Cerita Pendaki Pertama Tambora, 32 Tahun Pasca Gelegarnya yang Mengguncang Dunia

Harley B Sastha
Book Author, Travel Writer, Mountaineer, IG-Twitter: harleysastha, Youtube: Harley Sastha
Konten dari Pengguna
23 September 2020 2:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Harley B Sastha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sebagian dari panorama kaldera raksasa Tambora. Foto: Harley Sastha (2020)
zoom-in-whitePerbesar
Sebagian dari panorama kaldera raksasa Tambora. Foto: Harley Sastha (2020)
ADVERTISEMENT
Pemandangan alam di puncak terlihat begitu menakjubkan sekaligus mengerikan. Walaupun, saat itu awan tebal menggantung pada bagian tengah kaldera raksasanya, namun, di kejauhan, samar-samar terlihat Gunung Rinjani di Lombok.
ADVERTISEMENT
Begitu sebagian cerita Heinrich Zollinger, melalui salah satu bukunya yang diterbitkan pada 1855, berjudul Besteingung des Vulkanes Tambora auf der Insel Sumbawa and Schilderung der Eruption desselber im Jahr 1815 atau ‘Pendakian gunung Api Tambora di pulau Sumbawa dan deskripsi atau gambaran letusannya pada tahun 1815’, yang berisi risalah perjalanannya saat mendaki gunung Tambora, Agustus 1847.
Jadi, butuh sekitar 32 tahun, Tambora kembali dapat benar-benar dijajaki hingga mencapai tubir atau bibir kaldera raksasanya, setelah gelegar maha dahsyatnya, pada 10-12 April 1815. Hal tersebut berhasil dilakukan oleh Heinrich Zollineger dan anggota timnnya. Menariknya, Zollinger, lahir pada 22 Maret 1818, di Genewa, Swiss – salah satu tempat yang terdampak secara tidak langsung dari erupsi besar Tambora. Artinya, sekitar tiga tahun setelah Tambora meledak dahsyat.
ADVERTISEMENT
Setelah Zollinger, hingga tahun 1913 belum ada lagi orang yang mendaki gunung Tambora hingga puncaknya. Karenanya, walaupun, Zollinger belum lahir saat Tambora menunjukkan amarahnya. Tetapi, ia justru juga berperan penting dalam sejarah catatan letusan gunung api terbesar di dunia yang terekam dalam ingatan sejarah manusia modern. Berdasarkan catatan perjalanannya tersebutlah, dunia mengetahui perkiraan lontaran material yang dimuntahkan Tambora. Juga, jumlah penduduk kerajaan Bima, Sumbawa, Dompu, (Pa)Pekat, Tambora dan Sanggar, di Pulau Sumbawa, sebelum dan pasca erupsi serta korban tewas, baik itu langsung dan maupun tidak langsung.
Potret Heinrich Zollinger pada 1841. (Bild Graphische Sammlung ETH Zürich). Sumber: https://zueriost.ch/
Heinrich Zollinger merupakan seorang ahli botani dan naturalis atau pencinta alam yang dipekerjakan oleh pemerintah Hindia Belanda saat itu. Ia tiba di Jawa pada tahun 1842 dan ditugaskan secara resmi untuk mengumpulkan berbagai koleksi tanaman di wilayah Hindia Belanda. Di antaranya Flacourtia rukam Zollinger & Moritzi dan Schismatoglottis rupstris Zollinger & Moritzi di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Tidak heran, jika beberapa nama tumbuhan di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, mencantumkan nama dirinya. Setidaknya, ia berhasil mengumpulkan sekitar 270 spesimen selama bertugas di Hindia Belanda.
ADVERTISEMENT
Selama di Hindia Belanda, Zollinger melakukan berbagai kegiatan ekspedisi ilmu pengetahuan yang dananya, sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah Hindia Belanda. Lembah dan gunung-gunung dari ujung barat hingga ujung timur Jawa, ia jelajahi selama masa penugasannya. Termasuk ikut mendirikan perkumpulan koleksi tanaman di Jawa, pada 1841. Ia juga ditasbihkan sebagai ahli vulkanologi pertama di Swiss.
