Seni dan Ilmu Pengetahuan – lembaga ilmu pengetahuan tertua di Asia Tenggara – pada tahun 1792.
ADVERTISEMENT
Jadi, dari berbagai catatan dan sumber, gunung-gunung di Indonesia, sejak ratusan tahun lalu, memang telah didaki oleh orang-orang Eropa dan Hindia-Belanda. Para naturalist, pecinta alam dan peneliti tersebut, bukan hanya mendaki, tetapi juga melakukan pencatatan mengenai karakteristik dan hal-hal mengenai gunung yang didaki.
Terlihat di kejuah puncak Watu Tulis, dengan punggungan dengan lembah yang menghijau. Foto: Harley Sastha
Sebagaimana diceritakan kembali oleh Friedrich Franz Wilhelm Junghuhn – seorang naturalis, doktor, botanikus, dan geolog dari Hindia-Belanda kelahiran Prusia, Jerman – dalam bukunya yang terkenal Java (1850 dan 1854), Boekhold, berangkat dari Salatiga, pagi hari, pada 21 Oktober 1785. Sampai di Kopeng sekitar sore hari.
Kemudian, pada tengah malam, Boekhold, mulai mendaki melewati hutan yang lebat. Dia ditemani oleh beberapa penduduk lokal yang disewa untuk membantu membawakan perbekalan dan perlengkapan.
ADVERTISEMENT
Ketika waktu menunjukkan jam 3 pagi, Boekhold, dengan bantuan alat navigasi Compass, mengambil jalan yang membentang ke tenggara memotong hutan yang lebat dan gelap. Menggunakan Booman atau golok, Dia membuka jalur untuk menemukan jalan menuju puncak. Pepohon yang ia lihat saat itu berukuran besar-besar dan suhunya sangat dingin.
Menurut Boekhold, walaupun ia tidak menyadari tentang keberadaan satwa liar sedikitpun, tetapi dengan pistol, ia sempat beberapa kali melepaskan tembakan untuk Tigers atau Harimau. Tetapi, dari catatannya, saat itu, memang ia tidak berjumpa dengan Harimau Jawa.
Pada jam 5 pagi, udara semakin terasa dingin. Lalu, satu jam kemudian, Boekhold keluar dari hutan dan tiba di sebuah dataran kecil, pada pukul enam. Hawa dingin saat itu seperti berada di atas titik beku, katanya. Saking dinginnya, sampai susah untuk bicara dan kaki serta tangan seperti membeku.
Pungguhan menuju puncak Gunung Kenteng Songo dan puncak Gunung Merbabu. Foto: Harley Sastha
Tempatnya sangat menyenangkan. Seperti berada di taman bunga, katanya. Di sana penuh ditumbuhi rerumputan yang sangat pendek dan penuh bunga-bungaan. Mirip bunga Rosemary. Setidaknya lebih dari seratus tumbuhan yang menurutnya, belum ia ketahui jenisnya.
ADVERTISEMENT
Kemudian, Boekhold, terus mendaki. Semakin tinggi, gunung semakin tandus, hingga akhirnya tiba di puncak Gunung Merbabu, pada jam 10 pagi. Cukup lebar, penuh dengan rumput, semak-semak dan tebing besar.
Waktu itu, cuaca di puncak sangat cerah. Sehingga, Boekhold dapat melihat pemandangan sekitarnya. Seperti diantaranya: dataran tinggi Kedu, Demak, hingga laut utara dan selatan. Benar-benar sangat menyenangkan, katanya.
Selama beberapa jam, Boekhold, berdiam diri, istirahat di puncak. Selama itu, tidak ada satupun binatang buas yang ia temukan.
Kalau membaca risalah perjalanannya Francois van Boekhold, yang menggambarkan suasana hutan yang lebat dan gelap, masih sedikit membingungkan. Apakah Dia lewat kedua jalur resmi pendakian di Taman Nasional Gunung seperti saat ini di Kopeng, yaitu jalur Cuntel dan jalur Tekelan.
Gunung Merbabu terkenal akan pesona padang sabananya yang memenuhi bagian lembahan dan punggungannya. Utamanya kawasan-kawasan sekitar dan mendekati puncak. Foto: Harley Sastha
Tetapi, dari risalahnya, Boekhold, menuliskan kata tempat Thontil. Di mana, ia tiba di sana lepas jam 6 sore. Seperti diceritakan sebelumnya, pada jam 8 malam, udara terasa sangat dingin disana. Dia juga melihat seorang penduduk yang duduk dekat perapian di rumahnya. Nah, mungkin yang dimaksud Thontil disini adalah Desa Cuntel.
ADVERTISEMENT
Dataran kecil yang Boekhold ceritakan tempat yang menyenangkan dan puncak gunung yang tingginya hampir setinggi dataran, sepertinya, itu Pos Kedokan menuju Pos Kergo Pasar, jalur Cuntel.
Puncak gunung yang dikatakan Boekhold, sebagaimana yang saya ingat ketika mendaki melalui jalur Cunter, itu adalah Gunung Telomoyo, Gunung Andong dan beberapa gunung lainnya. Kalau dilihat dari dataran kecil tersebut, memang tingginya hampir sama.
Jalur Selo
Areal di Gunung Merbabu, jalur Selo dengan latar belakang Gunung Merapi, Foto: Harley Sastha
Sementara itu, Friedrich Franz Wilhelm Junghuhn, salah satu naturalist dan peneliti besar Hindia Belanda, pada 6-7 November 1836, mendaki Gunung Merbabu, melalui sisi selatan, Selo. Menurut Junghuhn, Dia mendaki selama 5 jam, kemudian menuju ke arah puncak timur laut. Sempat terjadi hujan es saat itu, di mana suhu turun dengan cukup cepat. Menjadi sangat dingin.
ADVERTISEMENT
Pagi hari berikutnya, sebelum matahari terbit, Junghuhn turun melalui sisi timur laut. Menurutnya, medannya seperti seragam dari pada sisi lainnya. Kemudian, tiba di salah satu desa tertinggi di kaki Gunung Merbabu, Desa Diwa – kalau cek di map, nama desa tersebut masih ada, tepi sekarang namanya Diwak.
Pada 2 Mei 1838, Junghuhn, kembali naik Gunung Merbabu. Tetapi, kali ini, mendaki melalui sisi timur gunung, Pantaran - cek di map, Desa Pantaran, masuk Kecamatan Ampel. Kini, desa ini terkenal sebagai tempat wisata religi.
Sewaktu mendaki, Junghuhn, menceritakan Gunung Merbabu yang terdiri dari beberapa puncak. Dia mengatakan beberapa fumarol dan sumur lumpur, tetapi tidak ada letusan.