Pendaki Pertama Tambora Pasca Erupsi
Pada masa penjelajahannya di Hindia Belanda, salah satu yang fenomenal dan menjadi catatan penting, tentu saja, saat Zollinger melakukan pendakian menuju tubir atau bibir puncak kaldera raksasa Tambora, pada Agustus 1847. Hal ini sekaligus mencatatkan dirinya sebagai pendaki pertama yang berhasil mencapai puncak kaldera Tambora pasca erupsi besarnya.
Dua orang pendaki sedang berada di tubir puncak kaldera Tambora, sekitar tempat Heinrich Zollinger tiba sebagai pendaki pertama Tambora, pada 1847, 32 tahun pasca erupsi besarnya. Foto: Erwin/Balai TN Tambora (2020)
Sebagaimana diceritakan olehnya yang ditulis dalam risalah perjalannya, dengan menggunakan kapal layar, ia tiba di Bima, pada 22 Juli 1847, setelah sebelumnya meninggalkan Teluk Bari, Flores, pada 14 Juli 1847. Dalam pelayaran tersebut, Zollinger sempat singgah di pulau gunung api atau gunung Sangeang Api. Salah satu satunya karena terkendala cuaca dan gelombang air laut
ADVERTISEMENT
Mengenai kedatangannya, sudah tersampaikan pada Sultan Bima, melalui surat rekomendasi Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Ia pun mendapat sambutan upacara sebagai tamu kehormatan. Salah satunya tembakan meriam ke udara sebanyak 21 kali. Setelah mengutarakan maksud dan tujuannya, termasuk dengan Raja Bicara atau Perdana Menteri atau Juru Bicara, Zollinger juga merekrut seorang pria bernama Beth yang merupakan keturunan Bima – Eropa, sebagai negosiator atau alih bahasa dalam pendakiannya.
Berikutnya, Zollinger, melanjutkan perjalanan menuju Kesultanan Dompu, pada 3 Agustus 1847. Ia terlambar beberapa hari, karena tiba-tiba terserang demam malaria. Dalam perjalannya, ia mengungkapkan kondisi jalan yang harus dilalui tidak mudah.
Sama halnya dengan di Bima, saat tiba di Dompu dan bertemu Sultan Dompu, ia pun menyampaikan tujuannya. Saat itu, Sultan Dompu sempat menceritakan kepada Zollinger, mengenai kondisi wilayahnya yang porak poranda dampak dari ledakan hebat Tambora. Termasuk kondisi perekonomian masyarakatnya. Hari berikutnya, mereka berdua pun terlibat pembicaraan di Teluk Cempi, menikmati keindahan alam disana, memancing dan melihat masyarakat Dompu, bermain air dan berkuda di tepi pantai.
ADVERTISEMENT
Tiba di Wilayah Kerajaan Sanggar
Dongo Tabe Na'e - satu dari dua bukit berbentuk kerucut yang juga pernah di lihat Herinrich Zollinger saat mendai Tambora, pada 1847. Foto: Harley Sastha (2020)
Perjalanan pendakian Zollinger sendiri sebenarnya, dapat dikatakan, dimulai dari wilayah Kerajaan Sanggar – satu-satunya dari tiga kerajaan di lingkar Gunung Tambora yang tidak benar-benar musnah, bahkan rajanya saat itu, menjadi saksi mata ngerinya amuk Tambora, April 1815.
Jadi, Zollinger dan meninggalkan wilayah Dompu, pagi hari, pada 7 Agustus 1847, melewati Doro atau perbukitan yang ditumbuhi tumbuhan semak-semak cukup lebat, hingga tiba di Sanggar malam hari.
Menurut Zollinger, wilayah Kerajaan Sanggar yang sebelumnya berada di pinggir pantai, telah berpindah sedikit naik ke bukit dengan latar belakang lembah. Ada sekitar 40-50 keluarga yang tinggal. Mereka baru beberapa tahun belakang berkumpul kembali. Ia hampir tidak percaya, kalau ternyata masih ada keturunan Raja Sanggar, seorang pangeran mudah berusia 13 tahun yang sementara waktu tinggal di daerah Gembe, Bima, sampai rumah yang sedang dibangun untuknya tinggal dapat ditempati. Sehingga, sang pangeran dapat berkumpul bersama rakyatnya. Saat itu, Sanggar, menjadi satu-satunya wilayah terdekat Tambora yang dihuni manusia.
ADVERTISEMENT
Di wilayah Sanggar, ia bertemu dengan Raja Bicara yang mewakili pangeran muda Kerajaan Sanggar. Zollinger, mengatakan maksud dan tujuannya. Awalnya, Raja Bicara, sempat tidak mengijinkannya. Karena, khawatir dengan keselamatan Zollinger. Raja Bicara dan masyarakat Sanggar, masih mempercayai kalau Tambora masih menyala dan keluar api serta ditempati roh-roh jahat. Namun, melalui proses negosiasi, akhirnya sang Raja Bicara memperbolehkannya. Tetapi, dengan syarat, ia turut serta.
Setelah semua persiapan dilakukan, setidaknya terkumpul 40 orang yang akan ikut dalam pendakian tersebut. Termasuk tunggangan kuda, kereta kuda, dan tenaga angkut. Sebelum berangkat, pihak Kerajaan Sanggar, melakukan semacam upacara keselamatan sederhana untuk Zollinger dan anggotanya.
Teluk Biu atau Teluk Piong dengan latar belakang Gunung Tambora. Foto: Erwin/Balai TN Tambora (2020)
Pada 9 Agustus 1847, sekitar pukul enam pagi, Zollinger dan anggota timnya memulai perjalanannya untuk mendaki Tambora. Menyusuri sungai dan lembah, hingga sekitar dua jam kemudian tiba di Teluk Belambo, Sanggar. Lalu terus berjalan ke arah barat. Ia juga menceritakan tentang perkiraan wilayah Sanggar lama yang terkubur, menyusuri pantai, melewati hutan, bukit berbatu besar dan kecil serta beberapa teluk kecil, sampai tiba di teluk kecil yang bernama Teluk Biu – saat ini lebih dikenal dengan nama Pantai Teluk Piong – pada pukul 11 siang. Beberapa jenis pepohonan jenis pohon yang dilihat Zollinger saat itu, antara lain: Lontar, Cureas purgans, buah-buahan besar jenis Jambosa dan Mangifera. Juga banyak terlihat jejak rusa dan kerbau.
ADVERTISEMENT
Kata Zollinger, semakin ke barat, makin banyak batu kehitaman bertaburan di atas tanah. Batu-batu tersebut ringan dan berpori-pori besar serta kasar. Warna hitam ini, menurutnya, sepertinya karena pengaruh udara. Makin dekat gunung, batu-batu semakin besar, sehingga berbahaya untuk kuda-kuda. Beberapa mempunyai diameter hingga satu meter.
Tiba di Puncak Timur Bagian Sanggar
Lewat tengah hari atau sekitar pukul dua siang, rombongan tiba di mata air Tampuro – kolam air tawar alami yang airnya jernih menyembur keluar dari sela-sela batu. Lokasi ini dekat dengan pantai. Jadi, bersebelahan dengan mata air Tampuro ada danau air asin atau payau. Disinilah kemudian rombongan Zollinger, bermalam mendirikan kemah dan mengumpulkan perbekalan air untuk melanjutkan pendakian esok harinya.
ADVERTISEMENT
Pada hari berikutnya, tepat dini hari, rombongan sudah kembali melanjutkan perjalanan-saat ini dikenal sebagai jalur pendakian Piong, Taman Nasional Tambora. Sebagian kuda dan anggota tim tetap menunggu di areal kamp. Menurut Zoolinger, lumayan cukup berbahaya medannya. Karena, ada lobang-lobang di antara bebatuan yang tertutup rerumputan dan abu, sehingga kaki-kaki kuda ikut tenggelam saat melewatinya. Beberapa tumbuhan yang terlihat saat itu di antaranya: jenis semak berduri yang merambat, jenis asam, spesian Alstonia, Moringa dan Melia.
Tambora caldera, detail of map of Sumbawa, from Zollinger, Besteigung des Vulkanes Tambora, 1855 (Linda Hall Library)
Beberapa kali anggota tim terluka kakinya ketika harus melewati batu-batu yang tajam dan tenggelam di abu material letusan Tambora. Setelah dua harian, karena kelelahan, sebagian anggota akhirnya, tinggal ditempat, tidak meneruskan.
Dua bukit besar berbentuk kerucut – Dongo Tabe Na’e dan Dongo Tabe To’i – cekungan vulkanik yang tingginya kurang dari 500 meter, yang menjadi perhatian Zollinger. Kemudian, melewati sisi salah satu kerucut tersebut. Sebagian kuda-kuda kembali ditinggalkan karena tidak memungkinkan untuk dibawa lanjut. Beberapa jenis tumbuhan lain juga kembali dicatat oleh Zollinger. Seperti, jenis Accasia, Farren, Rubus, Ficul dan Urlica.
ADVERTISEMENT
Lalu, pada 11 Agustus 1847, setelah bermalam, sekitar pukul enam pagi, pendakian kembali dilanjutkan. Melalui rerumputan yang cukup rapat. Melewati dua jurang yang membuat tim kelelahan. Sehingga, membuat Beth harus menyerah kehilangan kekuatannya dan pingsan. Ia pun ditinggal di tempat teduh di bawah pohon dengan ditemani beberapa orang anggota tim lainnya. Buah-buahan jenis Rubus javanicus, Murbei dan Fraxini folius yang tumbuh di lapangan, cukup menyegarkan anggota tim.
Jelang tengah hari, sekitar pukul dua belas siang, berada dibagian lereng puncak yang paling curam, yang gundul dan tingginya sekitar 150 meter. Begitu gembiranya, tim pun bergegas untuk bergerak kembali agar dapat segera tiba di puncak.
Akhirnya, tepat pada pukul dua siang, tim pun tiba di tubir atau bibir kaldera titik puncak tertinggi bagian timur, Sanggar. Sebagaimana pendaki gunung pada umumnya, rasa euforia pun menghinggapi Heinrich Zollinger. Dirinya tidak menyangka, jika telah berdiri pada bagian salah satu tubir puncak gunung yang erupsinya dahsyat dan sangat terkenal seantero dunia. Sedangkan, anggota tim lain, seperti ketakutan. Mereka tidak percaya dengan apa yang dilihat saat itu. Tidak berani maju atau mundur. Mereka tidak berani bangun dan memohon maaf menunjukkan bahwa, dirinya tidak menantang roh-roh gunung.
ADVERTISEMENT
Zollinger menceritakan bagaimana gambaran kaldera Tambora yang dilihatnya. Menurutnya, dindingnya dalam jatuh lurus ke bawah di semua sisi kaldera. Pada bagian atas kaldera, rata-rata terpotong tajam seperti pisau pada hampir semua sisinya.
Dari tempat berdirinya Zollinger yang tidak terlalu luas, namun hampir rata, menurutnya, ketinggiannya hampir terlihat sama. Hanya, pada titik 83 derajat dibagian Barat Daya dan 82 Barat Laut, menjadi dua titik tertingginya dari sekelilingnya. Batuan terlihat tidak terlalu tebal dan terdiri dari material vulkanik yang bertumpuk lepas atau longgar serta bukan batuan murni.
Jauh di dalam dasar kaldera, terlihat danau kecil di tengah cekungan dengan airnya berwarna hijau kekuningan. Pada sebagian dindingnya masih terdapat bukaan tempat gas keluar dengan Kristal-kristal belerang menempel pada bagian permukaannya. Bentuk, ukuran dan kedalaman kaldera Tambora dapat dikatakan versi besar atau raksasanya dari kawah gunung Raung di Jawa Timur. Ceritanya lagi, karena sebelumnya, Tambora mempunyai dua puncak yang terpisah, maka kawah di dasar kaldera pun terlihat dua.
ADVERTISEMENT
Sebagai bentuk kegembiraan, Zollinger mengibarkan bendera Belanda di puncaknya. Membakar beberapa getah damar yang baunya seperti kemenyan. Hal tersebut dipercaya masyarakat dapat mengusir roh-roh jahat. Kemudian, menuliskan pada kertas, nama-nama anggota tim yang berhasil mendaki Tambora. Lalu, memasukkannya dalam botol anggur yang kosong.